Enu Charline; Kita Dijodohi Semesta

Enu Charline; Kita Dijodohi Semesta
©Cultured Magazine

Seperti rona senja merilis sendu, membiarkan bunga bermekaran yang menutup matamu. Tanpa disirami derasnya air hujan mengibas angin di tubuh yang nyeri, saat melengkung hasrat menambat rasaku. Meski engkau berkelana mencari suaka dalam marga. Toh, sang Jua tetap membawa engkau kembali untuk bersua dengan aku yang setia menantimu pada mimpi.

Beningmu yang suci tak layak jika bercampur-baur dengan warnaku yang kotor, bertinta hitam dan kelam. Itu hanyalah akan merusak keanggunanmu. Dari sinilah peran sang waktu dimulai. Dengannya kita hidup dan mati, dengannya pula semua akan datang dan pergi.

Oh waktu, dia banyak menyaksikan dunia. Menyaksikanku yang terasing jauh hingga ke-negeri tetangga, dan melihatmu yang gigih terbawa ke jantung kota kita yang indah. Aku bertemu dengannya tak sengaja, dan mungkin juga tak masuk akal. Pokoknya hanya waktu yang tahu pasti tentang cerita dan kisah kami.

Aku mengenalnya pertama kali sekitar 17 tahun yang lalu. Saat itu usiaku baru belasan. Masih duduk di bangku SMA. Aku mengenalnya, tak begitu akrab. Tapi aku tahu. Aku melihatnya, namanya Charline. Nama yang yang begitu merdu bagiku. Bahkan semerbak bunga bakung di ladangnya pak RT.

Aku mengenalnya selama 2 tahun, hingga lulus SMA. Dia adalah murid pindahan salah satu sekolah ternama di kota Ruteng. Setelah itu, Charline menghilang, entah ke mana, ia berkelana mengembara diri pada dunia.

Aku bertemu dengannya, lagi. Belasan tahun kemudian. Mungkin banyak yang berubah. Aku telah lulus kuliah filsafat(aku gagal untuk melanjutkan studi menjadi imam). Beberapa kali bekerja di tempat yang berbeda.

Aku pernah memiliki hubungan dengan beberapa wanita dalam kurun waktu tersebut. Sekali dengan seorang anak pejabat, keturunan Arab. Dia meninggalkanku, menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya. Tapi mungkin juga dia turut memutuskan.

Sekali aku pernah memiliki hubungan dengan seorang wanita. Dia seorang guru di daerah. Orangnya cerdas, punya pandangan yang agak berbeda dari kebanyakan wanita. Aku berhubungan dengannya selama beberapa tahun, meskipun tidak selalu ketemu.

***

Dia tinggal di luar kota, agak jauh dari kota asalku, yakni kota Lale. Tapi hubungan kita cukup berkualitas. Dalam setiap pertemuan, kami menghabiskannya untuk mengobrol dan berdiskusi tentang banyak hal dan menikmati kopi pahit ala manggarainistis.

Dia menikmatinya, aku berusaha sebisa mungkin menjadi laki-laki macho teracho, itu bahasa terlaris untuk anak muda di kotaku kala itu. Tapi hubungan ini pun berakhir, bukan tanpa sebab, tapi karena sebab yang begitu sederhana. Kita terlalu sering berkomunikasi, menghabiskan waktu berjam-jam. Hingga bosan. Kami memutuskan untuk berpisah.

Aku tak keberatan, bagiku sama saja. Aku tak serius, tidak melihat peluang untuk hidup bersama dalam waktu-waktu mendatang. Biarlah, toh tak ada yang dirugikan.

Lalu Charline? Dia sudah menikah, dengan lelaki yang dia pilih dengan risiko. Umurnya masih 21 ketika menikah. Kini dia punya seorang putri, bersekolah di sekolah dasar. Belasan tahun berlalu, tak banyak yang berubah dari Charline. Senyumnya ringan, tatapan mata yang binar mendaya saling pinta, rambut pirang yang bergelombang, langkah kaki ceria, bibir yang begitu oval yang seakan mampu melumat seisi dunia.

Suaranya selalu memiliki daya tarik yang khas, pokoknya mirip khetty perry. Satu hal yang membuat aku begitu semangat ketika melihatnya, Charline senang dengan cerita-cerita humor. Dia senang tertawa. Itu merupakan suatu eden surge yang pernah aku lihat. Aku jatuh cinta padanya.

