
Tanpa kita sadari, Indonesia sudah melakukan sentuhan secara diplomatik jauh sebelum era pascakemerdekaan dimulai, tepatnya di era kerajaan kuno. Hubungan diplomatik Indonesia diawali dengan perdagangan oleh bangsa Arab, Eropa, dan Asia diikuti membawa misi untuk menyebarkan agama dan pertukaran budaya. Melalui perdagangan itulah yang menjadikan Indonesia terdiri dari beragam etnis, ras, dan agama.
Mengapa di kerajaan interaksi seperti itu dikategorikan sebagai hubungan diplomatik? Karena hubungan tersebut sudah bersifat luar negeri (melewati teritorial nusantara) yang diaktori oleh para pemerintah yaitu kerajaan yang berkuasa.
Setelah dinyatakan merdeka walau secara sepihak dan belum diakui dunia secara internasional, Soekarno-Hatta selaku pemimpin pertama kita melakukan berbagai upaya dalam spektrum hubungan internasional yang diwarnai dengan isu high politics untuk mencari simpati negara lain agar mengakui bahwa Indonesia sudah merdeka dan menunjukkan bahwa Indonesia itu siap menjadi dan berpartisipasi dalam dinamika internasional. Upaya ini tentu tidak mudah dan tidak sebentar.
Keberhasilan Soekarno dalam mengambil simpati masyarakat internasional yang signifikan terjadi pada Konferensi Asia-Afrika dengan slogan Let A New Asia and A New Africa be Born. Ide awal dari KAA tercetus oleh PM Ali Satroamidjojo di Kolombo saat pertemuan dengan PM dari beberapa negara. Ia mengemukakan kepentingan politik luar negeri Indonesia serta mengajukan agar konferensi ini cakupannya lebih luas dan tidak terbatas beberapa negara saja.
KAA ini berorientasi untuk menguatkan hubungan multilateral antara negara Asia-Afrika dalam upaya melepaskan belenggu ketergantungan dari negara besar seperti AS dan Soviet untuk mengakhiri kolonialisme-imperialisme oleh bangsa barat. Orientasinya juga terkait dengan gerakan non-blok, dan ini menjadi ancaman bagi AS dan Soviet selaku dua negara yang menginginkan hegemoni internasional.
KAA juga dilatarbelakangi oleh makin menguatnya Perang Dingin pada masa itu sehingga muncul gagasan yang bertujuan untuk menyatukan wilayah Asia-Afrika agar tidak terbawa. Dengan berbagai halangan yang dilakukan oleh AS hingga Soviet untuk mempersuasif agar konferensi ini tidak terlaksana dengan intelijen hingga dugaan sabotase, tetapi pada 18 April 1955, KAA berhasil dilaksanakan hingga 24 April 1955 sesuai dengan aturan dalam PBB.
KAA memang tidak banyak diikuti oleh negara Timur Tengah dan Afrika, namun dengan tekad yang kuat negara yang hadir berjuang keras dengan resolusi yang ada untuk memerdekakan negara-negara yang masih terjajah. Hingga saat ini KAA masih memiliki utang, yaitu memerdekakan Palestina.
Resolusi akhir dari KAA pun sangatlah komprehensif. Para delegasi menyetujui kesepakatan ekonomi hingga budaya agar benar-benar terlepas dari belenggu Barat untuk mencari kemerdekaan bagi negara yang masih terjajah untuk menjadi negara yang mandiri dan anti-blok barat dan timur, terutama menghindari diikutsertakannya sebagai aktor dalam Perang Dingin.
Dampak dari KAA terasa sampai sekarang, salah satu orientasi diplomasi Indonesia adalah diplomasi di wilayah Afrika. Peluang ekonomi digital sangatlah besar, 80% penduduk usia produktif terpelajar tinggal di kota-kota besar dekat dengan Internet.
Indonesia sejak dulu sudah memiliki hubungan dekat dengan Afrika. Tak heran beberapa warga, aktivis, hingga pejabat Afrika menganggap KAA merupakan revolusi dan inspirasi yang sangat berdampak bagi mereka saat ini. Sekarang Afrika sedang berada dalam posisi revolusi setelah mengalami tantangan politis seperti konflik dan korupsi yang menurun secara signifikan.
Baca juga:
- Tantangan Diplomasi Era Soekarno: Memori Kelam Indonesia-Malaysia
- Diplomasi Digital sebagai Instrumen Perlindungan WNI
Menurut data yang diberikan oleh Kedutaan Besar Indonesia di Nairobi, Afrika memiliki potensi industrialisasi yang dapat meningkat dua kali lipat menjadi $1 triliun dalam satu dekade karena substitusi impor untuk memenuhi kebutuhan domestik. Mereka mencari pasokan impor yang murah namun tetap dengan kualitas yang baik, maka Asia adalah pilihan terbaik.
