Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar

Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar
©Carousell

Ulasan Buku – Terdapat bukti bahwa kekeliruan dalam menerjemahkan pesan yang dikirimkan pemerintah Jepang menjelang akhir Perang Dunia II boleh jadi telah memicu pengeboman Hiroshima. Kata makusatsu yang digunakan Jepang dalam merespons ultimatum AS untuk menyerah diterjemahkan oleh Domei sebagai “mengabaikan”, alih-alih maknanya yang benar, “Jangan memberi komentar sampai keputusan diambil”.[1]

Versi lain mengatakan, Jenderal MacArthur memerintahkan stafnya untuk mencari makna kata itu. Semua kamus bahasa Jepang-Inggris diperiksa yang memberi padanan kata no comment. MacArthur kemudian melapor kepada Presiden Trauman yang memutuskan untuk menjatuhkan bom atom. Padahal, makna kata mokusatsu itu adalah “Kami akan menaati ultimatum Tuan tanpa komentar”.[2]

Sebuah pesawat skuadron angkatan laut Amerika Serikat membuat kontrak dengan sebuah toko mesin Jepang untuk membuat sebuah alat penopang bagi salah satu roda pesawat. Penopang yang asli retak di salah satu ujungnya, dengan retakan lurus setipis rambut. Orang-orang Amerika itu menekankan pentingnya mengganti penopang itu dengan tiruan yang sempurna.

Ketika mereka kembali untuk mengambil penopang yang baru, mereka memperoleh tepat apa yang mereka minta—suatu tiruan yang sempurna, termasuk keretakannya. Ahli-ahli mesin Jepang itu merasa bangga akan hasil kerja mereka dan menyatakan bahwa keretakan itu merupakan hal paling sulit untuk ditiru.[3]

Gara-gara membalas yel-yel pendukung Persib dengan mengacungkan jari kelingkingnya, Deny (19)—sebut saja begitu—dikeroyok para suporter. Peristiwa itu terjadi Minggu (7/11) sore, beberapa saat setelah Persib dipencundangi 0-1 oleh Persikota Kodya Tangerang.

Kejadian itu bermula ketika para bobotoh (suporter) Persib meledek wasit Muslihat (Bekasi) yang dianggap berat sebelah ke tim tamu. Lalu dengan berombongan, mereka keluar stadion mengiringi mobil yang ditumpangi wasit.

“Wasit goblok…! Wasit goblok…!” begitu sorak-sorai mereka.

Deny, remaja asal Jakarta yang sedang menikmati bakso di Jalan Aceh depan Stadion Siliwangi iseng-iseng ikut ramai dengan mengacungkan salah satu jari kelingkingnya tinggi-tinggi. Kontan, anak-anak yang menjejali gerbang masuk stadion mengalihkan amarahnya ke Deny.

Baca juga:

Deny berupaya berdalih bahwa maksud acungan jari kelingkingnya itu sebetulnya ditujukan kepada wasit yang tidak becus. “Jadi saya ini sependapat dengan Anda,” katanya.[4]

Pada akhir sebuah sidang usulan penelitian, seorang mahasiswi Pascasarjana (S2) di sebuah universitas di Bandung memohon maaf kepada para penelaah (termasuk pembimbingnya) seraya menangis karena dalam forum akademis itu ia diprotes seorang penelaah setelah mahasiswi mengatakan “Pertanyaan Bapak bagus sekali” kepada penelaah tersebut. Dalam presentasinya, mahasiswi tersebut memang berbicara dengan cara yang terkesan informal, sehingga dianggap kurang menghormati sidang ilmiah tersebut.

Dalam kasus lain, di universitas yang sama, seorang mahasiswa S2 tidak lulus ketika tesisnya diuji. Pasalnya, tesisnya memuat terlalu banyak kesalahan yang tidak perlu, terutama kesalahan ejaan. Ini memberi kesan bahwa kandidat tersebut sembrono dan ingin cepat lulus. Selain itu, kandidat menunjukkan kesan menggurui. Beberapa kali ia memotong pembicaraan penguji.

***

Cerita-cerita di atas menunjukkan bahwa ternyata komunikasi tidak semudah yang kita duga. Kegagalan memahami pesan verbal dalam ilustrasi pertama bahkan mengakibatkan bencana.

Memang banyak orang menganggap komunikasi itu mudah dilakukan, semudah bernapas, karena kita biasa melakukannya sejak lahir. Karena ada kesan enteng itu, tidak mengherankan bila sebagian orang enggan mempelajari bidang ini.

Benarkah komunikasi itu mudah?

Beberapa kekeliruan tentang komunikasi adalah sebagai berikut:

  • Tidak ada yang sukar tentang komunikasi. Komunikasi adalah kemampuan alamiah; setiap orang mengetahui apa komunikasi itu dan mampu melakukannya.
  • Keterampilan berkomunikasi adalah bakat, sifat bawaan, bukan diperoleh karena usaha atau pendidikan.
  • Saya berbicara, karena itu dengan sendirinya saya berkomunikasi. (Mengatakan sesuatu baru langkah pertama berkomunikasi yang ditafsirkan orang berdasarkan pengalaman orang tersebut).
  • Komunikasi terjadi hanya jika saya menghendakinya.
  • Komunikasi adalah proses verbal. (Padahal komunikasi juga proses nonverbal yang memengaruhi orang lain).
  • Kita membutuhkan lebih banyak komunikasi. (Anggapan kuantitas komunikasi berhubungan dengan kualitas hidup).
  • Makna terdapat pada kata-kata. (Padahal oranglah yang memberi makna).
  • Komunikasi adalah panasea universal. (Komunikasi bukan obat ajaib untuk mengatasi semua persoalan masyarakat. Komunikasi sekadar alat untuk mencapai tujuan mulia ataupun tujuan jahat).[5]
Halaman selanjutnya >>>
Kontributor