Fikih Peradaban Dan Upaya Deradikalisasi Di Perguruan Tinggi

Dwi Septiana Alhinduan

Fikih Peradaban adalah disiplin yang tidak hanya berfokus pada aspek ritual dalam kehidupan umat Islam, tetapi juga mencakup etika, moralitas, dan penyebaran nilai-nilai peradaban. Dalam konteks ini, perguruan tinggi memainkan peran penting dalam membentuk pola pikir generasi muda. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah deradikalisasi di lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Di tengah isu radikalisasi yang kian marak, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan Fikih Peradaban dan bagaimana implementasinya dapat mencegah paham ekstremisme.

Pertama-tama, mari kita bahas pengertian Fikih Peradaban. Fikih Peradaban dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang mengintegrasikan ajaran Islam dengan nilai-nilai universal yang berfungsi sebagai kerangka normatif dalam membangun tatanan sosial yang harmonis. Pendekatan ini tidak hanya mengacu pada kepatuhan terhadap hukum syariah, tetapi juga menekankan pada keadilan sosial, toleransi, dan saling menghargai antar umat beragama. Dalam konteks perguruan tinggi, Fikih Peradaban berperan sebagai landasan dalam mewujudkan pendidikan yang konstruktif dan inklusif.

Deradikalisasi di perguruan tinggi bukanlah hal yang sederhana. Ini adalah sebuah proses yang melibatkan berbagai tahap dan strategi. Salah satu langkah awal yang dapat diambil adalah pendidikan karakter yang berakar pada nilai-nilai Fikih Peradaban. Pendidikan karakter ini bisa meliputi pengajaran tentang toleransi, respek terhadap perbedaan, dan pentingnya dialog antar budaya. Materi yang dibawakan haruslah mampu menggugah kesadaran mahasiswa akan pentingnya harmoni dalam bermasyarakat.

Mengintegrasikan nilai-nilai Fikih Peradaban dalam kurikulum adalah strategi yang efektif dalam upaya deradikalisasi. Misalnya, mata kuliah yang menawarkan perspektif multidimensional terkait moralitas dan etika dalam Islam bisa sangat bermanfaat. Seminar dan workshop yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, akademisi, dan praktisi dalam bidang sosial juga patut digelar di ruang-ruang kampus. Ini akan membuka pintu diskusi yang produktif dan merangsang kognisi mahasiswa untuk berpikir kritis.

Celotehan, ciri khas interaksi antarpersonal, juga memainkan peran penting dalam mencegah radikalisasi. Mahasiswa seringkali lebih terbuka kepada rekan sesama mahasiswa dibandingkan dengan dosen atau pihak akademis lainnya. Oleh karena itu, terbentuknya komunitas mahasiswa yang aktif dan berorientasi pada pengembangan diri dapat menjadi wadah untuk membentuk ide-ide yang konstruktif. Platform-platform diskusi dan kelompok studi bisa menjadi medium yang efektif. Misalnya, forum-forum kecil di mana mahasiswa dapat berbagi pandangan dan berdiskusi mengenai isu-isu kontemporer.

Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan teknologi informasi juga memiliki dampak besar dalam menyebarkan ide-ide. Perguruan tinggi harus memanfaatkan media sosial dan platform digital lainnya untuk menyuarakan nilai-nilai perdamaian dan menciptakan narasi yang positif. Konten edukatif yang menarik, seperti video atau infografis, bisa menjadi sarana untuk mendidik mahasiswa tentang pentingnya keberagaman dan toleransi.

Peran dosen sebagai pendidik dan fasilitator sangat vital dalam upaya deradikalisasi. Dosen tidak hanya bertindak sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan. Pelatihan dan pengembangan profesional bagi dosen dalam menganalisis ideologi ekstremisme dan cara mengatasinya perlu menjadi agenda rutin. Dengan bekal yang tepat, dosen dapat membantu mahasiswa menavigasi tantangan yang dihadapi dalam eksplorasi ide-ide mereka sendiri.

Upaya deradikalisasi juga harus melibatkan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta. Program-program external engagement yang menghubungkan mahasiswa dengan masyarakat luas dapat membantu mereka memahami realitas yang ada di luar kampus. Ini tidak hanya akan mendorong mereka untuk berkontribusi lebih baik kepada masyarakat, tetapi juga meningkatkan rasa empati dan tanggung jawab sosial.

Namun, di balik semua strategi tersebut, kita tidak boleh lupa bahwa perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam. Proses ini memerlukan waktu, komitmen, dan kerja sama dari semua pihak. Kesadaran akan urgensi menangani masalah radikalisasi di perguruan tinggi harus meresap dalam setiap aspek kurikulum dan aktivitas mahasiswa. Diperlukan kontribusi aktif dari seluruh anggota civitas akademika—mulai dari mahasiswa, dosen, hingga pejabat universitas.

Dalam konteks Indonesia, yang kaya akan keragaman budaya dan agama, Fikih Peradaban dan deradikalisasi di perguruan tinggi seharusnya tidak hanya menjadi tema diskusi, tetapi menjadi gerakan kolektif untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Kesadaran akan nilai-nilai universal, pemahaman yang mendalam tentang pluralisme, serta komitmen untuk menjaga keberagaman adalah kunci untuk mencegah lahirnya paham-paham yang mengarah pada ekstremisme.

Dengan demikian, melalui pemahaman yang komprehensif dan pelaksanaan strategi yang berkesinambungan, deradikalisasi di perguruan tinggi dapat dicapai. Fikih Peradaban akan menjadi pedoman yang kokoh dalam membimbing generasi muda untuk menjadi pemimpin masa depan yang mencintai kedamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Related Post

Leave a Comment