Mengingat komoditas bahan pangan Indonesia sangat baik, maka ini merupakan tantangan dan kesempatan bagi kita. Disusul infrastruktur yang menjadi mega project yang menjadi prioritas pembangunan dan inovasi untuk meningkatkan kekayaan pertanian domestik.
Kebudayaan pun merupakan salah satu peluang untuk berdiplomasi. Dr. Hery Saripudin selaku Duta Besar Indonesia untuk Kenya mencakup Uganda dan R.D. Kongo membuka pintu seluas-luasnya bagi para pelaku usaha di Indonesia yang ingin bekerja sama dalam sektor tertentu. Kedubes akan memfasilitasi pertemuan antara pihak Indonesai dan Afrika. Begitu juga dengan pelaku ekonomi atau diplomasi Afrika yang ingin melakukan kerja sama demikian.
Salah satu contoh diplomasi Indonesia yang sangat berhasil adalah bidang gastrodiplomasi, yaitu hadirnya Indomie yang menjadi mi instan paling favorit di penjuru Afrika. Dalam sektor pendidikan, Indonesia dan Afrika juga memiliki peluang yang sangat besar ditunjukkan dengan besarnya minat mahasiswa Afrika yang ingin studi banding ke Indonesia, tetapi pemuda Indonesia masih belum berminat tinggi dan inilah yang harus direkonstruksi.
KAA memang tidak memiliki kelanjutan, tetapi KAA dijadikan acuan terhadap kerja sama-kerja sama sebagai turunannya dalam hal mempererat persahabatan Asia-Afrika. Di ulang tahun ke 50 di tahun 2005, lahirlah dokumen baru yang bernama New Asian-African Strategic Partnership (NAASP) yang tetap memiliki bobot substansi KAA. Perayaan selanjutnya dilakukan pada 2015 dengan tema The Strengthening Asia-Africa Strategic Partnership and South-South Cooperation to Promote Peace, Progress, and Prosperity.
Seremonial yang dilakukan dengan pengembangan tema dan pembahasan menunjukkan bahwa kita selaku pelopor memiliki ambisi yang kuat dan keyakinan terhadap Afrika bahwa mereka memiliki potensi yang belum dilihat negara lain, dan ini menjadi posisi diplomatik yang strategis.
Berbeda dengan negara lain dan Indonesia yang memandang Afrika untuk bekerja sama dan melihat adanya peluang diplomatik, beberapa negara besar belum sepenuhnya memandang Afrika seperti kita, seperti AS yang memandang Afrika penuh dengan konflik, radikalisme, terorisme, dan lumbung penyakit.
Cina memandang Afrika sebagai wilayah potensi pasar kebijakan ekonomi perdagangan. Bagi Cina, yang penting hubungan bisnis itu berjalan tanpa memikirkan isu HAM, rezim, sosial-budaya (economic animals). Inggris berfokus pada diplomasi bantuan karena Afrika bagi Inggris adalah wilayah terbelakang sehingga banyak sekali charity di Inggris dengan orientasi Afrika (humanitarian aids).
Jadi, Afrika sekarang bukanlah Afrika yang dulu, seharusnya Indonesia bisa membimbing dan ikut membangun Afrika agar menjadi investasi politik dimasa mendatang, mengingat perkembangan Afrika sekarang cukup signifikan dan belum banyak negara yang mau “bekerja sama” dengan Afrika. Jadi, ayo berdiplomasi bersama Afrika!
Referensi
- Agus Haryanto, I. P. (2016). Diplomasi Indonesia: Realita dan Prospek. Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group.
- Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan Republik Indonesia. (2021, October 10). Diambil kembali dari https://fiskal.kemenkeu.go.id/kajian/-potensi-pelaksanaan-dialog-kebijakan-indonesia-dan-negara-negara-di-kawasan-afrika
- Duta Besar Saripudin, D. M. (2021, May 29). African Business Opportunities in The Digital Era.
- Duta Besar Saripudin, D. M. (2021, September 13). Kuliah Praktisi “KAA dan Diplomasi Indonesia di Kawasan Afrika saat ini”.
- Kusmayadi, Y. (t.thn.). Pengaruh Konferensi Asia Afrika (KAA) Tahun 1955 Terhadap Kemerdekaan Negara-Negara di Benua Afrika. Jurnal Agastya, 15-34.
- Investasi Diplomatik Indonesia sejak Dini: Revolusi Perspektif - 10 Oktober 2021