
Awal Febuari 2021 lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis indeks demokrasi di dunia. Dari 167 negara di dunia yang dirilis oleh EIU, Indonesia menempati urutan ke-64 indeks demokrasi di dunia.
Di Asia Tenggara, indeks demokrasi di Indonesia di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Sejak 2006 hingga 2020, indeks demokrasi Indonesia turun, dari skor 6.48 turun skor menjadi 6.3. EIU menempatkan demokrasi di Indonesia sebagai demokrasi cacat. Indikatornya, proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik dan kebebasan sipil (detiknew, 04/02/2021).
Sementara itu, International for Democracy and Elektoral Assistance (IDEA) merilis indeks demokrasi di Indonesia mendapatkan rapor merah. Penurunan indeks demokrasi di 2020 menjadi yang terburuk sejak 2005. Indikatornya, kesetaraan dan hak asasi manusia (HAM), sistem administrasi yang tidak memihak dan keterlibata publik dalam pengambilan kebijakan publik (CNNIndonesia, 06/08/2021).
Ini sangat memalukan sekaligus menjadi pukulan bagi demokrasi di Indonesia. Tulisan ini hendak meninjau politik hukum dinamika dan perkembangan demokrasi di Indonesia.
Jika kita berbicara tentang dinamika dan perkembangan demokrasi di Indonesia, kita tidak lepas berbicara tentang partai politik sebagai lembaga/institusi demokrasi. Jika kita ingin memperbaiki demokrasi, yang pertama-tama yang harus kita perbaiki adalah partai politik sebagi mesin/kendaraan politik menuju demokrasi yang mapan.
Ibarat kalau kita dari Jogja mau ke Jakarta (anggaplah Jakarta adalah demokrasi mapan, adil dan sejahtera), maka yang pertama-tama yang harus kita cek adalah kesiapan kita, kendaraan kita, mesin kendaraan kita atau barangkali juga dibutuhkan kesiapan logistik, dll. Jika ini belum selesai atau belum siap, sulit bagi kita untuk sempai ke Jakarta: ke demokrasi yang mapan atau ke demokrasi yang kita cita-citakan itu.
Demikian juga dalam demokrasi dan partai politik, kita tidak akan sampai ke demokrasi yang mapan, adil dan sejahtera jika mesin/kendaran politik atau partai politik di Indonesia belum diperbaiki.
Jadi, jangan harap indeks demokrasi di Indonesia itu akan naik atau minimal baik jika pertai politik di Indonesia itu belum diperbaiki. Sebab, watak dan corak partai politik di Indonesia:
Baca juga:
- Membaca Ulang Oligarki dan Partai Politik dalam Lanskap Demokrasi Indonesia
- Oligarki Partai Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Partama, watak dan corak partai politik di Indonesia itu patron. Faktor inilah membawa partai politik pada monopoli kekuasaan, tidak berjalannya demokrasi di internal partai politik, sehingga menyebabkan matinya platform ideologi partai. Karena episentrum kekuasaan dikontrol oleh figur-figur partai politik, sehingga dalam pengambilan keputusan di internal partai hanya ditentukan oleh elite-elite partai (Mair dan Spirova, 2012).
Boleh jadi partai politik di pusat itu saling sikut, tidak sejalan dan saling perang, tetapi di daerah mereka “satu ranjang”. Boleh jadi partai politik yang platform nasionalis, tetapi kemudian teriak-teriak takbir. Boleh jadi partai politik yang platform Islam, tetapi kemudian mendapatkan pendanaan partai politik dari perusahaan bir. Terdengar aneh memang, tapi itulah partai politik di Indonesia yang tidak memiliki ideologi.
Bila kita cermati secara historis, perkembangan partai politik di Indonesia setelah reformasi menunjukkan tren yang menurun. Di tahun 1999 sampai di tahun 2002, partai politik memiliki idealisme yang tinggi, menawarkan ini-itu untuk pembangunan dan “satu ranjang” dengan masyarakat.
Faktor pendukungnya adalah karena transisi kekuasaan dari otoriter ke demokrasi dan pendirian partai-partai politik yang menjamur.
Tetapi kemudian di tahun 2003 sampai di tahun 2005, partai politik mulai bergeser dari sebelumnya “satu ranjang” dengan masyarakat kemudian bergeser menjadi jembatan penghubung antara masyarakat dengan negara. Sementara itu, di tahun 2005 sampai di tahun 2019, posisi partai politik bergeser dari yang sebelumnya menjadi jembatan penghubung antara masyarakat dengan negara bergeser menjadi “satu ranjang” dengan negara.
Problemnya adalah ideologi partai politik tidak memiliki daya jual di masyarakat. Mereka kemudian mencari kongsi baru dengan penyandang dana agar tetap eksis.
Kedua, relasi klientalisitik antara partai politik dengan sumber daya yang menopang pendanaan partai politik. Akibatnya, partai politik lebih cenderung mewakili kepentingan pengusaha atau para pebisnis ketimbang menjadi agen masyarakat (Diamond dan Gunther, 2001).
Inilah yang disebut sebagai oligarki partai politik. Secara luas, bisa dimaknai oligarki politik. Juffrey Winters seorang ilmuan politik Amerika mengatakan oligarki memiliki dua makna sekaligus, yakni memiliki makna ekonomi dan kekuasaan. Dua-duanya, saling mepengaruhi antara satu dengan yang lainnya.
Halaman selanjutnya >>>
- Beramai-ramai Melanggar Konstitusi - 25 Maret 2023
- Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah; Konsolidasi Politik 2024 - 27 Januari 2023
- Media dalam Percaturan Politik 2024 - 22 Januari 2023