
Islam Tuhan adalah Islam yang ada di sisi-Nya, Islam yang masih murni, Islam yang benar, yang mengajak kita untuk melihat banyak kebenaran.
Islam adalah agama yang rahmatal lil alamin, agama yang damai, penuh kasih sayang. Islam sangat menghargai perbedaan pendapat tanpa terkecuali di luar Islam. Islam tak pernah mengajarkan kekerasan, membenci, menghardik, apalagi memusuhi. Jika sebaliknya yang terjadi, perlu ditanyakan keislaman.
Hari ini, Indonesia dihadapkan pada gejolak keagamaan yang mengancam negeri tercinta ini. Kerukunan menjadi terganggu karena perbedaan pemahaman yang saling mengkafirkan—lebih tepatnya: pemahaman konservatif.
Mereka tertarik pada pemahaman yang simbolis sehingga melupakan makna dan substansinya. Problem mendasarnya adalah menganggap golongannya yang paling benar dan menganggap golongan lain salah.
Mereka tak pernah melihat kebenaran orang lain. Bagi mereka, kebenaran hanya dari golongannya. Kebenaran yang buta, kebenaran yang diabsolutkan tanpa melihat dari sudut pandang yang lain.
Umpama ada dua orang buta, kemudian orang itu disuruh memegang tubuh Gajah. Yang buta pertama menyentuh telinganya. Lalu, ketika orang buta ditanya, “Gajah itu seperti apa?” Jawabnya, “Gajah itu kecil seperti telinga.
Lalu, orang buta ke dua disuruh menyentuh, kemudian orang buta tadi menyentuh kakinya. Ketika ditanya, “Gajah itu seperti apa?” Ia menjawab bahwa gajah itu panjang seperti kaki.
Begitulah pemahaman tingkat pemahaman keagaman seorang yang cenderung subjektif. Bila kita bertanya pada dua orang buta tadi, pasti mereka ngotot dengan kebenaran mereka. Kemudian tak ada gunanya jika kita memaksa kepada orang buta untuk mengetahui gajah seutuhnya.
Menurut Gus Mus, pemahaman keagamaan seseorang ada tingkatannya. Seperti seseorang yang menuntut ilmu, yang dimulai dari tingkatan dasar, seperti sekolah dasar (SD), SMP, SMA, selanjutnya adalah Universitas. Seperti itulah gambarannya tingkat pemahaman keagamaan seseorang yang berjenjang. Maka tidak heran pemahaman yang tingkat bawah cenderung menyalahkan sesuatu yang ia tidak diketahui, persoalannya pada pengetahuan yang sesungguhnya yang ia belum sampai.
Tingkat pemahaman keagamaaan yang lebih tinggi akan semakin sedikit menyalakan orang lain .layak orang yang pengetahuan luas dengan pengetahuan yang sedikit. Seperti itu cara beragama.
Pemahaman seorang apa pun sebenarnya tak pernah jadi masalah. Menjadi masalah ketika pemahaman itu kemudian dipaksakan pada orang lain. Lebih-lebih menganggap pemahaman seseorang yang tidak cocok dengan dirinya adalah kafir.
Orang lain dianggap kafir karena tidak satu pemahaman dengan dirinya. Bukankah dalam hadist dikatakan, kalau mengangap kafir sesama muslim, melainkan dirinya kafir yang sesungguhnya.
Mari kita saling menghormati, menjaga persaudaran, menjaga nalar kebangsaan, agar kerukunan tetap selalu terjaga. Prinsip seperti ini sebenarnya sudah diterapkan dalam organisasi NU (Nahdlatul Ulama).
Islamku, Islam Tuhan
Pemahaman keagamaan seseorang sangat subjektif karena banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pendidikan, pemahaman, lingkungan, zaman, waktu, bahkan golongannya.
Dalam buku Islam Manusia, Islam Tuhan, sebenarnya judulnya bukan hal yang aneh atau kontroversial. Karena pemahaman seperti sudah dilakukan oleh ulama terdahulu.
Penulis, dalam hal ini Haidar Bagir, memaksudkan Islam Manusia, Islam Tuhan Islam yang sudah dipahami oleh manusia, ditafsirkan oleh manusia, adalah Islam manusia. Artinya, penulis ingin mengatakan “kebenaran” Islam yang sudah sampai pada kita atau yang diolah oleh manusia dia sudah menjadi Islam manusia.
Islam Tuhan, menurutnya, Islam yang ada di sisi-Nya, Islam yang masih murni, Islam yang benar. Namun, perlu diingat, penulis bukan menafikan kebenaran, melainkan mengajak kita untuk melihat banyak kebenaran.
Dal hal ini, penulis seperti ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa banyak hal menuju kebenaran. Kebenaran yang ada pun sebenarnya belum tentu 100 persen dijamin benar karena hal itu hasil pemahaman manusia, pemahaman yang ada bukan jaminan kebenaran taken for gradnted (diterima begitu saja), melainkan harus dikritisi. Otoritas keagamaan yang ada pun belum dijamin menciptakan kebenarannya yang seutuhnya karena lagi-lagi yang di dalamnya organisasi itu adalah manusia yang mempunyai keterbatasan pemahaman.
Menariknya, buku ini memberikan pemahaman keagamaan yang kritis terhadap pembaca. Kita dituntut menjadi seorang yang kritis dalam menerima kebenaran. Selain itu, kita diajak untuk melihat banyak kebenaran pemahaman dalam multi-perspektif.
Buku ini mengajak pembaca untuk menghormati pemahaman seorang yang berbeda dengan kita, karena yang berbeda belum tentu salah. Bisa saja, pemahaman kita yang salah, bisa juga pemahaman orang lain yang benar. Sikap saling menghargai dari perbedaan itu adalah kuncinya. Tak ada kebenaran yang benar-benar yang sudah sampai pada manusia karena bagaimanapun pemahaman manusia itu terbatas.
Buku “Islam Manusia, Islam Tuhan” sangat enak dibaca dengan bahasa yang sangat renyah dan mudah dipahami walaupun tidak mengurangi bobot bukunya. Buku ini kumpulan opini beliau yang ada di beberapa media massa yang kemudian dijadikan buku.
Kelemahan buku ini, gagasan seperti ini sangat sulit diterima oleh sebagian orang, apalagi sama orang yang pemahaman keagamaannya tidak terbuka pada kebenaran lain, lebih-lebih Pak Haidar oleh sebagian orang dicap orang Syiah. Hal ini mungkin menjadi penghalang pada bagi sebagian orang untuk menerima kebenarannya walaupun niat penulis tidak ada maksud apa pun. Hal ini harap maklum karena Indonesia belum siap menerima gagasan ini.
___________________
Artikel Terkait:
- Islam Arab, Islam Indonesia? - 1 September 2019
- Membangun Indonesia dari Pojok Pinggiran - 23 Agustus 2019
- Pilkada Bangkalan 2018 Paling Demokratis? - 9 Januari 2018