
Bagi orang tertentu, mungkin istilah ini sangat sensitif, khususnya bagi orang yang memahami islam secara formalitas. Karena kita anggap membenturkan Islam Indonesia dengan Islam Arab.
Apalagi akhir-akhir ini orang islam sangat mudah tertipu pada simbol-simbol keislaman daripada nilai-nilai keislaman. Hal ini saya maklumi, karena mereka memahami islam sebagai Islam Arab, bukan Islam Indonesia.
Beberapa dekade ini, orang islam mudah tersinggung, apalagi di tahun politik. Seolah-olah ketika mereka membela islam politik ini merasa puas membela tuhannya. Mereka lupa bahwa kata Gus Dur, “Tuhan tidak perlu dibela walapun ia tidak menutup dibela.” Benarkah kita harus membela Tuhan? Sedangkah Tuhan sendiri tak perlu pembelaan.
Kita tidak usah repot-repot untuk membelanya. Masih banyak perkerjaan yang lain yang harus kita kerjakan. Bukan berarti kita melepaskan tugas keislaman kita, melainkan ada tugas yang lebih besar lagi, yaitu membebaskan umat islam dari kemiskinan dan ketertinggalan dari pendidikan. Kan itu lebih wajib dan lebih penting?
Hal itu mungkin karena meningkatnya suatu konsekuensi kesadaran orang islam dalam beragama sehingga simbol-simbol keislaman perlu pembelaaan.
Baginya, membela itu adalah bagian dari keyakinan yang tak bisa tertawar yang imbalannya adalah Surga Firdaus, adalah surga yang paling atas. Mereka lupa bahwa hal itu menimbulkan gesekan-gesakan sosial yang mudah menimbulkan perpecahan antaranak bangsa.
Seharusnya kita sebagai Islam Indonesia sangat mengedepankan pancasila sebagai asas bernegara sebagai platform bersama yang sudah tersepakati oleh para pendiri bangsa kita. Idealnya, kita harus mampu sama-sama mengesampingkan simbol-simbol keagamaan sehingga setiap pemeluk agama merasa tak mendominasi negara Indonesia.
Kesadaran Islam Indonesia menjadi penting bagi umat islam, bahwa kita hidup di Indonesia harus punya cara pandang Islam Indonesia. Sederhananya, kita orang islam yang hidup di Indonesia, bukan orang Indonesia yang hidup di negara islam.
Baca juga:
- Darul Islam, Darul Harb, dan Darussalam
- Wajah Baru Jemaah Islamiyah dan Upaya Deradikalisasi Kolektif
Sudah menjadi pilihan para pendiri bangsa kita bahwa Indonesia bukanlah negara agama-sekuler. Hal itu memang tidak tersebutkan secara eksplisit dalam konstitusi kita, namun kita bisa menafsirkan secara historis bahwa dengan banyak polemik antara nasionalis-agamis yang sering konflik sehinga para pendiri tidak menganut dua-duanya, namun tidak menghilankan kereligusan sebagai budaya timur.
Seharusnya kita bangga dengan Islam Indonesia yang penuh ramah, toleran, mengedepankan budaya nusantara. Menurut Kepala Departemen Bidang Urusan Agama Kementerian Negeri Jerman, Volker Berreshein, bahwa konsep islam yang berkembang menjadi inspirasi bagi orang Jerman adalah konsep Islam Indonesia ini dapat menjadi alternatif untuk mengimbangi dominasi konsep islam dari etnis tertentu yang saat ini berkembang di Jerman.
Harus kita pahami bahwa Islam Indonesia adalah sebuah indentitas kebangsaan, menegaskan bahwa kita punya ciri khas tersendiri dalam mengimplementasikan nilai-nilai keislaman. Kita paham bahwa islam adalah universal, namun dalam praktik di Indonesia, islam sangat beradaptasi dengan nilai-nilai lokal. Jika islam Indonesia kita praktikkan dalam bernegara, maka semua akan damai dan tenteram.
Sudah saatnya generasi penerus bangsa ini punya pandangan yang mencerminkan cinta nilai kebangsaaan, memahami bahwa kebangsaan dan keislaman tidak bisa kita pisahkan dalam memahami bernegara. Keduanya bisa berjalan dalam satu atap tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman itu sendiri.
Hal itu bisa terjadi jika para penerus bangsa ini punya pemahaman Islam Indonesia, bukan Islam Arab. Artinya, menjadi Islam tak perlu menjadi Arab; cukup menjadi Indonesia.
Ingat! Islam Indonesia bukan Islam Arab. Tapi pakai baju Arab tidak apa-apa, yang penting paradigma Islam Indonesia. Jangan marah, ya! Ini hanya pemikiran.
Baca juga:
- Islam Arab, Islam Indonesia? - 1 September 2019
- Membangun Indonesia dari Pojok Pinggiran - 23 Agustus 2019
- Pilkada Bangkalan 2018 Paling Demokratis? - 9 Januari 2018