Catatan AS Laksana untuk Franky: Kegelapan Media Sosial

Catatan AS Laksana untuk Franky: Kegelapan Media Sosial
©Medium

Nalar Politik – Setelah Hamid Basyaib membuat kritik tajam terhadap isi pidato pengukuhan guru besar Franky Budi Hardiman, AS Laksana turut menambahkan sedikit catatan tentang pidato itu.

Berikut ini catatan AS Laksana yang kami rangkum dari unggahan Facebooknya bertajuk “Franky dan Kegelapan Media Sosial”, Sabtu (11/12).

***

Di tangan manusia, apa saja bisa membahayakan, sebab manusia berimajinasi. Tidak ada spesies lain di muka bumi yang memiliki kesanggupan itu. Manusia sanggup mengarang dan dengan kesanggupan itu ia bisa memikirkan 100 kemungkinan yang dapat dilakukan dengan sebatang tongkat: sebagai kayu bakar, untuk menggebuk teman sendiri, untuk tiang bendera, untuk mengusir hewan, untuk mendirikan tenda pramuka, dan lain-lain. Anda hanya perlu menyandingkan tongkat dengan benda-benda lain untuk mendapatkan sebanyak mungkin kegunaan sebatang tongkat.

Jika Anda menyandingkan kata ‘tongkat’ dengan ‘cucian’, Anda bisa mendapatkan fungsi tongkat sebagai tiang jemuran. Anda sandingkan tongkat dengan tirai, Anda akan mendapati bahwa tongkat bisa dipakai sebagai penggantung tirai. Anda sandingkan tongkat dengan seni bela diri, Anda dapati fungsinya sebagai toya.

Anda sandingkan saja tongkat dengan 100 benda dan Anda akan mendapati 100 hal yang bisa dilakukan manusia dengan tongkat.

Gantungan baju (hanger) juga memiliki 99 fungsi lain di luar fungsi utamanya. Meskipun oleh penemunya ia hanya dimaksudkan sebagai alat penjemur cucian basah atau penggantung baju kering di dalam lemari, di tangan mafioso kawat gantungan baju bisa menjadi alat pembunuh. Kita menyaksikan, dalam “The Godfather 2”, Johnny Ola, anak buah mafia Yahudi Hyman Roth, dibunuh dengan benda itu.

Simpanse dan bonobo, dua spesies kerabat dekat manusia dalam keluarga besar primata, tidak akan sanggup berpikir untuk menggunakan kawat gantungan baju sebagai alat pembunuh. Simpanse dan bonobo tidak berimajinasi seperti manusia berimajinasi. Karena itulah mereka terancam punah. Yang membuat mereka tidak punah hanya belas kasih para manusia yang mendedikasikan diri untuk menyelamatkan keragaman hayati.

*

Pada fase dini evolusinya, di masa prasejarah, manusia adalah spesies lemah dibandingkan sejumlah spesies lain. Ia tidak punya racun pembunuh mangsa, tidak tahan pula terhadap racun, dan tidak punya cakar dan taring dan otot yang kuat untuk merobek dan mengerkah mangsa. Penglihatan manusia memburuk di malam hari; alam gelap dan menakutkan dan bahaya mengancam di sana-sini.

Kerentanan ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa bayi manusia lahir sangat prematur, tidak berdaya, dan induknya perlu merawat bayi itu bertahun-tahun sebelum melepaskannya menjalani hidup sendiri. Bayi-bayi spesies lain lahir dalam keadaan sudah matang secara fisik dan hanya membutuhkan waktu pengasuhan yang relatif singkat sebelum dilepaskan hidup mandiri. Sampai sekarang situasinya masih seperti itu.

Anak kucing, anak anjing, dan anak gajah sudah bisa berjalan hanya beberapa hari setelah dilahirkan. Anak-anak burung hanya perlu waktu perawatan sebentar di sarang untuk menumbuhkan bulu-bulu dan kemudian terbang. Anak manusia baru mampu berdiri setelah satu tahun, lalu berjalan sempoyongan di situ-situ saja, dan tetap tidak mampu hidup mandiri sampai bertahun-tahun kemudian.

Maka, selain menjaga keselamatannya sendiri, manusia dewasa harus menjaga bayi-bayi mereka yang tidak sanggup berbuat apa-apa. Di luar sana ada banyak ancaman; alam liar dan binatang buas dan segala yang bukan bagian dari kelompok kecil mereka adalah ancaman bagi mereka, anak-anak mereka, dan kelangsungan hidup mereka.