***

Dan aku bertemu dengannya. Kami berkirim pesan lewat media sosial. Charline menanggapi dengan semangat, ketika aku menyapanya. Dia gembira, bisa bertemu dengan kawan lama setelah bertahun-tahun terpisah tanpa kabar.

Kami dulu tidak begitu akrab, sekedar saling mengenal sebagai siswa. Tapi hari ini, ada semangat di antara kami. Seolah-olah kita adalah teman akrab yang terpisah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Ya, mungkin karena aku kuliah dalam jeruji suci. Mungkin karena lama tidak memiliki hubungan dengan wanita lain, kehadiran Charline membawa perasaan baru yang tercampur aduk; harapan, inspirasi atau mungkin tragedi yang menanti pada waktu. Hingga pertemuan kami kembali, aku tak tahu banyak tentang Charline.

Aku dulu seorang calon pastor yang sedikit sekuler radikal. Aku tak pernah mencampur urusan agama dan masalah dunia. Sementara Charline seorang Perempuan Kristen yang setia dan taat. Dia senang membaca Alkitab, juga sering mengutip beberapa ayat dalam Injil.

***

Aku menganggap Tuhan tak begitu penting, tapi bagi Charline, Tuhan adalah alasan kenapa dia hidup. Charline rajin mengunjungi Gereja setiap pekan, dan bahkan mengajariku bahwa doa adalah cara paling bijak mengakui keterbatasan manusia.

Aku menganggap doa tak lebih dari sekadar alasan melarikan diri dari kenyataan, atau tak memiliki pilihan. Doa jadi pelarian paling melankon.

Beberapa hari kemudian, setelah perjumpaan pertama kami, aku menuliskan pesan singkat untuk Charline sore itu. isinya cukup jelas; enu Charline, aku mengajaknya bertemu.

Charline kaget, menanggapi itu sebagai lelucon. Dia bertanya kembali lewat pesan singkat, nana apakah itu serius. Aku menjawab, ya.

Aku menunggu di kedai kopi Engkong (warkop terlaris masa itu), selepas matahari terbenam. Charline memberikan persetujuan, dia akan datang, ingin bertemu, mengobrol. Katanya padaku, dia akan tiba sekitar 2 jam lagi.

Aku melihat jam pada ponsel, pukul 4.30. ini berarti dia akan tiba sekitar jam 6.30, sudah lewat petang. Aku merasakan sore itu penuh semangat. Ada semacam perasaan gembira, rindu yang aneh serta sedikit cemas.

Entahlah, Charline sudah bersuami. Dan aku, seorang pemuda eks-frater yang belum pernah menikah, dengan beberapa kali pengalaman pahit berhubungan dengan perempuan.

***

Hari itu kami bertemu. Selepas petang, malam mulai menjelang. Charline tiba, aku berdiri menyambut. Aku menatap Charline cukup lama, menyesuaikan dengan gambaran Charline yang aku kenal belasan tahun silam.

Tak banyak yang berubah, senyumnya masih sama. Charline punya selera humor yang bagus, dia mudah tertawa dengan lelucon ringan.

Beberapa menit kemudian kami terlibat obrolan santai, sambil berjalan. Aku mengajaknya ke tempat favorit kami. Charline tak keberatan. Kami mengobrol banyak hal yang kita lewati masing-masing selama belasan tahun setelah lulus sekolah.

Charline mulai berkisah; dia tak kuliah. Selesai sekolah, dia bekerja di sebuah pusat perdagangan. Juga pernah bekerja di perusahaan asing. Menikah di usia muda, dengan laki-laki yang tidak dicintainya dengan serius. Kini Charline punya anak, seorang gadis kecil.

***

Bergantian, aku bercerita kepada Charline tahun-tahun yang kulewati; lulus SMA aku melanjutkan pendidikan panti calon imam. Namun, panggilan dari luar lebih kuat, sehingga aku gagal. Pernah ingin mencoba melanjutkan sekolah hukum, tapi tak selesai.

Aku pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis, 4 tahun lamanya. Tapi akhirnya dia menikah dengan lelaki yang dipilihkan oleh orang tuanya. Ayahku meninggal saat aku menyelesaikan tugas terakhir sebelum sarjana filsafat. Dan yang paling menyedihkan, aku kehilangan tempat tinggal ketika diusir dari pastoran tempat aku TOP.

Charline tak banyak merespons, hanya beberapa kali terkejut. Menurut Charline, aku kehilangan. Terlalu banyak kehilangan. Tapi itulah, bagiku kehilangan bukan sesuatu yang buruk. Setiap orang pasti kehilangan, semuanya hanya soal kebiasaan. Ingatan, suatu saat, akan diambil alih oleh lupa.

