Pilkada 2020 di Surabaya menjanjikan sebuah panggung politik yang sarat dengan dinamika. Namun, di tengah gejolak ini, ada sebuah fenomena yang patut kita renungkan—kecenderungan untuk menjadikan politik sebagai kambing hitam. Terlebih ketika kekhawatiran masyarakat memuncak, kita perlu mengarungi merdunya suara demokrasi tanpa terjerumus ke dalam jurang kesalahan umum. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk merenungkan, apakah kita sudah cukup bijak dalam menyikapi realitas politik yang ada?
Politik sering kali dipandang sebagai pisau bermata dua, menghampiri kita dengan kekuatan yang bisa mengubah wajah masyarakat. Namun, di sisi lain, politik juga mengundang sejumlah pertanyaan mendasar tentang keadilan, etika, dan integritas. Ketika Pilkada semakin dekat, banyak pihak yang berupaya untuk menciptakan narasi. Narasi tersebut bukan hanya sekadar menciptakan kesan positif tentang diri mereka, tetapi juga mengalihkan perhatian atas sejumlah masalah sosial yang nyata. Masalah-masalah ini, yang seharusnya kita hadapi bersama, sering kali disembunyikan di balik strategi pencitraan yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat.
Penggambaran politik sebagai kambing hitam ini dapat diumpamakan seperti jembatan rapuh yang menghubungkan dua sisi yang terpisah. Di satu sisi, terdapat harapan akan perubahan dan perbaikan; di sisi lain terdapat ketidakpuasan yang mendalam terhadap kondisi yang ada. Jembatan ini menjadi tempat berpijak bagi banyak orang, namun ketika dihadapi dengan beban yang terlalu berat, ia bisa saja roboh dan menenggelamkan impian kebangkitan.
Dalam huru hara menjelang Pilkada, kita sering kali disuguhkan dengan beragam isu yang berpotensi memecah belah. Misalnya, isu SARA yang sering kali diangkat hanya untuk memecah belah susunan masyarakat. Penyebaran hoaks menjadi kian marak, menjadikan masyarakat terombang-ambing dalam informasi yang tidak jelas. Tak jarang, tindakan ini diambil oleh oknum-oknum yang memiliki agenda tersendiri, menyesatkan masyarakat untuk memilih berdasarkan ketakutan dan prejudis, alih-alih berdasarkan fakta dan prestasi.
Penting untuk menyadari bahwa setiap suara yang kita torehkan dalam Pilkada adalah cerminan dari cita-cita kolektif masyarakat. Memilih untuk menjadikan politik sebagai kambing hitam hanya akan memperburuk keadaan. Bukankah sudah saatnya kita menyuarakan aspirasi dalam kerangka kebersamaan? Kebersamaan yang dimaksud bukanlah sekadar bersatu dalam kebaikan, tetapi juga bersedia menengok ke dalam, melihat kelebihan dan kekurangan bersama. Untuk itu, diperlukan kepekaan dalam menganalisis permainan politik yang sering kali berjalan di balik layar.
Di sinilah nilai pendidikan politik menjadi sangat paramount. Ketika masyarakat dilengkapi dengan informasi yang benar dan analisis yang mendalam, maka mereka akan mampu menyaring mana informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan mana yang sekadar retorika kosong. Kiranya, upaya-upaya untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat haruslah intensif dilakukan, baik melalui forum-forum diskusi, seminar, maupun media massa. Dengan pengetahuan yang memadai, masyarakat tak lagi terjebak dalam kancah pertikaian yang tidak produktif.
Relasi antara pemilih dan yang dipilih dalam politik ibarat dua sisi mata uang. Satu tidak dapat berdiri tanpa yang lain. Dalam momen Pilkada, seyogianya kita membangun hubungan ini dalam nuansa saling menghargai, bukan hanya berfokus pada perolehan suara semata. Masyarakat perlu menyadari bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mendengar dan mewakili suara rakyat, bukan sekadar janji-janji manis yang terlepas dari kenyataan. Oleh karenanya, pemilih harus aktif menggali informasi untuk memilih sesuai dengan hati nurani dan akal sehat.
Dalam menjelang hari H Pilkada tersebut, marilah kita bersikap bijaksana. Mari kita batasi diri dari terjebak dalam narasi politik yang mengedepankan kekacauan. Dalam era informasi yang serba cepat ini, penting untuk menghadirkan fakta dan data sebagai rujukan utama ketimbang terperangkap dalam onggokan hoaks yang meresahkan. Dengan demikian, keinginan untuk menjadikan politik sebagai kambing hitam pun dapat kita hindari, menuju sebuah proses pemilihan yang lebih bermakna dan membawa harapan baru bagi masyarakat Surabaya.
Kesimpulannya, menjelang Pilkada 2020, sudah saatnya kita memahami bahwa politik bukanlah sesuatu yang layak untuk disalahkan. Sebaliknya, politik dapat menjadi wadah untuk mengangkat suara rakyat jika kita semua bersedia untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis. Merangkul kesadaran kolektif, tinggalkan kesan negatif tentang politik, dan lihatlah potensi yang ada untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik.






