Hardiknas 2022: Merdeka 100 Persen dan Lawan Liberalisasi Pendidikan

Hardiknas 2022: Merdeka 100 Persen dan Lawan Liberalisasi Pendidikan
©Kompasiana

Perayaan Hardiknas tahun ini dengan mengangkat tema “Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar” adalah semacam satire juga autokritik terhadap para stakeholder yang bergerak di bidang pendidikan itu sendiri.

Bagaimana tidak? Gagasan pendidikan merdeka yang dikonstruksi oleh Ki Hadjar kini telah mengalami peyorasi dan distorsi yang akut. Buktinya, institusi pendidikan masih begitu-begitu juga dan sekolah masih begitu-begitu juga. Bahkan, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat bergulir seperti mengadopsi teori trial and error, satu kebijakan dirasa kurang memadai diganti kebijakan yang lain.

Memang, tidak bisa kita mungkiri perkembangan zaman menuntut institusi pendidikan untuk lebih adaptif dan fleksibel, seperti yang terjadi pada bongkar pasang kebijakan dan kurikulum.

Namun, efektifkah langkah dan kebijakan yang ditempuh? Apakah “Merdeka Belajar” adalah konsep yang substansial ataukah gimmick semata? Tentu ini adalah pertanyaan yang perlu kita ajukan untuk menggugat pendidikan nasional kita di tengah nuansa perayaan simbolis nan semu setiap tahunnya agar kiranya kemerdekaan yang hakiki bisa diraih di momentum yang fitrah kali ini!

Merdeka 100 Persen

Ketika Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa pada 3 Juli 1922, beliau mengatakan bahwa tujuan pendidikan ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari masyarakat.

Dalam pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu zelfstandig atau berdiri sendiri, onafhankelijk atau tidak bergantung pada orang lain, serta vrijheid atau zelf beschikking atau dapat mengatur diri sendiri. Artinya, secara simplistik ialah Ki Hadjar berupaya menjelaskan bahwa pendidikan tidak boleh memisahkan antara teori di kelas dengan praksis di lapangan; teori haruslah berbasiskan realitas sosial. Dengan demikian, harapan akan melahirkan manusia merdeka dapat tercapai.

Berangkat dari roh dan spirit awal pendirian Tamansiswa oleh Ki Hadjar itu, maka bisa kita simpulkan secara ponens bahwa Ki Hadjar sebenarnya ingin menjadikan pendidikan sebagai medium perlawanan atau pendidikan sebagai media mobilitas kelas sosial dalam hal melawan belenggu kebodohan dan melawan domestikasi (baca: penindasan) struktur sosial yang timpang. Ini bisa diafirmasi jika kita menelisik setiap intisari pemikiran Ki Hadjar maka tak luput dari kata “merdeka”.

Bagi Ki Hadjar, pendidikan haruslah memerdekakan kehidupan manusia. Pendidikan pun harus disandarkan pada penciptaan jiwa merdeka, cakap dan berguna bagi masyarakat. Lagi-lagi Ki Hadjar menekankan bahwa kemerdekaan sebagai prasyarat penting agar tujuan pendidikan untuk membentuk kepribadian dan kemerdekaan batin bangsa Indonesia bisa kokoh serta berdiri dengan tegas membela perjuangan bangsanya bisa terwujud.

Baca juga:

Selanjutnya, apakah semangat juang Ki Hadjar yang begitu luhur dengan slogan “merdeka” mampu kita refleksikan dan aktualisasikan kembali di era sekarang? Apalagi ini masih dalam momentum suci perayaan hari kelahiran beliau yang diperingati sebagai Hardiknas.

Tentu jawabannya bisa iya, bisa tidak, semua tergantung cara kita memaknai dan mempraktikannya. Tapi yang perlu dan wajib kita maknai ialah Ki Hadjar memosisikan pendidikan sebagai media mobilitas sosial. Sebab dalam pemikarannya, Ki hadjar menyampaikan bahwa karena kemerdekaan menjadi tujuan pelaksanaan pendidikan, maka sistem pengajaran haruslah berfaedah bagi pembangunan jiwa dan raga bangsa. Untuk itu, bahan-bahan pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup rakyat.

Sudah jelas dan terbuka tabir bahwa Ki Hadjar tidak memisahkan relasi antara keberadaan lembaga pendidikan dengan persoalan sosial; penjajahan, ketidakadilan, kesenjangan, dan kemiskinan. Semua persoalan inilah yang harus diberantas dan dilawan oleh lembaga pendidikan sehingga jargon “merdeka belajar” itu punya implikasi yang positif dalam sirkulasi struktur sosial para pelaku pendidikan.

Sekali lagi, bagi insan Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dan lain sebagainya; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan diri; inilah merdeka 100 persen yang harus kita ciptakan dan raih dalam dunia pendidikan kita.

Lawan Liberalisasi Pendidikan

The United Nations Children’s Fund (UNICEF) mengatakan, banyak anak Indonesia kehilangan kesempatan belajar karena mereka yang hidup di perdesaan atau daerah-daerah terpencil di Indonesia tidak dapat menjangkau layanan pendidikan sejak usia dini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hal yang sama. Pada 2019, Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang perguruan tinggi hanya 30,28%, lebih rendah dari target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebesar 36,70%.

Begitu pula APK untuk jenjang sekolah dasar dan menengah, semuanya masih tidak sesuai dengan target yang dicanangkan pemerintah. APK sendiri menggambarkan perbandingan penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan terhadap kesesuaian usia sekolah. Makin mendekati angka 100%, makin sesuai perbandingannya.

Tentu jika berangkat dari data statistik di atas, maka kita akan bertanya-tanya, mengapa kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak masih menjadi barang mewah dan langka di negeri ini? Padahal hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak adalah amanat konstitusi kita dan itu semua tertera jelas di UUD 1945 pasal 31 ayat 1-5; secara garis besar UU ini memandatkan agar pendidikan menjadi tanggung jawab bersama dan negara harus hadir memenuhi itu.

Halaman selanjutnya >>>