Good governance dan neo-liberalisme adalah topik yang menarik dan kompleks, yang mencerminkan dinamika perubahan dalam politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia. Dalam bagian ketiga ini, kita akan menggali lebih dalam beragam aspek yang menyentuh kedua konsep ini, serta tantangan yang mungkin dihadapi dalam implementasinya. Mari kita mulai dengan pertanyaan: Seberapa jauh dapatkah prinsip good governance diterapkan dalam konteks neo-liberalisme yang sering kali menekankan pada efisiensi pasar dan pengurangan intervensi negara?
Good governance, yang secara umum diartikan sebagai tata kelola yang baik, mencakup aspek seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, dan orientasi pada hasil. Di sisi lain, neo-liberalisme, yang mengedepankan pembebasan ekonomi dan pengurangan peran pemerintah, sering kali dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut. Namun, bukankah ada kemungkinan bahwa keduanya dapat saling melengkapi? Atau, apakah neo-liberalisme justru menjadi batu sandungan bagi terciptanya tata kelola yang baik?
Pertama, mari kita telaah lebih lanjut tentang what defines good governance. Dalam esensinya, tata kelola yang baik harus mampu mengakomodasi kepentingan publik sembari memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar utama yang harus diperhatikan. Tanpa adanya kedua elemen ini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan akan menipis, dan pada akhirnya dapat menyebabkan ketidakstabilan. Namun, bagaimana jika aspek transparansi ini justru tereduksi oleh agenda neo-liberal yang cenderung menekankan privatisasi dan penyerahan kekuasaan kepada aktor swasta?
Lebih lanjut, inisiatif good governance tidak akan berjalan dengan baik jika tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat perlu diberikan ruang untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam masyarakat yang menganut prinsip neo-liberal, sering kali suara masyarakat tereduksi. Apakah ini berarti bahwa masyarakat akan menjadi penonton dalam ‘drama’ politik dan ekonomi? Ataukah justru bisa menjadi penggerak utama perubahan? Ini adalah pertanyaan fundamental yang perlu dijawab.
Saat kita melangkah lebih jauh, perlu dipertimbangkan juga bagaimana penerapan teknologi informasi bisa memperbaiki tata kelola. Di era digital, akses informasi menjadi lebih luas, memberikan masyarakat kekuatan yang lebih besar untuk mengawasi pemerintah. Misalnya, sistem e-government yang memungkinkan transparansi dalam pengelolaan anggaran dan pengadaan barang dan jasa. Namun, masih ada tantangan besar: adakah jaminan bahwa teknologi ini tidak dimanfaatkan untuk tujuan lain yang justru menguntungkan segelintir orang? Bagaimana menjamin bahwa inovasi tetap berpihak pada kepentingan rakyat?
Beranjak ke ranah ekonomi, kita perlu mempertimbangkan implikasi dari neo-liberalisme terhadap kebijakan publik. Dalam banyak kasus, neo-liberal memainkan peran krusial dalam pembentukan kebijakan ekonomi. Konsolidasi kekuatan pasar sering kali diutamakan di atas kepentingan sosial, menciptakan kesenjangan yang mencolok antara yang kaya dan yang miskin. Oleh karena itu, satu pertanyaan yang mencuat adalah: Bagaimana good governance dapat berperan dalam mendelegitimasi dan mereduksi ketidakadilan yang dihasilkan oleh sistem neo-liberal?
Menurut banyak ahli, solusi terletak pada pengembangan kerangka kebijakan yang memperhatikan keseimbangan antara kekuatan pasar dan peran pemerintah. Pemerintah perlu berfungsi tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pemangku kepentingan yang aktif dalam menciptakan keadilan sosial. Begitu pula dengan sektor swasta yang seharusnya tidak hanya berfokus pada profit, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari operasi mereka. Apakah mungkin untuk mencapai simbiosis antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam paradigm ini?
Melihat dari sudut pandang global, kita juga dapat merenungkan bagaimana negara lain dapat menjadi acuan atau contoh terkait masalah ini. Banyak negara yang telah berhasil menerapkan prinsip good governance di tengah arus neo-liberalisme, meski perjalanan mereka tidak selalu mulus. Kita bisa mengambil pelajaran berharga dari pengalaman mereka, baik yang positif maupun yang negatif. Misalnya, negara-negara Nordik dengan model kesejahteraan sosial mereka yang berhasil menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan keadilan sosial. Apakah langkah-langkah semacam itu relevan untuk diterapkan di Indonesia?
Di penghujung tulisan ini, tantangan untuk menjawab semua pertanyaan ini masih terbuka lebar. Perdebatan antara good governance dan neo-liberalisme tidak akan pernah berakhir, tetapi yang terpenting adalah bagaimana masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta berkolaborasi untuk membangun tatakelola yang lebih baik. Sehingga, kita dapat berharap untuk sebuah Indonesia yang tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga mampu menunjang keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Pertanyaannya kembali: Bagaimana kita semua bisa berperan aktif dalam mewujudkan itu? Setiap individu, dengan cara mereka sendiri, memiliki potensi untuk berkontribusi dalam menciptakan perubahan.