*

Pada kenyataannya, di antara semua spesies di bumi, yang kemudian berhasil menjadi penguasa adalah manusia, makhluk yang keberadaannya di tengah alam tidak signifikan dibandingkan spesies-spesies predator yang ganas. Manusia menjadi penguasa bumi karena ia berimajinasi. Ketika manusia berhasil membuat api, mereka menggunakannya untuk memasak makanan, dan mereka kemudian tahu bahwa hewan-hewan ganas itu takut pada api. Maka mereka memperbesar api. Mereka membuat api unggun untuk melindungi diri dari hewan-hewan pemangsa.

Dalam kerangka survival, api menjadi temuan pertama manusia yang membuat hidup lebih mudah: mereka tidak harus tidur di pohon-pohon pada malam hari atau mencari tempat perlindungan di gunung-gunung yang sulit dijangkau hewan-hewan pemangsa; mereka hanya perlu memperbesar nyala api untuk menjamin keselamatan mereka pada malam hari.

Kemampuan menjinakkan api ini membawa manusia ke penemuan-penemuan berikutnya yang berlangsung terus-menerus. Orang-orang Cina menemukan kembang api. Teknologi bubuk mesiu yang melahirkan kembang api kemudian juga melahirkan senapan, meriam, dan seterusnya. Mobil, kereta api, dan roket juga tercipta karena manusia mampu menjinakkan api.

Begitulah, manusia menguasai api dan menciptakan teknologi dan mampu membawa dirinya mengembara ke ruang angkasa. Namun, sampai semaju itu, setelan awalnya masih belum beranjak jauh dari masa ketika leluhur mereka hidup di gua-gua atau berkerumun di sekitar api unggun. Manusia tetap menyimpan perasaan tidak aman dan masih menganggap apa yang tidak mereka kenali dan segala di luar diri mereka adalah ancaman.

Dalam kehidupan bersama di sekeliling api unggun, mereka mengembangkan imajinasi bahwa orang-orang yang berkerumun di api unggun lain adalah ancaman bagi mereka. Dalam imajinasi sektarian yang bertahan sampai hari ini, manusia bisa mengarang sendiri atau mempertahankan karangan lama tentang siapa ‘musuh kita’ dan apa saja bentuk kejahatan yang akan mereka lakukan terhadap kita.

*

Jadi, apa saja di tangan manusia memang bisa membahayakan, sebab manusia berimajinasi dan selalu menyimpan perasaan tidak aman terhadap apa-apa di luar mereka dan kelompok mereka.

Demi meningkatkan rasa aman dan untuk memenangi pertarungan, mereka mempunyai dorongan instingtif untuk memperbesar jumlah anggota kelompok. Dan sampai sekarang praktik itu masih dilakukan.

Imajinasi tentang kemenangan perjuangan politik, yang di dalamnya mengandung kebutuhan akan konstituen besar, membuat manusia berpikir harus beranak sebanyak-banyaknya. Rekrutmen politik yang paling berhasil, bagi suatu kelompok dengan militansi ideologis, adalah memperbanyak jumlah anak.

*

Orang yang paling terguncang ketika bom atom diciptakan dan menyebabkan kehancuran yang menyedihkan adalah Einstein. Teorinya memungkinkan manusia menciptakan bom nuklir yang mendatangkan bencana besar bagi penduduk Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu memang mengerikan. Dan tetap tidak ada yang bisa membatasi imajinasi manusia mengenai penggunaan segala sesuatu, baik itu sebatang tongkat maupun peluru kendali.

Baca juga:

Tetapi, bukankah apa saja di tangan manusia bisa membahayakan? Bahkan teknologi di luar persenjataan juga melahirkan bencana. Mobil menyebabkan terjadinya kecelakaan; setiap hari niscaya ada kecelakaan mobil—ada yang kejadiannya di dekat kita, ada yang nun jauh di sana. Kapal melahirkan kecelakaan juga. Listrik membuat orang mati kesetrum.

Kita bisa membuat daftar semua hal yang menjadikan manusia celaka, tetapi kita akan keliru jika melulu memandang teknologi sebagai ancaman, bahwa makin maju teknologi, makin besar ancaman yang dihadirkannya bagi kehidupan umat manusia. Ancaman terbesar kemanusiaan, bagaimanapun, bersumber dari perasaan tidak aman yang dipelihara terus-menerus oleh manusia. Itu yang membuat apa saja di tangan manusia bisa mendatangkan bencana.

