Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) yang akan segera dilaksanakan di Lampung membawa harapan baru. Namun, di balik tersebut tersimpan friksi-friksi yang ahistoris dan cenderung menyimpang dari nilai-nilai luhur organisasi ini. Friksi-friksi ini tidak hanya mengancam kelangsungan kesatuan NU, tetapi juga menciptakan ketidakpastian dalam arah dan tujuan organisasi tersebut.
Di era globalisasi yang semakin mengikis identitas kultural, dibutuhkan sikap reflektif dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan para anggota NU. Sejarah panjang perjalanan NU seharusnya menjadi pegangan dalam menyikapi setiap dinamika yang muncul. Namun, situasi yang ada justru menyoroti berbagai pertikaian yang muncul di antara kalangan internal. Terdapat kelompok-kelompok yang mulai mengabaikan diskursus historis dan lebih memilih untuk terjebak dalam argumentasi yang bersifat sektarian dan emosional.
Friksi yang terjadi jelang Muktamar di Lampung ini berakar dari divergensi pandangan mengenai arah kebijakan organisasi. Beberapa pihak memperjuangkan tradisi kolektif dengan pendekatan moderat, sementara yang lain terobsesi dengan interpretasi yang radikal dan individualistik. Di situlah letak celah yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan luar untuk menciptakan keretakan yang lebih dalam. Ketidakstabilan seperti ini mengonfigurasi ulang panggung politik di kalangan organisasi dan menghasilkan pertarungan yang diwarnai demagogi.
Penting untuk mencermati kondisi sosial-politik yang melatarbelakangi friksi ini. Lingkungan masyarakat yang semakin heterogen dengan berbagai kepentingan dapat; menciptakan kompetisi yang tidak sehat. Sementara NU sebagai entitas yang secara historis berperan sebagai pilar tradisi Islam di Indonesia kini menghadapi tantangan untuk mempertahankan relevansinya. Dengan berbagai tantangan ini, angin perubahan pun semakin kencang bertiup, memicu perdebatan sengit tentang idealisme dan pragmatisme.
Dalam siklus Muktamar kali ini, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan sebagai upaya untuk meredakan friksi yang ada. Pertama, penting untuk menumbuhkan kembali semangat musyawarah. Para anggota NU harus diarahkan untuk berdiskusi secara konstruktif sehingga setiap perbedaan bisa dijadikan momentum untuk menemukan kesepakatan yang lebih komprehensif. Dengan musyawarah yang kondusif, NU bisa mempertahankan jati dirinya sebagai organisasi yang inklusif.
Kedua, menguatkan narasi sejarah NU menjadi suatu keharusan. Dengan memahami latar belakang dan perjalanan organisasi, anggota NU diharapkan mampu meresapi makna dari keberadaan mereka dalam konteks yang lebih luas. Sejarah bukanlah sekadar alat legitimasi, tetapi juga sebagai pendorong untuk lebih peka terhadap tantangan yang ada. Mengadopsi pendekatan historis ini dapat membantu meredakan ketegangan yang ada dan mendorong kolaborasi antar kelompok.
Ketiga, perlu adanya penguatan nilai-nilai dasar NU, yaitu akhlak yang mulia, moderasi, dan toleransi. Mengembalikan fokus pada nilai-nilai ini tidak hanya akan membantu meredakan konflik, tetapi juga memberikan arah yang jelas bagi misi dan visi NU ke depan. Dalam konteks ini, para kiai dan ulama memiliki peran sentral untuk menanamkan pemahaman yang utuh akan pentingnya nilai-nilai tersebut dalam setiap lini kehidupan.
Selain itu, peran media juga sangat krusial dalam menghadapi friksi-priksi ini. Melalui penyampaian informasi yang akurat dan berimbang, media dapat membantu mengedukasi massa dan mencegah terjadinya misinformasi yang bisa memicu ketegangan lebih lanjut. Dalam ranah ini, jurnalis tidak hanya ditantang untuk melaporkan fakta, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan yang mendorong dialog dan saling pengertian.
Menilik ke depan, muktamar ini memberikan kesempatan untuk meremajakan komitmen terhadap nilai-nilai NU sambil tetap adaptif terhadap perubahan zaman. Proses ini adalah perjalanan panjang yang memerlukan kesabaran dan ketekunan. Tantangan tidak hanya datang dari internal, tetapi juga eksternal, dan kemampuan NU untuk beradaptasi dan menjawab tantangan tersebut menjadi kunci untuk mempertahankan eksistensi dan relevansinya sebagai organisasi Islam yang berpikiran moderat di Indonesia.
Sejatinya, friksi yang terjadi bukanlah akhir dari perjalanan NU. Sebaliknya, ini adalah peluang untuk merefleksikan diri dan membuat penyesuaian yang diperlukan. Kesatuan dalam keragaman adalah jalan yang harus ditempuh, dan setiap anggota NU harus berkomitmen untuk bersatu dalam perbedaan. Muktamar di Lampung tidak hanya menjadi arena pemilihan pemimpin, tetapi sebuah pintu gerbang menuju transformasi yang lebih inklusif dan mencerminkan semangat keberagaman yang selalu menjadi inti ajaran NU.






