
tidakkah engkau tahu?
menjahit kepingan-kepingan luka itu
balutan puisi di sekujur tubuhmu
butuh malam-malam yang larut
menepi sepi di tepian kesepian
dari ingar-bingar deruh keramaian
kelopak mata enggan dirayu lelap
beberapa cangkir kopi habis disesap
bersama batang-batang tembakau
terbakar menjadi abu di mulut asbak
syair-syair yang mekar di bibirmu
tumbuh dari kerut dahi menoreh
dari jemari tiada lelah mengurai
helai-helai kertas yang berserakan
hargailah puisi yang tak berhaga itu
sama hal tak rela menikam luka sendiri
sebab engkau pernah tinggal di sana
menjadi seorang yang paling betah
kendati telah tiada di bait berikutnya
jasadmu masih utuh terbaring di sana
Menu Pagi
di ujung bibir cangkir pagi ini
aroma peluk tubuh yang kesturi
kecup dan lipstik, parfum favorit juga
mengendap dalam kopi yang kuseduh
beberapa potong memoar tergeletak
bersama singkong rebus di atas meja makan
tanpa ada kompromi semuanya raib dilahap
perut yang lapar dan ingatan yang dahaga
yang tersisa hanyalah remah-remah puisi
Hujan
1/
Pada selembar kabut pagi ini
yang bergelayut di dahan semesta
ada sepucuk rindu yang paling betah
dari pada bebutiran debu menanti hujan
2/
Awan ragu-ragu menjatuhkan rerinai
seperti kita yang enggan mengabarkan ingin
kepada angin yang menerbangkan angan
daripada harum musim mengantar dingin
3/
Pada batas kesanggupan menampung
kelopak langit deras menumpahkan air mata
membasu luka ranggas reranting musim
dan kita masih tabah memeluk kesepian
4/
Saat rebas-rebasnya berhenti membasu basah
yang tergenang pagi ini adalah kita yang sama
mendung yang tak lekas menghujani lisan
diam-diam merenda nama dalam dedoa
- Puisi Rumit - 17 Januari 2020
- Kontemplasi - 6 Januari 2020
- Hargailah Puisi - 21 Desember 2019