Hukum Membangkrutkan Pengetahuan dan Mengebiri Moral Manusia

Hukum Membangkrutkan Pengetahuan dan Mengebiri Moral Manusia
©Edukasi Okezone

Pada akhirnya hukum justru membangkrutkan ilmu pengetahuan.

Mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan besar, sejak kapan hukum itu ada dan untuk apa hukum tersebut? Satu hal yang menarik jika kita mencoba kembali merekonstruksi satu perspektif tentang hukum dan peraturan itu sendiri.

Jika kita kembali pada ingatan sejarah, menelisik garis historis kapan sejatinya hukum berlaku dan untuk apa hukum itu ada kemudian mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Jika kita mencoba menelaah dari aspek teori hukum tentang lahirnya hukum bahwa hukum itu sendiri lahir terdiri atas dua sumber, yaitu pertama adalah sumber hukum materil dan kedua adalah sumber hukum formil.

Sumber hukum materil datang dari pendapat masyarakat, kondisi sosial ekonomi, sejarah, sosiologi, hasil penelitian ilmiah, filsafat, tradisi, agama, geografis, dan lain-lain. Sedangkan sumber hukum formil datang dari sebuah kebiasaan bangsa atau negara, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang punya wewenang secara delegasi dalam konstitusi suatu bangsa ataupun negara itu sendiri.

Di sisi lain, salah satu tokoh mahzab sejarah bernama Friedrich Carl Von Savigny mengatakan bahwa hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Maka dapat kita simpulkan bahwa hukum lahir bersamaan dengan hadirnya peradaban manusia di muka bumi.

Lantas untuk apa hukum sejatinya dibuat?

Secara harfiah, jika kita mencoba mengkaji dan menakar untuk apa hukum ada, yaitu untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan dan mencegah kekacauan. Maka tujuan hukum ialah mengatur hajat hidup manusia.

Lantas apakah hukum benar-benar seidealis itu? Apakah tidak ada kerancuan antara definisi hukum, tujuan hukum, dan pengimplementasian hukum itu sendiri? Saya rasa tidak.

Hukum Tidak Sepenuhnya Adil

Jika berkaca pada definisi dan tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu di mana hukum lahir untuk menjaga ketertiban dan keadilan bagi manusia, tetapi pada implementasinya antara tujuan dan kejadian di lapangan justru berbanding terbalik.

Pertanyaan yang paling sederhana adalah apakah ada satu saja hukum ciptaan manusia ataupun pemuka agama sekalipun di dunia ini yang benar-benar adil? Apakah kemaslahatan hukum dapat menjamin keadilan dan tidak terjadi ketimpangan di muka bumi ini? Bahkan hukum agama sekalipun tidak dapat menjamin atas rasa adil itu sendiri.

Katakanlah definsi adil itu subjektif, setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang keadilan. Lantas hukum akan memosisikan dirinya di mana? Apakah untuk kemaslahatan hajat hidup orang banyak, atau hanya berpihak pada segilintir individu atau kelompok yang merancang atau yang membuat hukum itu sendiri?

Pemangku kebijakan misalnya selalu berlandaskan pada aturan main dari hukum itu sendiri. Hukum menjadi landasan acuan yang paling fundamental dalam membuat kebijakan. Dan pada akhirnya tidak ada satu kebijakan yang benar-benar adil dan bahkan justru memarjinalkan kemaslahatan hajat hidup orang banyak.

Justru teori kebijakan mengamini hal tersebut, di mana dikatakan pada teori kebijakan bahwa tidak semua kepentingan dapat diakomodir. Dari aspek ini sebenarnya sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum telah gagal dalam memenuhi tujuannya untuk menciptakan keadilan. Dan pada pertanggungjawabannya hukum seakan dijadikan alasan atas gagalnya kebijakan yang dibuat dalam mengatur kemaslahatan hajat hidup orang banyak.

Pada akhirnya hukum justru membangkrutkan ilmu pengetahuan lain. Tragisnya adalah yang paling menjadi korban dalam gagalnya satu kebijakan adalah politik itu sendiri. Sungguh begitu betapa kejamnya hukum dalam analogi lempar batu sembunyi tangan.

Hukum Mengebiri Moral Manusia

Bercerita tentang moral, saya ingin mengajak pembaca untuk tidak gagal nalar dalam memahami antara hukum dan korelasinya dengan moral.

Sejatinya yang paling dekat dengan nilai moral adalah hukum. Mengapa? Nilai moral adalah kebajikan, kebajikan erat kaitannya dengan etika. Etika adalah satu konsep tentang sifat kebenaran dan kebaikan dalam tindakan sosial bermasyarakat.

Keseluruhan dari penjelasan ini semua erat kaitannya dengan hukum itu sendiri. Pertanyaannya, apakah ada satu hukum yang mempertimbangkan aspek moral?

Baca juga:

Justru dengan kehadiran hukum makin menciderai nilai-nilai moral manusia itu sendiri. Logika paling sederhana adalah hukum bersifat memaksa.

Definisi memaksa sendiri secara harfiah sebagai perbuatan yang melebihi batas atas kehendak dari manusia itu sendiri. Lantas bagaimana dapat membenarkan hukum sebagai sebuah aturan yang mengatur tingkah laku manusia jika hukum itu sendiri tidak mempertimbangkan aspek moral manusia?

Sejatinya, hadirnya hukum sangat umat manusia perlukan, tetapi ada hal yang perlu kita rethinking kembali, apakah hukum sejatinya benar-benar sejalan dengan tujuan dari hukum itu sendiri atau apakah hukum membutuhkan sebuah revolusi baru?

Yang paling terpenting adalah jangan sampai kehadiran hukum justru membangkrutkan ilmu pengetahuan lain dan berdalih dengan menuduh politik sebagai otak atas gagalnya suatu kebijakan yang dibuat atas   dasar hukum itu sendiri.

Febrianto Arifin
Latest posts by Febrianto Arifin (see all)