Dalam dunia Islam, dakwah memiliki peran yang sangat penting. Sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran agama, dakwah harus dijalankan dengan bijak. Namun, tidak jarang kita temui bentuk dakwah yang merendahkan kemanusiaan, salah satunya adalah model yang diaplikasikan oleh Maheer At Thuwailibi. Dakwah yang seharusnya memupuk nilai-nilai kebaikan justru dapat bertransformasi menjadi instrumen penyingkiran kemanusiaan. Di dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek dari fenomena ini.
Salah satu paradoks dakwah Maheer adalah pendekatan yang digunakan. Penggunaan metafora dalam penyampaian pesan seharusnya digunakan untuk mendalami makna dan memudahkan pemahaman. Namun, dalam konteks ini, metafora sering kali digunakan untuk mengecilkan, merendahkan, atau bahkan mengolok-olok pihak lain. Metafora yang seharusnya menjadi jembatan pemahaman, justru menjadi jurang perpecahan.
Mari kita lihat lebih jauh mengenai bagaimana Maheer memanfaatkan kata-kata dalam dakwahnya. Dalam penggunaan metafora, Maheer sering kali menggunakan gambaran yang ekstrem. Misalnya, ia menganalogikan perilaku tertentu dengan hewan atau benda mati yang dianggap rendah. Hal ini tentunya tidak hanya mencederai perasaan individu yang boleh jadi menjadi sasaran, tetapi juga menimbulkan stigma negatif terhadap kelompok-kelompok tertentu. Bukankah seharusnya dakwah bertujuan untuk mengajak dan bukan untuk menjatuhkan?
Dari sisi psikologis, dakwah seperti ini juga dapat menciptakan efek domino yang tidak diinginkan. Ketika kata-kata yang terucap penuh dengan merendahkan dan menyinggung, maka hal itu berdampak pada mental dan emosional yang mendengarnya. Individu yang mungkin skeptis, bahkan anti terhadap ajaran yang ingin disampaikan, bisa jadi justru semakin menutup diri. Ketidakpahaman akan nilai-nilai Islam akhirnya menjadi semakin lebar, serta memicu perpecahan di antara umat. Seharusnya, tujuan dakwah adalah merangkul semua kalangan, bukan merobek kesatuan.
Seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak kelompok dan individu yang terpapar oleh dakwah Maheer. Dalam media sosial, dialog-dialog seputar pendekatan yang digunakannya mulai ramai diperbincangkan. Diskusi ini menciptakan dua kubu: mereka yang mendukung dan mereka yang menolak. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar siap menghadapi polarisasi yang terjadi akibat perdebatan ini? Diskusi yang sehat dan terbuka seharusnya menjadi pilihan, namun ada kalanya bisa jadi bumerang jika tidak dikelola dengan baik.
Salah satu hal yang penting untuk disadari adalah bahwa kata-kata membawa bobot. Umat Islam, terutama yang baru mengenal dakwah, sering kali dipengaruhi oleh aura pemimpin mereka. Ketika Maheer menggunakan metafora yang merendahkan, secara tidak langsung, ia mengajak pengikutnya untuk melakukan hal yang sama. Ini menciptakan siklus perilaku yang berbahaya dan negatif. Seharusnya, pemimpin dapat menjadi teladan, tidak hanya dalam hal ajaran, tetapi juga dalam cara berkomunikasi.
Lebih jauh, kita bisa mempertimbangkan dampak sosial dan budaya dari dakwah Maheer. Misalnya, apa konsekuensi jejaring sosial yang terbentuk atas pola dakwah yang merendahkan ini? Lingkungan yang seharusnya menginspirasi dan meningkatkan keimanan, malah menjadi tempat di mana kritik dan serangan pribadi menjadi konsumsi sehari-hari. Hal ini berisiko mendorong generasi muda kita menjadi apatis terhadap nilai-nilai luhur agama dan melahirkan orientasi egois.
Sebagai penutup, kita perlu merenungkan makna sebenarnya dari dakwah. Apakah ia sekadar alat untuk menguatkan agenda pribadi ataukah menjadi sarana penebar kebaikan yang menonjolkan nilai-nilai kemanusiaan? Dalam hidup yang semakin kompleks ini, kita perlu mengedepankan dialog yang penuh empati dan kasih sayang. Mari kita gunakan pengaruh kita untuk mengajak bukan menghentikan, menginspirasi bukan merendahkan.
Selama masih ada kesempatan untuk memperbaiki cara dakwah kita, marilah kita berusaha untuk tidak hanya mendengarkan suara pemimpin kita, tetapi juga suara hati nurani kita. Ingatlah bahwa setiap manusia berhak diperlakukan dengan hormat dan rahmat. Memang, setiap kita memiliki pandangan berbeda; namun, apa yang diharapkan dari seorang muslim adalah bagaimana kita bisa menghargai perbedaan itu dalam ikatan kasih sayang, bukan justru menyebar kebencian melalui nuduh dan cercaan. Mari kita bangun kembali dakwah yang menghargai martabat setiap manusia.






