Di Balik Ruu Kuhp Suara Masyarakat Yang Terpinggirkan Di Tahun 2024

Di tengah gemuruh perdebatan seputar RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia, ada suara-suara yang sering kali terpinggirkan—suara masyarakat. Tahun 2024 menjadi momentum penting untuk menyelami lebih dalam bagaimana regulasi hukum yang baru dapat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari warga negara, khususnya mereka yang berada di lapisan bawah. RUU KUHP bukan sekadar perubahan hukum, melainkan juga sebuah cermin dari kondisi sosial politik yang kompleks di Indonesia.

Pertama-tama, perlu dipahami konteks latar belakang pengesahan RUU ini. RUU KUHP merupakan satu dari sekian banyak upaya pemerintah untuk memperbarui sistem hukum yang dianggap sudah usang. Namun, dalam prosesnya, muncul berbagai tantangan untuk memperhatikan perspektif masyarakat. Banyak pihak mengeluhkan bahwa suara mereka tidak didengar, apalagi ketika kebijakan-kebijakan tersebut diambil tanpa melibatkan partisipasi publik secara signifikan. Di sinilah pentingnya menilai dampak yang lebih luas dari RUU ini.

Salah satu isu yang paling mendesak adalah bagaimana penerapan RUU KUHP dapat mempengaruhi kelompok marginal. Mereka sering kali terpinggirkan dalam proses legislasi. Misalkan, para petani, pekerja migran, dan masyarakat adat—mereka adalah orang-orang yang sewaktu-waktu dapat terjerat oleh ketentuan hukum baru yang mungkin tidak memahami isu-isu hukum. Dalam banyak kasus, ketidaktahuan terhadap hukum dapat berujung pada kriminalisasi terhadap aktivitas sehari-hari mereka.

Berlanjut ke bagian dalam RUU, terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang ketertiban dan ketenteraman umum. Selain itu, beberapa pasal juga membahas tindakan yang dianggap mengganggu stabilitas sosial. Namun, terkadang ketentuan seperti ini dapat disalahgunakan oleh aparat penegak hukum. Penyalahgunaan wewenang dapat mengarah pada perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Hal ini menciptakan kekhawatiran di kalangan mereka yang sudah menghadapi berbagai tantangan ekonomi, sosial, dan budaya.

Faktor lain yang tak kalah penting untuk ditelaah adalah komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Sering kali, masyarakat merasa ter alienasi dari proses demokrasi yang seharusnya inklusif. Dianggap tak hadir dalam percakapan publik, individu-individu ini mencari cara untuk menjangkau pemerintah melalui saluran alternatif—baik itu melalui aksi demonstrasi, media sosial, atau isu-isu komunitas. Semua ini menunjukkan kerinduan mereka untuk diperhatikan, dan sebaliknya, kita juga dihadapkan pada pertanyaan besar: Seberapa jauh pemerintah mendengarkan suara yang ingin disampaikan?

Kita juga tidak dapat melupakan ketahanan masyarakat sipil dalam menghadapi perubahan tersebut. Banyak organisasi non-pemerintah (NGO) yang telah berjuang untuk melindungi hak-hak masyarakat yang rentan. Jaringan-jaringan ini, meskipun beroperasi dalam keterbatasan, tetap berusaha menyuarakan aspirasi rakyat dan menuntut keadilan. Sayangnya, tindakan represif oleh pemerintah kadang kala menghalangi langkah mereka, menambah kompleksitas terhadap situasi yang sudah sulit.

Pada saat bersamaan, kita harus melihat bahwa ketidakpuasan masyarakat bisa berujung pada gerakan sosial yang lebih besar. Masyarakat yang terpinggirkan berpotensi menjadi motor penggerak perubahan jika mereka mampu bersatu dan menyampaikan aspirasi mereka secara kolektif. Apala g yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa suara mereka bisa menjadi kekuatan yang tidak boleh diabaikan. Namun, ada beberapa rintangan yang harus dilalui, mulai dari pembatasan kebebasan berekspresi hingga cacat dalam ruang publik yang seharusnya terbuka untuk dialog.

Melangkah ke depan, pemerintah harus secara sadar mengembangkan kebijakan yang inklusif—mengundang partisipasi masyarakat pada setiap tahap proses legislasi, bukan hanya saat pengesahan. Terdapat keharusan sistematis untuk mendengar dan mempertimbangkan masukan dari mereka yang paling terpengaruh oleh undang-undang baru. Alokasikan ruang bagi dialog yang bermakna, di mana suara dari setiap lapisan masyarakat bisa disampaikan tanpa merasa terancam.

Akhirnya, RUU KUHP 2024 bukan hanya soal memperbarui hukum, tetapi soal mengakomodasi keberagaman suara di masyarakat. Ini adalah sebuah refleksi sosial yang harus mampu menyuarakan semua pihak, terutama mereka yang selama ini terpinggirkan. Saat kita bersiap untuk menghadapi perubahan ini, sangat penting agar kita tidak melupakan tanggung jawab kita untuk membangun sebuah sistem yang adil dan merata. Mengabaikan suara masyarakat hanya akan memperdalam jurang pemisah antara pemerintah dan rakyat—sebuah siklus yang harus kita putus agar Indonesia dapat meraih cita-cita luhur keadilan dan pemerataan, seperti yang diimpikan oleh para pendiri bangsa.

Related Post

Leave a Comment