Ideologi jelas mengandung bahaya bagi kemanusiaan; ia antara lain melahirkan bencana perang dingin, dan perang dingin telah mendorong satu negara mengobrak-abrik negara-negara lain dengan dalih hasil karangan sendiri dan diperbesar dengan propaganda pengobaran rasa takut. Agama, yang menyatakan diri sebagai petunjuk hidup, juga terbukti melahirkan banyak bencana di sepanjang sejarah. Agama bisa menjadi alat indoktrinasi bagi manusia untuk saling memerangi dan mempertahankan rasa permusuhan yang tak kunjung berakhir hingga sekarang. Bahkan dongeng, yang dimaksudkan sebagai pelipur lara, bisa juga menjadi instrumen penyebaran hoaks.

Ideologi, agama, dongeng, dan teknologi, termasuk teknologi media sosial—semuanya setara dengan tongkat di tangan manusia, dan kita bisa menemukan 100 hal yang dapat dilakukan oleh manusia dengan sebatang tongkat.

*

Orang bisa menyodorkan beberapa contoh tidak menyenangkan tentang media sosial dan teknologi digital, tetapi ada banyak juga hal menyenangkan yang bisa kita dapatkan dengan kemajuan teknologi informasi itu. Contoh mutakhir sedang kita alami: Kita tidak terlalu ngelangut ketika harus menjalani hidup di masa pandemi yang mengharuskan kita bercokol saja di dalam rumah, sampai waktu yang tidak kita ketahui. Media sosial dan dunia digital memungkinkan kita berhubungan dengan orang-orang lain secara mudah.

Dengan teknologi informasi, manusia juga mengembangkan pendidikan online sebagai alternatif bagi sekolah-sekolah konvensional yang berbiaya mahal. Untuk Indonesia, negeri yang populasinya terpencar di banyak pulau, platform digital bisa membuka peluang bagi pendidikan yang jauh lebih murah dan setara. Warga di daerah terluar, yang semula hanya bisa menyandarkan kemajuan pendidikan mereka kepada guru-guru honorer dan para relawan, menjadi punya kemungkinan mengakses pendidikan yang sama baiknya dengan yang didapatkan oleh orang-orang di ibu kota. Untuk waktu mendatang, platform pendidikan online ini pasti makin membaik—teknologinya akan disempurnakan terus-menerus.

Franky Budi Hardiman, seseorang yang menekuni filsafat sejak muda, rupanya tidak merasa perlu menyinggung hal-hal baik itu dalam pidato pengukuhan guru besarnya. Ia menyibukkan diri hanya dengan hoaks dan derau yang muncul melalui kemajuan teknologi informasi dan mengarahkan perhatiannya kepada sisi gelap untuk membuat penilaian yang bias tentang media sosial dan teknologi digital.

Mungkin ia mengemban misi penyelamatan umat manusia dengan peringatannya tentang sisi berbahaya media sosial dan teknologi digital. Kita berterima kasih untuk itu, meskipun peringatan serupa sudah disampaikan oleh para peneliti sejak dua puluh tahun lalu. Melalui Google, yang disebut dengan nada peyoratif oleh Franky dalam pidatonya itu, kita bisa menemukan bahwa, di sekitar 1999-2000, beberapa peneliti sudah mulai mengingatkan tentang “The Internet’s Paradoxical Effect on Social Lives”, “Change and Information Overload: negative effects”, dan “Children and The Media”.

Untuk semua sisi gelap yang sudah disebutkan oleh Franky, kita hanya perlu mengingat bahwa media sosial adalah medium—ia bergantung sepenuhnya kepada isi kepala orang-orang yang menggunakannya. Ia tidak mendorong orang menjadi jahat atau menjadi malaikat, menjadi badut atau menjadi santa.

Tiap-tiap orang mendorong dirinya sendiri untuk menjadi seperti apa dia—entah dengan media sosial atau dengan sebatang tongkat. Anda bisa menyandingkan kata ‘media sosial’ dengan 100 benda lain, dan Anda akan mendapatkan 100 hal yang bisa dilakukan orang dengan media sosial.

Tetapi, peringatan memang selalu perlu diulang-ulang, sebab manusia adalah makhluk daif dan pelupa. Dan untuk hal ini saya akan mengulangi seruan yang disampaikan oleh Hamid Basyaib dan teman-teman, yang beberapa waktu lalu diserang sebagai kaum bigot sains, bahwa kita perlu terus-menerus mengampanyekan perangai ilmiah (scientific temper), agar kita tidak gampang dibodohi dan menipu diri sendiri.

Dan untuk hal-hal yang kita resahkan tentang media sosial dan lain-lain, ada peringatan oleh Goethe yang disampaikan kapan pun akan selalu relevan: Jangan pernah larut dengan semangat zaman. Kita harus mengambil jarak darinya, sebab semangat zaman hanya membawa kita merenangi kedangkalan pemikiran dan menjadi mumet di dalam kebisingan dan berakhir dengan memproduksi kegilaan.