Berjam-jam, kami terlibat obrolan panjang tentang banyak hal. Charline menikmati kisah-kisahku, yang kututurkan dengan sedikit lelucon yang masih kuingat.

Malam itu, bulan tampak lebih besar. Aku menjelaskan kepada Charline; bulan berada pada posisinya yang paling dekat dengan bumi. Peristiwa ini langka, terjadi sekali dalam puluhan tahun.

Aku menunjuk ke langit, objek paling terang selain bulan. Itu Sirius, bintang paling terang di langit. Charline tampak kagum. Dia sering melihat bintang itu, tapi tak pernah tahu namanya. Dia memuji, bahwa aku mengetahui banyak hal yang tidak dia ketahui(wajarlah aku eks-efer)

***

Kami menghabiskan sisa malam dengan berjalan menelusuri jalanan kota dengan sebuah motor Yamaha metic putihku, hingga ke tepi pantai. Charline bilang padaku, dia tahu banyak hal dariku. Hal-hal baru yang dia tak pernah dengar dari siapa pun.

Sepertinya dia cukup nyaman bersamaku malam itu. Belasan tahun, tapi kita seolah tak pernah berpisah sehari pun. Aku merasa akrab, dia pun demikian. Tak ada yang keliru malam itu, apalagi yang salah. Hingga kami berpisah jalan malam itu.

Kami bertukar nomor. Kita akan berhubungan lagi, mungkin bertemu lagi. Aku bertanya pada Charline, dia mengangguk kecil dengan senyum. Kapan saja, katanya. Aku mengucapkan terima kasih, memegang lembut lengan Charline.

Aku melemparkan senyum terakhir, dan mengucapkan selamat tinggal. Kami berpisah malam itu. Aneh.

Kami baru berpisah kurang dari satu malam. Bertemu lagi setelah belasan tahun, tanpa kabar, tak bertemu selama itu. tapi tiba-tiba ada yang ganjil dengan hari ini. Aku rindu? Pada siapa? Pada gadis yang tak kutemui selama 17 tahun? Pada perempuan yang berkisah tentang hidupnya yang tak dia syukuri dan pernikahannya yang dia sesali? Ataukah aku hanya terobsesi?

Aku menerka, mencari penjelasan. Mungkinkah aku jatuh cinta? Dan haruskah ini diselesaikan?

Charline bukanlah satu cerita, dia pun bukanlah satu pikiran. Pada akhirnya, segala sesuatu harus diselesaikan. Setiap kalender pasti akan tiba di lembar terakhir.

Pada akhirnya kita harus memutuskan. Tidak ada pilihan ketiga, dunia selalu diletakkan dalam pilihan yang berhadap-hadapan; hitam-putih, kanan-kiri, benar-salah, tinggi-rendah, baik-jahat. Tapi apakah “kita tidak pernah benar-benar memilih”? Aku memilih; mengatakan cinta kepada Charline.

***

Aku mengirimkan pesan singkat; aku ingin bertemu Charline malam ini. Aku berharap yang terbaik, Charline mengiyakan. Aku menunggu di taman kota, pukul 8 malam.

Aku mengambil tempat duduk yang ada di taman, dengan lampu yang bersinar redup. Hampir 30 menit, Charline tiba. Seperti biasa, dia selalu sederhana. satu-satunya yang membuat Charline terlihat jelas dari jarak jauh adalah senyumnya yang tulus.

Dia mendekat, berjalan ringan. Aku memberikan tempat duduk tepat di sampingku. Charline duduk, menyandarkan punggungnya, menolehkan sedikit kepalanya padaku, dan tersenyum. Waktu akan terasa begitu singkat ketika kita dalam kondisi seperti itu, terlalu lama diam. Saling pandang, tanpa suara hingga akhirnya waktu terbuang percuma.

Aku tak ingin waktu jadi hampa dan tak bernilai di antara kita. Aku berbicara pada Charline; “ada hal-hal yang tidak dapat kujangkau dengan nalarku yang terbatas. Tapi begitulah sebuah perjalanan; kita tidak perlu pulang, tidak perlu menyelesaikan. Dan pertemuan kita tidak seperti “kitab sejarah”; kita tidak bekerja dalam “skema”, tidak menyusun cerita berdasarkan “bab-bab” seperti dalam karya para cerdik cendekia.

