
Prof Dr M Dawam Rahardjo genap berusia 65 tahun pada 20 April 2007. Kawan-kawan dan murid-muridnya di Auditorium Universitas Paramadina merayakan ulang tahun itu.
Mas Dawam (panggilan akrabnya) adalah satu dari beberapa intelektual muslim awal (sejak tahun 1960-an) yang sangat intens memperjuangkan ide-ide kebebasan dan pluralisme di Indonesia. Beberapa yang lain adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Djohan Effendi. Sementara yang lain telah lebih dulu meninggal, seperti Nurcholish Madjid dan Ahmad Wahib.
Mereka inilah yang bisa kita sebut sebagai pembuka jalan bagi gagasan kebebasan dan pluralisme yang sekarang banyak berkembang di kalangan pemikir-pemikir muda Islam. Para pemikir yang sezaman dengan mereka juga banyak yang telah mengusung gagasan itu.
Namun, fokus bahasan mereka tidak dalam konteks keislaman, terutama dalam tataran normatif-teologis, tetapi pada aspek yang lebih umum terkait dengan persoalan kebangsaan.
Pada perayaan ulang tahun itu juga sekaligus peluncuran sebuah buku, Demi Toleransi, Demi Pluralisme, yang berisi kumpulan tulisan 31 tokoh yang berasal dari kalangan intelektual, petinggi partai, agamawan, aktivis LSM, dan lain-lain yang semuanya adalah teman dan murid Dawam.
Beragam tema dan latar belakang penulisnya memperlihatkan betapa Dawam merambah beragam isu sepanjang karier intelektualnya. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada ini tidak hanya mahir menganalisis ekonomi, tetapi juga sangat piawai bicara Islam, pluralisme, sosiologi, antropologi, filsafat, sastra, feminisme, studi perdamaian, dan lain-lain.
Dawam bahkan bisa kita sebut sebagai perintis perkembangan beberapa teori ilmu sosial di Indonesia, seperti memperkenalkan teori dependensia dan studi perdamaian.
Infrastruktur Intelektualisme
Tak bisa kita sangkal, Dawam memberikan sumbangan paling besar dalam membangun infrastruktur intelektualisme Indonesia. Dawam adalah satu di antara segelintir orang Indonesia yang merintis pembangunan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sampai saat ini menjadi pusat-pusat aktualisasi para intelektual Indonesia.
Ia telah membangun dan mendirikan sejumlah LSM ternama yang menjadi pusat kegiatan intelektual, seperti LP3ES, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), P3M, Paramadina, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan menjadi petinggi Muhammadiyah.
Baca juga:
Dawam juga mengomandoi kelahiran dua jurnal terbesar yang pernah ada di Indonesia, yaitu Prisma (LP3ES) dan Ulumul Qur’an (LSAF). Lembaga-lembaga ini kemudian melahirkan tokoh-tokoh intelektual termuka Indonesia, yang sebagian besarnya mengaku sebagai murid dan teman Dawam Rahardjo.
Merekalah yang kemudian mengisi hampir semua debat pemikiran dan intelektual Indonesia sepanjang tahun 1990-an sampai sekarang. Sebagian dari mereka menjadi guru besar dan doktor di pelbagai bidang kajian.
Sebagai intelektual yang sekaligus aktivis, Dawam tampak tidak pernah bisa diam terhadap fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Dawam menjadi tipikal intelektual yang selalu kukuh di satu sudut pendirian dan keyakinan tertentu. Dawam bahkan tak segan-segan mengambil posisi yang tidak populer sejauh itu tidak bertentangan dengan keyakinannya.
Pada masa mahasiswa, tahun 1960-an, ketika kebijakan politik nasional di bawah Soekarno meminggirkan “Islam”, Dawam bersama beberapa temannya mengambil posisi tegas membela kepentingan kelompok Islam yang saat itu marginal. Dawam tanpa sungkan muncul sebagai aktivis dan pemikir muda Islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang saat itu terancam oleh provokasi politik Partai Komunis Indonesia (PKI).
Akhir tahun 1960-an, ketika kekuatan Orde Lama (PNI dan PKI) dimusuhi, Dawam dan kawan-kawannya tak segan-segan memberi dukungan terhadap penyelesaian tragedi pembantaian anggota PKI di seluruh Indonesia. Pada saat itu pula, Dawam makin kritis terhadap HMI yang mulai menunjukkan tanda-tanda sektarian dan politis.
Ketika masuk ke jajaran kepengurusan Muhammadiyah, Dawam kembali menunjukkan sikap kritisnya terhadap semua persoalan yang ia anggap tidak tepat.
Dicoret dari Posisi
Beberapa tahun terakhir, ketika bangsa Indonesia sedang berada dalam euforia demokrasi dan kebebasan, beberapa kelompok masyarakat, dengan mengatasnamakan kebebasan, mencoba melakukan represi terhadap kelompok yang lain. Mayoritarianisme menjadi ancaman bagi kaum minoritas.
Halaman selanjutnya >>>
- Homoseksualitas Bukan Kejahatan - 28 Januari 2023
- Pidato Megawati - 12 Januari 2023
- Hate Crime - 13 Juni 2022