Di tengah geliat politik Indonesia yang selalu dinamis, gerakan mahasiswa muncul sebagai salah satu elemen penting dalam pembentukan opini publik. Namun, selama ini, gerakan mahasiswa Indonesia seringkali dipandang elitis dan terjebak dalam monolog. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi fenomena ini, mengungkap ide-ide yang lebih dalam, serta menawarkan pandangan baru tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa untuk berkontribusi secara berarti dalam pembangunan bangsa.
1. Konteks Historis Gerakan Mahasiswa
Sejak zaman Orde Baru, gerakan mahasiswa telah memainkan peran sentral dalam pergerakan sosial dan politik. Dari penentangan terhadap rezim otoriter hingga kampanye reformasi, mahasiswa telah menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan. Tetapi, seiring dengan perubahan zaman, bagaimana relevansi gerakan ini di era modern menjadi pertanyaan yang krusial.
2. Elitisme dalam Gerakan Mahasiswa
Salah satu kritik yang sering muncul adalah elitisme yang melekat pada gerakan mahasiswa. Dalam banyak kasus, mahasiswa yang terlibat dalam organisasi-organisasi besar cenderung berasal dari latar belakang pendidikan yang sama, yaitu universitas ternama. Hal ini menciptakan kesenjangan antara suara mahasiswa dengan realitas masyarakat. Alih-alih menyuarakan aspirasi rakyat, banyak dari mereka justru terjebak dalam ruang diskusi yang tidak menjangkau kalangan luas. Mereka berbicara dalam tataran teori tanpa keterkaitan praktis dengan permasalahan sehari-hari yang dihadapi masyarakat.
3. Monolog yang Menjaga Jarak
Fenomena lain yang berkaitan dengan elitisme adalah kecenderungan untuk melakukan monolog. Dalam banyak forum dan diskusi, mahasiswa cenderung lebih banyak berbicara daripada mendengarkan. Hal ini menciptakan sebuah iklim di mana suara-suara yang berbeda jarang sekali mendapat tempat. Tindakan ini bukan hanya merugikan gerakan mahasiswa itu sendiri, tetapi juga masyarakat yang seharusnya menjadi mitra dialog. Monolog ini menciptakan diotomi yang mencolok antara ‘kami’ yang berjuang dan ‘mereka’ yang tidak paham.
4. Mengapa Hal Ini Terjadi?
Berbagai faktor berkontribusi terhadap fenomena elitisme dan monolog dalam gerakan mahasiswa. Salah satunya adalah sistem pendidikan tinggi yang berfokus pada pencapaian akademis dan pengakuan prestasi individu, mengabaikan nilai-nilai kolektivitas dan empati. Selain itu, media sosial sering kali memperkuat ide-ide ekstrem dan mengasingkan suara-suara moderat. Ketika mahasiswa lebih sibuk membangun citra di dunia maya, mereka cenderung melupakan tanggung jawab sosial mereka.
5. Apa yang Dapat Dilakukan? Membangun Kesadaran Kolektif
Penting bagi gerakan mahasiswa untuk merombak pola pikir yang elitis dan beranjak menuju model yang lebih inklusif. Pertama, mahasiswa perlu menjalin hubungan yang lebih erat dengan masyarakat. Ini dapat dilakukan dengan terlibat langsung dalam isu-isu lokal, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Melalui kerja sama dengan LSM, komunitas, dan organisasi masyarakat, mahasiswa dapat memahami dinamika masyarakat secara nyata.
Selain itu, mahasiswa harus belajar mendengarkan. Forum-forum diskusi yang melibatkan beragam pihak harus diperbanyak. Pertukaran ide antara mahasiswa dan masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang terpinggirkan, akan membuka cakrawala baru. Suara-suara mereka patut didengar dan dijadikan acuan dalam merumuskan suatu gerakan.
6. Mengadopsi Pendekatan Interdisipliner
Di dalam dunia yang serba kompleks ini, pendekatan interdisipliner menjadi sebuah keharusan. Pemahaman yang mendalam tentang berbagai aspek sosial, politik, dan ekonomi akan membantu mahasiswa melihat permasalahan secara holistik. Dengan menelisik akar dari suatu masalah, mahasiswa tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga menjadi solusi. Oleh karena itu, pendidikan yang menekankan keterkaitan antar disiplin ilmu harus semakin digalakkan.
7. Membangun Jaringan Solidaritas
Jaringan solidaritas antar mahasiswa dari berbagai universitas perlu dibentuk. Gerakan bersifat kolektif yang muncul dari kolaborasi lintas kampus dapat menjadi kekuatan pendorong yang signifikan. Ini juga dapat membantu untuk meruntuhkan batas elit yang selama ini menghalangi komunikasi. Dengan membangun solidaritas ini, mahasiswa dapat saling mendukung dalam perjuangan tanpa merasa terasing.
8. Kesimpulan
Gerakan mahasiswa Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Namun, tantangan elitisme dan monolog perlu diatasi untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Dengan membangun kesadaran kolektif, mendengarkan suara-suara yang terpinggirkan, dan menciptakan jaringan solidaritas, mahasiswa dapat mengembalikan esensi perjuangan mereka. Saatnya untuk bertransformasi dari hanya tahu bermonolog menjadi bagian integral dari percakapan yang membangun bangsa ini.