Biarkan dia mengalir, menemukan jalannya sendiri, dan berharap bisa melupakan “jalan pulang”. Tapi kita tidak pernah kembali, tidak pernah pulang”.

***

“Hidup tidak perlu kita “rencanakan”. Kita adalah bagian dari rencana. Aku berpikir, bertanya; bagaimana jika kita tidak pernah bertemu? Jika tak ada “pesan” pertama itu? kau bersamaku, “ikut” denganku, seperti peziarah; imajinasi kita liar, mengunjungi dan menceritakan, meresapi dan berbagi.

Ada secercah harapan dalam diri, berdentang seperti lonceng gereja, menghentak; masihkah kau menyimpan “kerinduan” yang sama? Aku berharap kepada hari esok. Maukah kau ikut denganku? “berjalan”, ke mana saja”.

Charline terkejut. Ada energi yang sama mengalir dalam tubuhnya. Perasaan bahagia yang tak terjelaskan, seperti narapidana yang baru dibebaskan dari vonis mati. Charline menggeser duduknya, lebih dekat denganku. Dia mengulurkan tangannya, memegang lenganku dengan lembut.

Aku tak menatapnya, tapi aku tahu dia melihatku dengan penuh pengertian. Charline menangkap ungkapan itu, memahami maksudnya. Dia mendekatkan kepalanya, dan mulai berbicara dengan suara yang terdengar seperti kidung doa yang terpancar dari dindinng-dinding kuil suci.

“Menjadi sepasang memang harus menjadi segalanya. Sepasang tidak selalu seperti pemahaman kita yang dangkal, walaupun kita belum pernah mampu benar-benar keluar dari makna itu. aku tak ingin menjadi orang yang kehilangan kekasih, aku tak ingin mati tenggelam dalam rindu dan aku tak ingin kamu bernasib seperti manusia yang membaca surat-surat kekasih yang telah mati. Saya tak ingin kisah kita, terputus tanpa sengaja.”

Charline berkata, ”Banyak pikiran, kata, puisi, ekspresi bahkan mati lahir dari cinta. Cinta terlalu sempit jika dimaknai sebagai, sekedar ‘rasa’, antara dua orang. Cinta terlalu rumit jika dipahami sebagai hal-hal yang indah. Cinta meliputi segalanya.

***

Cinta juga tak harus mesti dilekatkan kepada setiap yang ‘bernyawa’, tak harus selalu diekspresikan dengan mawar merah, kata-kata romantis, ciuman pun persetubuhan. Cinta, lebih dan lebih dari itu semua.

Pertanyaan sederhana hadir di benak saya, “mengapa jatuh cinta?”, namun alasan tentu tak dapat dikatakan pada mereka yang jatuh cinta”. “Jika kamu bertanya apa yang nyata, maka yang nyata bagiku adalah cinta, tanpa tafsiran. Bukan cinta yang membuat aku terjaga setiap saat, ibarat menjaga terpidana mati dalam penjara. aku hanya ingin merasai ini dengan normal, sebagai manusia, sebagai kegilaan yang dapat dimaklumi.”

Charline menyelesaikan kalimat terakhirnya. Segalanya jadi jelas. Kita merasai rindu yang sama, tenggelam dalam perasaan yang sama. Tak ada yang mampu menjelaskan keanehan ini; aku lelaki yang belum pernah menikah, jatuh cinta dengan seorang perempuan yang pernah gagal menikah dan memiliki anak.

***

Tapi bukankah cinta memang sesuatu yang aneh; kita sering bertemu dengan seseorang di waktu dan tempat yang tidak tepat, tapi dalam waktu singkat, jatuh cinta. Satu-satunya yang membuat kita bertahan hidup adalah impian kita.

Terkadang di tengah perjalanan, ada mukjizat dan keajaiban menyertai kita, entah kita mengharapkannya atau tidak, sebagaimana keajaiban yang mengisi sisi-sisi yang “terabaikan” dalam kebersamaan kita.

Hari itu, aku merasai diri seperti hujan yang turun ragu, tak deras, bahkan tak bisa membasahi, walau di bantu angin, gumpalan awan itu tak juga terurai jatuh seperti helaian-helaian benang. Pikiran dan hati menjadi hangat. Aku menjadi kekasih yang selalu mesti menerima rindu-rindu tanpa bisa menghindari.

Keterangan
  • Enu merupakan sebutan untuk anak gadis manggarai.
  • Nana merupakan sebutan untuk anak laki-laki manggarai.
Rian Tap
Latest posts by Rian Tap (see all)