Diskriminatif Dosen Unhas Usir Mahasiswa Yang Mengaku Gender Neutral

Dalam dunia akademik yang seharusnya menjadi ladang terbuka bagi berbagai ide dan identitas, rangkaian peristiwa yang terjadi di Universitas Hasanuddin (Unhas) telah menimbulkan debat yang menggugah rasa kemanusiaan kita. Mahasiswa baru diusir dari kelas oleh dosen karena mengidentifikasikan diri sebagai gender netral. Insiden ini bukan sekadar tindakan terisolasi, melainkan gambaran luas dari ketidakpahaman dan diskriminasi yang masih merasuk di banyak institusi pendidikan di Indonesia.

Pada permukaannya, tindakan tersebut mungkin dianggap sebagai langkah konservatif dalam menjaga “nilai-nilai tradisional” di lingkungan pendidikan. Namun, di balik tabir itu terhampar realitas yang lebih menyakitkan: bahwa pemahaman tentang gender yang inklusif masih dilanda kebodohan dan prasangka yang mengakar. Dosen yang seharusnya mendidik dan membuka cakrawala pikiran justru menjadi penghalang bagi mahasiswa untuk berekspresi dalam wujud yang paling autentik.

Diskriminasi berbasis gender tidak hanya mengenai identitas, tetapi juga melibatkan hak asasi manusia yang fundamental. Mengusir seorang mahasiswa karena identitas gendernya mengandaikan bahwa ada kebenaran tunggal yang dibenarkan dalam siklus pendidikan. Nyatanya, manusia adalah makhluk kompleks dengan beragam lapisan identitas yang tidak bisa dipadamkan oleh aturan-aturan yang kaku.

Dalam konteks ini, kita harus bertanya: Apa yang membuat dosen tersebut merasa berhak untuk mengusir mahasiswa yang berani menunjukkan siapa dirinya? Tindakan itu mencerminkan kekuasaan yang dilanggengkan—sebuah cara untuk menegaskan dominasi atas narasi yang sah dan beragam. Ketika kita berbicara tentang pendidikan, apakah tujuannya untuk mentransfer pengetahuan ataukah menciptakan zona nyaman bagi pandangan tertentu yang meminggirkan yang lain?

Cerita ini menyerupai sebatang pohon yang berusaha tumbuh di tengah kebun yang sempit. Ranting-rantingnya berusaha meraih cahaya, namun terhalang oleh dinding-dinding yang ingin dibangun agar semuanya berjalan dalam satu irama. Kita ingin mendengar suara-suara yang tak terduga, suara-suara yang mungkin menantang cara berpikir konvensional. Namun, di sinilah letak konflik: antara tradisi dan inovasi, antara penerimaan dan penolakan.

Pihak universitas selayaknya mengambil sikap yang tegas terhadap insiden ini. Memastikan bahwa lingkungan belajar bersifat inklusif dan aman bagi semua pihak adalah tanggung jawab institusi pendidikan. Kebijakan yang mendukung keberagaman harus diciptakan dan diperkuat agar setiap mahasiswa merasa dihargai terlepas dari identitas mereka. Di sinilah peran penting pendidikan untuk meruntuhkan tembok prasangka yang dibangun bertahun-tahun.

Dalam situasi ini, mahasiswa yang mengidentifikasi sebagai gender netral tidak hanya menjadi korban dari tindakan diskriminatif, tetapi juga simbol perlawanan. Mereka berani melawan norma yang telah dianggap baku, dan menuntut agar suara mereka didengar. Perjuangan ini bukan hanya tentang individu, tetapi juga tentang pengakuan hak asasi yang berlaku untuk semua. Membayangkan dunia di mana setiap orang bebas mengekspresikan identitas mereka tanpa takut akan reperkusi adalah harapan yang ideal.

Melihat lebih jauh, situasi ini memunculkan pertanyaan lebih mendalam: Bagaimana pendidikan di Indonesia mempersiapkan generasi muda menghadapi kerumitan hidup yang beragam? Apakah kita ingin melahirkan individu yang cenderung homogen, atau kah kita lebih memilih generasi yang mampu memahami dan merayakan perbedaan? Tentu saja, jawaban atas pertanyaan tersebut akan membentuk masa depan kita.

Pendidikan seharusnya mengajarkan mahasiswa untuk berpikir kritis dan mendorong mereka untuk menjelajahi berbagai aspek kehidupan, termasuk isu gender. Dosen seharusnya berperan sebagai pendukung, bukan sebagai penghalang. Ketidakmampuan untuk menerima perbedaan menjadi cermin dari kelemahan sistem pendidikan kita, di mana kebebasan berpendapat dipertanyakan dalam lingkaran yang sempit.

Namun, harapan tidak sepenuhnya hilang. Komunitas mahasiswa, aktivis, dan masyarakat secara umum harus bersatu dalam suara yang menentang praktik diskriminatif ini. Diskusi terbuka dan dialog harus dibangun, di mana setiap individu dapat menyuarakan pengalaman mereka tanpa rasa takut. Inisiatif edukatif yang melibatkan pemahaman tentang gender dan hak asasi manusia perlu diperkenalkan dan diajarkan di kampus-kampus untuk menciptakan kesadaran yang lebih besar.

Keberanian mahasiswa untuk mengekspresikan identitas mereka harus diapresiasi sebagai sebuah langkah menuju perubahan yang lebih besar. Seperti embun di pagi hari yang meski halus dan kecil, tetapi mampu memberikan segar pada dedaunan, keberanian mahasiswa ini menginspirasi banyak orang untuk mulai mengenali makna dari keberagaman. Kita semua berhak untuk hidup dalam dunia di mana setiap suara mendapat ruangnya. Semoga insiden di Unhas ini menjadi titik balik untuk menciptakan edukasi yang lebih inklusif di seluruh Indonesia.

Related Post

Leave a Comment