The Gang of Three: Socrates, Plato, dan Aristoteles

The Gang of Three: Socrates, Plato, dan Aristoteles
Ilustrasi: kp14j

Kelebihan teristimewa yang manusia miliki adalah mampu berpikir (berakal); dan itu yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lainnya. Potensi itulah yang oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang dikenal dengan julukan The Gang of Three, tunjukkan semasa hidup.

Pada hakikatnya, semua manusia di dunia ini memiliki tujuan hidup dari masing-masingnya. Tujuan yang demikian ini tak pernah lepas dari apa yang teraplikasikan dalam tindakan, entah dalam taraf individu ataupun kelompok sosial.

Dengan tujuan itu pula, manusia pada akhirnya menjadi yang “seutuhnya”: memiliki kebebasan dalam taraf kemanusiaannya. Hal itu tentu saja kita dapati dari hasil berpikir dari waktu ke waktu; apa yang dahulu kita anggap mustahil, sekarang bisa kita lakukan.

Untuk mengetahui dari mana semua itu bermula, menarik kiranya menyimak sejarah mengenai bagaimana kemampuan berpikir manusia itu terus berkembang dari masa ke masa. Bahwa pengetahuan itu makin hari makin bertambah seiring berkembangnya perjalanan hidup seorang manusia.

Dalam hal ini, ada beberapa tokoh yang begitu dunia kenal sebagai pemikir di zamannya, yakni mereka yang biasa orang kenal dengan sebutan The Gang of Three: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ketiga pemikir ini mereka anggap berperan dominan dalam membentuk pola pikir orang-orang Barat.

Socrates menekankan pentingnya argumentasi dan pemikiran kritis dalam berpikir; Plato menekankan perlunya mencari “kebenaran” sekaligus mempertahankan pemikiran kritis; sedangkan Aristoteles memandang bahwa segala sesuatu harus dapat terdefinisikan dan terkategorikan—orang menyebutnya juga pemikiran “kategoris”.

Dari ketiganya, Socrates, Plato, dan Aristoteles, merupakan guru sekaligus murid. Mereka juga hendak memperlihatkan bagaimana peran seorang guru dan juga peran seorang murid.

Dalam hal ini, murid tak selamanya harus mengekor pada guru, begitu pun guru tak selamanya harus memaksakan kehendak kepada sang murid. Semuanya berlanjut pada hasil berpikir yang kritis, tidak turun dari langit secara tiba-tiba (taken for granted), melainkan hasil dari pergulatan dan pergumulan pemikiran dengan realitas kehidupan sehari-harinya.

Socrates, Sang Penolong Manusia

Lahir di Athena (470 – 399 SM) dari seorang ayah yang berprofesi tukang pembuat patung dan ibu seorang bidan.

Mungkin dari kedua profesi orang tuanya inilah yang kemudian membentuk profesi tersendiri dari seorang Socrates: membentuk watak manusia, bukan patung sebagaimana profesi ayahnya, dan membantu manusia dalam melahirkan ide-ide gagasan yang terpendam dalam dirinya – hampir serupa dengan profesi ibunya sebagai seorang bidan.

Seorang filsuf dengan coraknya sendiri ini tak pandang bulu dalam memilah teman. Ia bergaul pada semua orang, entah tua atau muda, kaya atau miskin, tak menjadi masalah asalkan mau belajar dan bisa ia ajak berpikir dari apa yang tertanam dalam dirinya.

Sebagaimana dalam sejarahnya, ajarannya tak pernah ia tuliskan, melainkan ia terapkan dengan perbuatan dengan cara hidup. Tidak mengajarkan filsafat, melainkan hidup berfilsafat. Baginya, induk pengetahuan itu bukanlah isi, bukan hasil, dan bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup.

Dalam mencari kebenaran sebagai filsafatnya, ia tidaklah berpikir sendiri, melainkan mengajak orang lain dengan jalan tanya-jawab. Orang lain tersebut tidaklah ia pandang sebagai lawan diskusinya, melainkan seorang kawan yang ia ajak bersama-sama dalam menggali dan mencari kebenaran sendiri.

Sebagaimana telah tersebutkan di awal bahwa kebenaran itu lahir dari diri sendiri bahkan pada kawan berdiskusinya. Sekali lagi, ia tidaklah mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan dalam jiwa seseorang. Sebab itulah metodenya orang sebut maieutic, mengeluarkan, seolah-olah serupa profesi ibunya sebagai seorang dukun beranak.

Olehnya itu, Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan penuh tanya jawab, yang kemudian ia simpulkan dengan sebuah pengertian. Maka jalan yang ia tempuh adalah metode induksi dan definisi. Keduanya saling bersangkut-paut.

Induksi yang menjadi metodenya adalah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapainya dengan contoh atau persamaan, melainkan terus mencoba mengujinya dengan kawan berdiskusinya. Begitulah cara Socrates mencapai pengertian.

Halaman selanjutnya >>>