Gepeng Dan Modus Politik Razia

Dwi Septiana Alhinduan

Di Indonesia, fenomena gelandangan dan pengemis (gepeng) telah menjadi pemandangan yang sangat familiar di berbagai kota, terutama di lingkungan perkotaan. Namun, apa yang menarik bagi banyak orang bukanlah semata-mata keberadaan mereka, melainkan juga modus politik yang sering kali menyertai razia terhadap mereka. Pelaksanaan razia ini, yang seakan menjadi agenda tetap dari pemerintah daerah, memicu berbagai pertanyaan terkait tujuan dan dampak yang lebih luas. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri berbagai dimensi dari fenomena ini.

Pertama-tama, mari kita lihat apa yang melatarbelakangi keberadaan gepeng. Di tengah ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia, banyak individu terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang membuat mereka tidak memiliki akses terhadap pekerjaan yang layak. Gelandangan dan pengemis sering kali merupakan hasil dari sistem sosial yang timpang, di mana peluang untuk beranjak dari keterpurukan sangat terbatas. Disinilah peran pemerintah dan kebijakan publik menjadi sangat penting, tetapi sering kali tindakan yang diambil lebih bersifat reaktif daripada proaktif.

Razia terhadap gepeng sering kali dilakukan dengan alasan untuk menegakkan ketertiban dan kebersihan kota. Namun, cara dan pendekatan yang digunakan dalam razia ini sering kali menimbulkan kontroversi. Sedikitnya, lebih dari sekadar memberikan solusi jangka pendek, razia ini juga menimbulkan pertanyaan tentang hak asasi manusia dan martabat individu. Pendekatan yang seharusnya mengedepankan compassion sering kali bertransformasi menjadi tindakan represif. Dalam konteks ini, bisa jadi razia ini lebih menguntungkan bagi citra pemerintah daripada memberikan solusi riil bagi mereka yang mengalami kesulitan.

Lebih jauh lagi, fenomena razia gepeng ini berkaca pada politik identitas yang semakin mengemuka. Dalam rangkaian razia yang dilakukan, terdapat narasi bahwa pemerintahan yang bersangkutan memperhatikan kebersihan dan kerapian kota sebagai bagian dari identitas mereka. Hal ini tentu punya dampak yang signifikan terhadap kredibilitas politis, di mana para pemimpin lokal ingin menunjukkan bahwa mereka berupaya keras untuk menciptakan “kota yang ideal”, padahal di sisi lain, mereka mengabaikan solusi yang lebih holistik dan konstruktif.

Perlu dicatat bahwa di balik razia, terdapat mekanisme komunikasi politik yang cerdik. Pemerintah sering kali memanfaatkan momen razia ini untuk meningkatkan visibilitas mereka di mata publik. Melalui pemberitaan, razia ini akan mendatangkan sorotan komunitas yang lebih luas. Upaya untuk menunjukkan bahwa mereka “memperhatikan” masalah sosial tersebut seakan menjadi wujud kepedulian, padahal sering kali tindakan ini tidak disertai dengan langkah-langkah lanjutan untuk menuntaskan akar masalah.

Dalam beberapa kesempatan, razia ini juga dijadikan sebagai strategi untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu lain yang lebih mendesak, seperti korupsi, kebijakan ekonomi yang merugikan warga, atau bahkan perekonomian yang melambat. Dengan demikian, razia ini berfungsi sebagai ‘sesuatu yang dapat dilihat’ oleh publik, sementara masalah yang lebih kompleks tetap dibiarkan tak tersentuh.

Cara pandang yang terlanjur berakar dalam masyarakat kita juga berperan dalam bagaimana gepeng dipersepsikan. Terdapat stigma sosial yang menyelimuti mereka, di mana sering kali masyarakat menggambarkan mereka sebagai penghalang estetika dan kenyamanan. Pada titik ini, wacana publik yang dibangun seharusnya beranjak dari dasar-dasar kemanusiaan, yaitu pengakuan bahwa mereka juga memiliki hak untuk hidup dan merasa dihargai. Namun, stigma yang ada sering kali lebih kuat ketimbang upaya untuk memahami situasi dan kondisi mereka.

Pada saat yang sama, kelompok-kelompok sosial yang peduli mulai untuk mengambil peran yang lebih aktif. Banyak organisasi non-pemerintah yang berusaha memberi perhatian kepada para gepeng dengan pendekatan yang lebih empatik. Berbagai program pemberdayaan, edukasi, dan rehabilitasi mulai digalakkan sebagai alternatif dari penindasan yang sering kali terjadi pada saat razia. Inisiatif-inisiatif ini menjadi penting untuk membangun kesadaran di masyarakat dan untuk membantu individu kembali ke jalan kehidupan yang lebih baik.

Akhirnya, dalam memahami fenomena gepeng dan razia ini, masyarakat diharapkan dapat beranjak dari sekedar rasa prihatin semata menjadi upaya kolektif untuk membangun sistem yang lebih inklusif. Memperjuangkan hak-hak gepeng adalah langkah awal dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil. Seluruh lapisan masyarakat harus menyadari bahwa kebijakan publik yang inklusif bukan hanya menguntungkan gepeng, namun juga memperkaya keragaman sosial dan meningkatkan kondisi kota secara keseluruhan.

Dalam kesimpulannya, razia terhadap gepeng lebih dari sekadar penegakan hukum; ia mencerminkan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang berlangsung. Sebuah tantangan bagi seluruh elemen masyarakat untuk menggali lebih dalam daripada sekedar merazia, melainkan juga untuk memahami serta memberikan solusi yang lebih manusiawi bagi mereka yang terpinggirkan. Hanya dengan cara itulah kita dapat membangun Indonesia yang lebih berkeadilan dan beradab.

Related Post

Leave a Comment