
Hanya orang sakit yang menjawab betapa indahnya menebar kebencian (hoax). Benarkah pernyataan itu? Pernyataan itu dihiperbolis karena realitas menunjukkan betapa menebar kebencian tidak berhubungan dengan sakit atau waras. Orang sakit atau orang waras kiranya sama-sama dapat menjadi penebar kebencian. ~ Saur Hatubarat
Pergeseran penggunaan teknologi yang terjadi akhir-akhir ini tentu memberikan tanda tanya besar. Itu karena penyalahgunaannya dalam bentuk hoax yang terbilang cukup besar.
Kalau kita bandingkan dengan negara-negara maju Uni Eropa, penggunaan teknologi benar-benar sebagai penunjang kebutuhan setiap hari. Namun, yang terjadi di Indonesia, teknologi sebagai tuan yang sesekali menjadi virus rusak dalam menata persatuan yang ada. Hoax bertebaran di mana-mana.
Terjerembabnya masyarakat dalam menggunakan teknologi komunikasi pada umumnya bahwa ketika masyarakat melihat media tersebut sebagai tuan atas dirinya, bukan melihatnya sebagai hamba yang harus ia kendalikan. Dengan total penduduk Indonesia 256,5 juta jiwa, 132 jiwa di antaranya telah terhubung dengan jaringan internet. Dengan kemudahan internet inilah masyarakat begitu mudah untuk menerima segala informasi.
Begitu dahsyatnya informasi, masyarakat terbawa arus beragamnya informasi yang belum jelas kebenarannya. Ketika arus informasi yang begitu kuat dan penangkalan pengetahuan masyarakat berkurang, ini menjadi sasaran empuk untuk mengonsumsi informasi yang tidak ada unsur kebenarannya.
Fenomena kurang minat baca literatur saat ini yang menyebabkan begitu banyak masyarakat yang terjebak dalam berita kebohongan. Minimnya tingkat baca terhadap buku literatur membuat masyarakat kurang pengetahuan. Sehingga ketika ada informasi yang sumbernya tidak ada unsur kebenarannya, masyarakat gampang untuk mengamini.
Hoax yang Mengancam
Berita kebohongan yang terus media komunikasi lakukan tentu telah merenggut tatanan masyarakat. Itu berdampak pada persoalan dalam masyarakat.
Cermin keberagaman di Indonesia akan menjadi sasaran empuk dalam memuat berita kebohongan yang sudah berlaku selama ini. Berita kebohongan tersebut menyimpan potensi konflik di dalamnya, terutama konflik secara horizontal yang melibatkan antarwarga masyarakat, baik dari segi suku, agama, organisasi masyarakat, maupun lain sebagainya ketika berisi provokasi dan ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu.
Franz Magnis-Suseno mengatakan bahwa bangsa yang plural seperti Indonesia hanya bisa hidup bersama secara damai jika mereka membuang potensi psikologis yang menjadi media tumbuhnya sikap tidak toleran.
Baca juga:
Ketika psikologis masyarakat terpengaruh dengan adu domba, ujaran kebencian, maupun tindakan memprovokasi, hal ini akan menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat dan berpotensi akan terjadi perpecahan. Menjadikan diri perlu ekstra membentengi diri, apalagi masih minimnya kesadaran untuk menjaring nilai positif media sosial.
Belum lagi pengaruhnya yang begitu dahsyat yang secara tidak langsung menjerat penggunanya. Belum lagi dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menebarkan kebohongan, kebencian, provokasi, dan isu-isu suku, adat, ras, dan agama (SARA).
Secara tidak sadar, segala lini telah dimasuki dan bahkan dibidik untuk alat pemecah belah kesatuan antarsesama dan keutuhan bangsa.
Untuk memudar jaring berita hoax, yang perlu kita tanamakan adalah sikap kesantunan. Artinya, setiap orang mampu memosisikan diri untuk bijak dalam memanfaatkan media sosial. Kesantunan ini bisa tumbuh, baik melalui kesadaran ataupun ada campur tangan orang terdekat, misalnya keluarga.
Kembali Melihat Kebebasan Ekspresi
Gadang-gadang negara demokrasi telah membawa bangsa ini terus meratapi kebodohan dengan kebebasan ekspresi yang masyarakat lakukan saat ini.
Meskipun dalam konstitusi kita memberikan ruang khusus terhadap penghormatan terhadap sederetan kebebasan ekspresi. Namun, sadar atau tidak, fenomena ujaran kebencian merupakan produk oleh orang-orang yang benar ingin memecahbelahkan persatuan yang ada. Bahwa situs jejaring sosial yang memproduksi segala berita kebohongan tersebut merupakan buah dari salah menafsirkan kebebasan ekspresi tersebut.
Istilah kebebasan berekspresi sebetulnya telah muncul sejak beberapa dekade yang lalu. Semenjak reformasi dan penerapan sekularisme di negara-negara Barat dan Eropa. Tepatnya mendapat pengakuan hukum pada tahun 1948 oleh PPB pada pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asai Manusia, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Hak itu termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja tanpa batas.
Halaman selanjutnya >>>
- Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi - 28 Februari 2023
- Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar - 23 Februari 2023
- Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal - 22 Februari 2023