Di tengah percaturan politik Indonesia yang kian kompleks, hadirnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah menjadi fenomena unik bagaikan jelaga di langit biru. Seiring dengan pengumuman pemerintah yang membubarkan organisasi ini, reaksi masyarakat—terutama pengurus masjid di Jakarta—menjadi sorotan yang tidak boleh dilewatkan. HTI adalah makhluk aneh, tak hanya dalam bentuknya, tetapi juga dalam cara pandangnya terhadap politik dan masyarakat. Dalam artikel ini, kita akan menguraikan seluk-beluk dan nuansa yang melingkupi HTI dan mengapa mereka terus mencolok di medan diskursus publik.
Berbicara mengenai HTI, kita tak bisa melupakan brass band yang mengiringinya—ideologi khilafah yang mereka usung. Seakan menjadi simfoni yang membahana, ideologi ini mendesak tatanan sosial yang mapan. HTI mengklaim diri sebagai penyelamat umat, memposisikan diri seolah-olah mereka adalah penjual obat ajaib untuk memulihkan kembali ‘kehampaan spiritual’ yang dirasakan masyarakat. Akan tetapi, retorika yang mereka gunakan sering kali justru memicu perdebatan sengit. Dalam pandangan pengurus masjid, di mana banyak dari mereka adalah tokoh komunitas yang terhormat, kehadiran HTI membawa ambivalensi yang mencolok: antara harapan akan keadilan sosial dan ketakutan akan ekstremisme.
Selanjutnya, marilah kita gali lebih dalam tentang bagaimana HTI memposisikan dirinya dalam lanskap politik Indonesia. Bagaikan magnet yang menarik, mereka berhasil mengumpulkan massa yang beragam—dari pengusaha hingga pelajar. Namun, kekuatan tarik itu diimbangi oleh polarisasi yang mereka ciptakan. Gagasan tentang khilafah yang diusung sering kali terjebak dalam narratif ‘kami’ vs ‘mereka’, memisahkan diri dari mayoritas yang menginginkan Indonesia sebagai negara yang pluralis.
HTI juga bukan sekadar organisasi; mereka adalah sebuah gerakan yang seolah melanoma—muncul dan menyebar dalam berbagai aspek kehidupan. Sosialisasi ide-ide mereka merambah ke platform digital dan ruang-ruang publik. Dari kajian kitab hingga diskusi di media sosial, mereka menciptakan jarring ide yang kadang sulit dipatahkan. Ini menciptakan tantangan bagi negara yang majemuk seperti Indonesia, yang terikat oleh Bhineka Tunggal Ika. Apa artinya keanekaragaman jika ada yang berusaha untuk memaksakan satu ideologi tunggal?
Melihat dari sudut pandang kebudayaan Indonesia, HTI menawarkan sesuatu yang berbeda, meskipun tampak aneh. Dalam komunitas Islam, mereka sering dijadikan sebagai lambang dari sebuah pemikiran yang otoriter dan inflexible. Namun, hal ini tidak mengurangi daya tarik mereka di mata segmen-segmen tertentu yang merindukan ketegasan dalam nilai-nilai agama di tengah arus globalisasi yang membuat mereka merasa ‘hilang’. Masyarakat yang merindukan kepastian seringkali jatuh ke dalam pelukan gertakan HTI, yang dengan berani menawarkan ‘jalan kembali’ ke nilai-nilai yang dianggap lebih murni.
Meski banyak yang melihat HTI sebagai ancaman, tidak sedikit pula yang melihat dalam diri mereka sebuah panggilan untuk refleksi. Di sinilah letak keunikannya: meskipun mereka sering diidentifikasikan dengan ekstremisme, ada sisi lain yang mengajak orang untuk mempertanyakan nilai-nilai yang selama ini dijunjung. Adanya friksi antara modernisasi dan tradisionalisme mendatangkan diskusi yang sarat makna. Ketika HTI berargumen, di sanalah muncul ruang diskusi yang tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga mendorong individu untuk lebih kritis dalam memandang dunia.
Reaksi pengurus masjid di Jakarta setelah pembubaran HTI menunjukkan dinamika yang kompleks. Banyak dari mereka yang mengambil sikap tegas: terlepas dari pandangan yang berbeda, nilai persatuan harus dijunjung tinggi. Mereka berikrar untuk menjaga kerukunan dan keberagaman—bahkan di tengah hiruk-pikuk perdebatan. Ini mencerminkan ketulusan untuk memelihara Indonesia sebagai “rumah bersama”, di mana setiap orang dapat hidup berdampingan tanpa kehilangan identitasnya. Di sinilah letak ironisnya; di tengah penolakan terhadap HTI, mereka justru berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya toleransi dan dialog.
Sebagai penutup, HTI memang makhluk aneh dalam peta politik Indonesia. Mereka adalah simbol dari berbagai ketegangan: antara idealisme dan realitas, antara kekuasaan dan suara-suara minoritas. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk tidak hanya melihat mereka sebagai kelompok ekstrem, tetapi juga sebagai cetak biru untuk memahami tantangan yang lebih besar dalam masyarakat. Pada akhirnya, perjalanan politik kita adalah tentang bagaimana kita berkontribusi untuk menciptakan ruang di mana semua suara dapat didengar, dan di mana perbedaan tidak menjadi jurang pemisah, tetapi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam. HTI, dalam keanehannya, telah menjadi catalyst bagi refleksi kritis tersebut, meskipun harga yang dibayarkan tidaklah murah.






