Idealisme Johann Gottlieb Fichte dan Relevansinya

Idealisme Johann Gottlieb Fichte dan Relevansinya
©Wikimedia Commons

Johann Gottlieb Fichte lahir di kota Rammenau atau Lausitz tanggal 19 Mei 1762 dari sebuah keluarga melarat. Ayahnya adalah seorang prajurit pita. Sewaktu masih kanak-kanak Fichte ikut mambatu ayahnya menyamak kulit dan memelihara angsa. Pada tahun 1774-1780 Fichte muda mengenyam pendidikan dasar di sekolah kadipaten.[1]

Walaupun ia sempat berhenti belajar karena tidak cukup uang, tapi pada tahun 1780 Fichte yang memiliki kemampuan berpidato melanjutkan studi teologi di Jena dan Leipzig, yang dibantu oleh seorang bangsawan kota, Baron Von Miltitz. Fichte menikah dengan Johanna Rahn (1794-1814) yang adalah seorang perawat dan mereka memiliki seorang anak bernama Imanuel Hermann Fichte.

Dalam masa studinya, Johann Gottlieb Fichte dipengaruhi oleh gerakan romantisme, dan dalam filsafat dia dipengaruhi oleh determinisme Spinoza. Sejak tahun 1788, ia sudah mendapat penghasilan tetap sebagai guru pada beberapa keluarga kaya. Ia mendalami filsafat Kant dan bahkan sempat mengunjungi Kant di Konigsberg.

Pada tahun 1794 ia diangkat menjadi profesor filsafat di Jena dan disukai oleh mahasiswa karena pandangannya yang sangat liberal dalam bidang agama. Dia dipecat dari universitasnya karena dituduh menyebarkan dan menganut ajaran ateisme.

Tahun 1809 ia menjadi dekan dan profesor filsafat di universitas Berlin dan diangkat menjadi rektor pada tahun 1810. Karya Fichte yang terkenal antara lain: Dasar seluruh teori ilmu pengetahuan 1794 (Grundlage der gesamten Wissenschaftlehre), Dasar Hukum Kodrat (Grundlage des Naturrechts) dan Sistem Teori Etika, (Das System der Sittenlehre). Pada tanggal 29 Januari 1814 Fichte meninggal dunia di Berlin karena sakit tipus yang ditularkan dari istrinya.

Abad Pencerahan: Kritik Terhadap Metafisika dan Penekanan pada Rasio Praktis

Sebelum masuk ke gagasan Johann Gottlieb Fichte, ada baiknya saya memaparkan terlebih dahulu zaman-zaman yang menjadi landasan idealisme Fichte yaitu zaman pencerahan dan kritik atas pemikiran abad pertengahan.

Sebagaimana diketahui bersama, zaman pencerahan abad 18 membawa sikap kritis pada metafisika (dominasi pemikiran abad pertengahan). Dalam kredo pencerahan, zaman ini menegaskan manusia tidak perlu menunggu rahmat atau kehidupan akhirat yang menjadi janji manis khas abad pertengahan.

Zaman pencerahan adalah antitesis dari abad pertengahan yang didominasi oleh pemikiran yang metafisis dan membangun pemikiran yang berlandaskan pada rasio murni. Dalam bahasanya Hardiman, zaman pencerahan dipandang sebagai kulminasi optimisme pemikiran terhadap rasio manusia dan juga sebagai letusan pemberontakan atas cara pikir metafisis abad pertengahan yang sudah dirintis sejak renaisans (abad ke-15 dan ke-16)’[2].

Singkatnya dalam zaman pencerahan, rasio manusia sangat ditekankan dan menolak segala bentuk penyembahan dan kepercayaan takhayul-takhayul yang senantiasa didominasi oleh sistem religius karena ketidakmampuan manusia untuk memaksimalkan rasionya.

Budi Hardiman dalam bukunya juga menegaskan, bahwa menurut pandangan zaman itu rasio adalah terang baru (pencerahan) yang menggantikan iman kepercayaan (keyakinan abad pertengahan dan dominasi Kristen).[3] Dalam traktatnya para tokoh zaman pencerahan meyakini bahwa rasio dapat membawa kebenaran dan juga kebahagian dalam hidup manusia.

Imanuel Kant menjadi salah satu pelopor yang membuka jalan bagi pemikiran pencerahan yang sebelumnya sudah dimulai oleh para pemikir zaman renaisans, misalnya Galileo Galilei (1564 – 1642) yang menyudahi dominasi Aristotelian, Leonardo da Vinci (1452 – 1519; Nicolaus Coppernicus (1472 – 1543) yang menolak ajaran gereja yang menyebutkan matahari mengeliling bumi, dan disempurnakan oleh Johanes Kepler yang mengafirmasi gagasan Copernicus bahwa bumi mengelilingi matahari berbentuk elips bukan berbentuk bulat.[4]

Intinya pada zaman ini banyak pemikiran yang melandaskan pada rasio, yang menjadi pemantik zaman sesudahnya yaitu pencerahan.

Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, Kant menjadi salah satu pelopor rasionalisme. Kant mendefinisikan zaman pencerahan sebagai ‘terlepasnya manusa dari sikap ketidakdewasaan (unműdigkeit) yang disebabkan oleh keengganan untuk memanfaatkan rasionya. Orang lebih suka berpaut pada otoritas diluar dirinya (wahyu ilahi, nasihat para ahli, otoritas Gereja, atau negara).[5]

Dalam geliat usaha untuk keluar dari kungkungan inilah, sapere aude menjadi semboyan khas zaman pencerahan. Keyakinan pencerahan akan masa depan yang cerah terjawab dengan berbagai temuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, khusunya ilmu alam dan teknik. Isaac Newton (1643-1727) misalnya, untuk pertama kali dalam sejarah memberikan dasar pada fisika klasik dengan hukum gravitasi, dan menolak segala bentuk spekulasi atas dunia. Newton menjamin kepastian dan alhasil ini dapat memperhitungkan banyak karya agung dan inovasi demi kemajuan manusia.

Dari penemuan-penemuan dan pembuktian rasio dan kapasitas manusia, zaman pertengahan menjadi zaman gelap dan ditinggalkan. Kant bahkan secara gamblang mengatakan, akal budi manusia adalah ukuran dan prinsip untuk segalanya, untuk apa yang ia ketahui (segi epistemologis), untuk apa yang manusia buat (segi moral), untuk apa yang diharapkan (segi teleologis).

Berkat rasio, penekanan pada subjek (aku) sebagai pusat pemikiran, pusat perasaan, pusat kehendak, dan pusat tindakan.[6] Efeknya manusia tidak dipandang lagi sebagai makhluk peziarah (viator mundi) melainkan sebagai pembuat dunia (faber mundi).

Halaman selanjutnya >>>
Fransiskus Sardi
Latest posts by Fransiskus Sardi (see all)