
Feminisme di Indonesia bukan lagi sekadar wacana, namun sebagai hal telah termanisfestasikan dalam berbagai langkah instrumental pada struktur pemerintahan.
Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia! ~ Kartini via Pramoedya Ananta Toer
Fenimisme merupakan suatu gerakan yang memperjuangkan perubahan kedudukan perempuan dalam sistem sosial di masyarakat. Fenimisme bukan hanya memperjuangkan emansipasi perempuan di hadapan laki-laki saja, namun juga memperjuangkan laki-laki (terutama kaum proletar) dari dominasi, eksploitasi, serta represi dari sistem yang tidak adil.
Dalam pengertian yang lebih luas, feminisme adalah pendekatan interdisipliner untuk isu-isu kesetaraan dan keadilan, baik berdasarkan jenis kelamin, kelas sosial, ras, suku, dan gender sebagaimana yang kita pahami melalui teori-teori sosial dan aktivisme politik.
Dalam sejarahnya, feminisme tumbuh dengan latar belakang penurunan status perempuan oleh gereja di Eropa. Menurut McKay, pada dekade 1560 dan 1648, terdapat konsep yang menyebutkan bahwa perempuan merupakan sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak rasional dan ditempatkan pada peran-peran domestik.
Perempuan yang menikah pada abad ini juga tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apa pun. Selama masa ini, aktivitas perempuan juga sangat terbatas, termasuk dalam hal intelektual, sehingga sulit untuk menemukan ilmuan perempuan di masa ini.
Latar belakang yang kelam inilah yang kemudian memotivasi semangat perempuan untuk terbebas dari kekangan gereja maupun laki-laki yang selalu menempatkan perempuan pada derajat yang lebih rendah.
Di masyarakat Indonesia sendiri, kehadiran kata “feminisme” banyak orang takuti. Ketakutan ini lebih karena adanya kesalahpahaman dalam pengertiannya.
Secara politik, upaya mengaburkan gerakan feminisme sudah lama berlaku di sebagian masyarakat Indonesia. Apalagi, konsep ini berasal dari daratan Eropa, yang mengemukakan pemikiran-pemikiran kritis tentang posisi perempuan dan melahirkan pejuang hak-hak perempuan.
Sejarah Feminisme di Indonesia
Awal mula kemunculan semangat feminisme di Indonesia dapat kita katakan sejak penerapan politik etis pada masa Belanda. Penerapan politik etis di Indonesia bagaikan sebuah pedang bermata dua.
Pada awalnya, politik etis bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat Hindia Belanda, serta buruh murah yang cukup terdidik dari daerah jajahannya. Namun, ternyata pembukaan sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat justru menghasilkan orang-orang muda berpendidikan barat yang nantinya akan menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.
Para pemuda Indonesia berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO, HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA) dan sekolah guru (Kweekschool). Masa pencerahan pun datang. Buku-buku berbahasa Belanda membuka mata dan hati mengenai perjuangan pembebasan nasional. Pemikiran ini memotivasi pemuda untuk berkumpul, berdiskusi dan menetapkan sikap hingga lahirlah sebuah organisasi Budi Utomo pada 1908.
Perjuangan melawan Belanda sendiri telah ada jauh sebelum sejumlah priyayi Jawa membentuk Budi Utomo. Bukan untuk membebaskan Indonesia, namun untuk membebaskan tanah leluhur, gunung-gunung, sungai, pulau, dan rakyatnya.
Di akhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Pada awalnya hanya sebatas membantu suami atau ayahnya, lalu perlahan-lahan menjadi pemimpin bagi pasukan dan rakyatnya. Cut Meutia dan Cuk Nyak Dhien, misalnya, Christina Martha Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan bersama Monginsidi, serta Wolanda maramis dan Nyi Ageng Serang.
Pada saat itu, konsep bahkan kesadaran mengenai kesetaraan gender belum ada. Namun, yang menarik adalah karena perempuan-perempuan ini yang kebanyakan merupakan kaum bangsawan justru mau mempertaruhkan nyawa bersama dengan prajurit dan rakyat biasa dalam melawan kompeni.
Beberapa puluh tahun sebelum Budi Utomo hadir, Kartini telah menulis surat-suratnya. Kartini memiliki semangat yang menyala-nyala dan keinginan yang kuat untuk dapat belajar dengan bebas.
Namun sayang, ia harus menerima kenyataan bahwa hanya boleh mengenyam pendidikan sampai usia 12,5 tahun. Pada usia itu, ia harus keluar dari sekolah dan berdiam di balik tembok rumah selama 4 tahun dalam masa pingitan. Sedangkan saudara laki-lakinya dapat terus melanjutkan sekolah.
Halaman selanjutnya >>>
- Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi - 28 Februari 2023
- Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar - 23 Februari 2023
- Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal - 22 Februari 2023