Bicara Tanpa Ilmu Abdul Somad Dinilai Bukan Ulama

Dwi Septiana Alhinduan

Dalam diskursus keagamaan dan sosial di Indonesia, nama Abdul Somad tidaklah asing. Seorang penceramah yang kerap menyajikan materi-materi yang disertai dengan penafsiran yang mengundang perhatian. Namun, belakangan ini, pernyataannya yang kerap disertai dengan ungkapan-ungkapan puitis dan retoris telah memicu perdebatan panas di kalangan netizen dan pengamat keagamaan. Kebangkitan fenomena ini mengungkapkan adanya dinamika sosial yang lebih dalam yang patut untuk dipahami.

Memang, ketokohan Abdul Somad telah menjadikannya magnet, menarik perhatian banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Namun, di tengah popularitasnya, muncul satu pertanyaan mendasar: Apakah ia benar-benar seorang ulama dalam arti yang sesungguhnya? Pertanyaan ini berkisar pada ketidaksesuaian antara pengetahuan yang mendalam tentang agama dan kemampuan berbicara di depan umum.

Pertama, kita perlu mempertimbangkan konsep ‘ulama’. Dalam tradisi Islam, ulama tidak hanya dipandang sebagai penceramah, tetapi juga sebagai orang yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai fiqh, akidah, dan sejarah Islam. Seiring dengan berkembangnya zaman, kriteria ini seringkali dilupakan. Abdul Somad, sebagai seorang penceramah, memang dapat menarik banyak orang dengan gaya oratorinya yang memesona. Namun, adakah substansi intelektual yang mendasari setiap kata yang diucapkannya?

Kedua, terdapat pandangan bahwa gagasan-gagasan yang disampaikan Abdul Somad sering kali bersifat populis dan tidak didasarkan pada kajian yang memadai. Ini menimbulkan keraguan di kalangan segelintir kalangan yang menginginkan pencerahan lebih dalam daripada sekadar hiburan berbalut ceramah. Poin kritisnya adalah, masyarakat yang haus akan pengetahuan mendalam cenderung merasa terpinggirkan oleh retorika yang dangkal. Keberadaan ruang bagi pemikiran yang mendalam menjadi terbatas, membuat dialog yang konstruktif semakin langka.

Lebih jauh lagi, fenomena ini menjadi relevan ketika dibicarakan dalam konteks masyarakat digital. Dengan kemudahan akses informasi, banyak orang yang semakin cerdas dalam memilah informasi, termasuk dalam hal keagamaan. Melihat hal ini, banyak pihak mulai meragukan kredibilitas penceramah yang tidak menyampaikan argumen dengan dasar yang kuat. Di sinilah peran penting pendidikan agama dan intelektual dalam menanggapi promosi penceramah yang hanya mengejar popularitas.

Selanjutnya, mekanisme sosial yang mengelilingi figur seperti Abdul Somad juga menjadi faktor penting dalam memahami ketertarikan publik. Penceramah yang terampil dalam memanfaatkan media sosial dan platform digital memiliki kemampuan untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Dalam konteks ini, kita tidak dapat mengabaikan kekuatan komunikasi yang melampaui pengetahuan murni. Namun, ini juga melahirkan dilema etis. Apakah kita dapat menganggap seseorang yang didukung oleh banyak pengikut sebagai ulama jika kualifikasi pengetahuannya dipertanyakan?

Dalam pandangan ini, perlu ada pemisahan yang jelas antara pengaruh media dan substansi pengetahuan. Ada kalanya, pengaruh ini yang justru menjadikan seseorang terlihat lebih berkapasitas dibandingkan realitas yang ada. Transaksi sosial semacam inilah yang menggiring masyarakat untuk menganggap Abdul Somad sebagai figur yang lebih dari sekadar penceramah.

Pada saat yang sama, kita perlu menyadari bahwa ketertarikan akan seorang penceramah tidak hanya didasarkan pada kecakapan mereka dalam menyampaikan pesan. Emotion, passion, dan koneksi emosional dengan audiens juga menentukan persetujuan audiens. Abdul Somad mampu menciptakan jembatan psikologis ini, namun apakah itu cukup? Audience yang kritis tentu berharap akan lebih dari sekadar kesenangan semata; mereka mendambakan kedalaman pemahaman.

Dalam konteks ini, kita juga harus menghargai bahwa tidak semua orang yang berbicara dengan penuh semangat dapat dipandang sebagai ulama. Terdapat perbedaan antara berbicara tentang agama dengan memahami agama. Ketajaman dalam menyampaikan pesan tidak selalu mencerminkan keahlian dalam penguasaan ilmu. Ini adalah panggilan menantang bagi masyarakat untuk memperdalam pengetahuan mereka dan tidak sekadar terpesona oleh karisma verbal.

Di era pasca-modern ini, dialog sehat di antara komunitas keagamaan menjadi semakin penting. Masyarakat harus berani mengkritik dan mempertanyakan, tanpa meninggalkan adab dan etika. Kebebasan berpendapat dan keberagaman perspektif merupakan bagian integral dari kemajuan intelektual. Abdul Somad dapat terus berdiskusi dengan masyarakat tentang ajaran agama, namun semangat edukasi dan intelektual harus senantiasa dipelihara.

Akhirnya, perdebatan mengenai Abdul Somad dan identitasnya sebagai ulama adalah refleksi dari sebuah masyarakat yang sedang mencari kebenaran dan kejelasan. Keterlibatan dalam diskusi ini menjadi arena bagi masyarakat untuk berintrospeksi terhadap pemahaman agama serta konsep ulama itu sendiri. Dalam prosesnya, kita diingatkan untuk tidak terjebak dalam istilah, tetapi lebih kepada substansi yang hakiki.

Related Post

Leave a Comment