
Pilkada 2018 ini merupakan media artikulasi politik rakyat.
Adagium canis timidus vehementius latrat quam mordet (anjing penakut akan menyalak lebih kencang ketimbang gigitannya) dapat kita cukupkan untuk menjadi pegangan rakyat Indonesia dalam membuka lembaran baru di tahun yang baru.
Orang menyebut-nyebut 2018 sebagai gerbang yang akan mengantarkan sebagian rakyat Indonesia pada eskalasi politik yang kian memanas. Pasalnya, perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada 2018) di beberapa provinsi akan membuka tahun ini. Selanjutnya, pendaftaran pasangan capres dan cawapres pada Agustus di tahun yang sama.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berucap bahwa pelaksanaan pilkada serentak tahun ini jatuh pada Juni; menyertakan 171 daerah, 17 provinsi, dan 154 kabupaten/kota. Sementara tahapan pelaksanaannya telah termuat dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2017.
Jika ada di antara kita yang mengamini bahwa Pilkada 2018 ini merupakan media artikulasi politik rakyat, media bagi kontrak sosial pemimpin politik dengan rakyat, penyelenggaraan yang sedikit-banyak memakai uang rakyat, cerminan tegaknya kedaulatan rakyat, jelas perhatian rakyat adalah unsur terpenting dalam mendekorasi panggung demokrasi. Dengannya pulalah suasana pesta ini dapat memunculkan kandidat-kandidat layak mandat.
Lantas di manakah harus kita letakkan perhatian tersebut, merujuk pasal 4 PKPU Nomor 1 2017, tahapan yang terintruksikan kepada KPU terdiri atas tahap persiapan dan tahap penyelenggaraan Pilkada 2018?
Tahap persiapan telah start pada Juni tahun lalu. Pun demikian jika di antara kita ada yang luput memperhatikan itu, tidak usah bersusah hati. Anda tidak salah. Tulisan inilah yang salah karena tidak segera rampung.
Begitu pun jika Anda diminta untuk tidak mengelak. Terhitung sejak hari ini, tahap penyelenggaraannya adalah kewajiban yang mesti mendapat perhatian bersama.
Tulisan ini mengajak pembaca menyoroti beberapa kasus yang terjadi belakangan, kasus yang barangkali biasa terjadi menghiasi jelang pentas demokrasi. Di antaranya adalah penyebaran foto kandidat NH berbaju tahanan, berikut tulisan berisikan deretan dosa-dosanya di masa silam: pencoretan baliho gubernur Riau yang akan mencalonkan kembali, unggahan foto berbau pornografi pada politisi AA yang semula berniat mencalonkan diri.
Baca juga:
- Sambut Pilkada 2018, Ketum IKPM Jateng-Yogyakarta Seru Visi Politik Kaum Muda
- Politik Nahdliyin di Pilkada 2018: Peluang Khofifah dalam Tradisi Patriarki NU
Kasus di atas tidak akan saya paparkan secara kronologis mengingat kebenaran daripadanya belum menemukan acuan. Baiknya kita jadikan saja itu imbauan kepada rakyat agar pola pikir logislah yang mereka kedepankan.
Pembunuhan karakter adalah keniscayaan yang selalu politisi keluhkan. Bahkan, sebelum masa kampanye, keadaan tersebut muncul dengan cara beraneka ragam, mulai dari black propaganda hingga attack campaign.
Tidak tanggung-tanggung, black propaganda mampu menyisir dua dunia: dunia nyata dan dunia maya. Sejatinya, istilah yang semula terpakai dalam dunia militer ini—masa perang dunia I dan II—tidak memiliki kejelasan efek, entah membodohkan atau mencerdaskan. Sebab, pilkada memiliki sekup wilayah relatif sempit. Jelaslah yang menggunakannya adalah orang katrok dan kampungan.
Sementara attack campaign yang berbentuk memopulerkan diri, menyerang lawan, membanding-bandingkan, sampai saat ini tidak pernah pasti keuntungan dan kerugian yang bakal ia dapatkan. Menggunakannya berarti keliru melihat rakyat yang telah cerdas oleh kemuakan-kemuakan.
Entahlah, kedua praktik itu masih saja kita temukan di lapangan, yang mungkin juga akan terjadi di Pilkada 2018. Bisa jadi itu merupakan ironi sebagian politisi, atau justru ulah simpatisan yang memaksakan simpati.
Ke depan, masa kampanye akan tiba. Meramu tradisi kampanye adalah hal utama yang mesti politisi pertontonkan.
Ingat, mobilisasi massa adalah tradisi yang sudah basi. Sedangkan tarung program visi-misi masih membutuhkan inovasi bila tidak mau rakyat sebut sekadar janji.
Pesta demokrasi yang daerah selenggarakan memiliki konstituen lokal bukan nasional, sehingga sensitivitas para kandidat pun harus menyasar pada isu-isu lokal. Hemat saya, terlalu berlebihan seorang kandidat yang menyodorkan penyelesaian isu nasional, apalagi menawarkan penyelesaian atas isu akhirat. Bisa gawat.
Baca juga:
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa isu-isu lokal hanya butuh penyelesaian yang sederhana, pragmatis, dan konkret-faktual. Bencana alam, fasilitas umum, tenaga kerja, misalnya.
Untuk merangsang peningkatan kualitas pendidikan politik masyarakat, tentunya dapat kita mulai dari memperbaiki tradisi kampanye, baik yang politisi lakukan sebagai kandidat, maupun partisipan yang mendapat tugas untuk mempromosikan. Akhirnya, kampanye mampu meminimalkan konflik serta tekanan.
Menerapkan etika kampanye santun merupakan tolok ukur kedewasaan politikus. Kualifikasi kapasitas pendidikan dan moralitasnya tidak perlu kita ragukan. Pemberian suara terhadapnya tidak perlu kita sesalkan.
Di akhir tulisan ini, saya mengajak seluruh masyarakat calon pemilih tetap untuk bersama-sama mendekorasi panggung demokrasi, memeriahkan pesta, menyambut dan melayani pemimpin tepercaya. Caranya, hindari black propaganda dan attack campaign selaku tim sukses. Sodorkan budaya dan tradisi kampanye baru.
Yakinlah, politisi pemberani akan bertarung dengan program dan visi-misi. Sebaliknya, politisi penakut akan koar-koar membangun sentimen antipati, begitu pun para simpatisannya.
- Kabut Asap yang Kian Menggoda - 16 September 2019
- Milenial Tidak Hanya Fasih Nama Para Pahlawan - 9 November 2018
- Pemuda, Usir Penjajah Bernama Post-Truth! - 4 November 2018