Jokowi, Prabowo, dan Kegilaan yang Akut

Jokowi, Prabowo, dan Kegilaan yang Akut
©iPost

Ada kegilaan yang akut ketika nama Jokowi dan Prabowo kembali ramai jadi perbincangan di banyak kalangan. Wajarlah, hari ini Indonesia sedang memasuki tahun politik, tahun di mana politik mendominasi setiap obrolan kita, baik di warung-warung kopi hingga gedung-gedung elite.

Ia menghegemoni setiap tatanan kehidupan kita. Ada politisasi ekonomi, politisasi pendidikan, politisasi hukum, hingga politisasi agama. Ah, pokoknya macam-macamlah, dan semuanya adalah bentuk kegilaan.

Rasanya kurang afdal jika di tahun politik ini segala seluk-beluk kehidupan kita tidak terkait dengan politik dan tetek bengeknya. Ini sesuatu yang lumrah dalam alam demokrasi kita.

Bagi saya, segala macam dan bentuk politisasi itu sah dan halal. Bahkan, mau mempolitisasi Tuhan sekalipun, silakan!

Saya tidak akan pernah bosan dengan yang namanya politik. Karena saya tidak bisa mengelak bahwa politik itu fitrah bagi setiap manusia, siapa pun dia, tanpa terkecuali.

Hal ini sejalan dengan sabda sang filosof, Aristoteles, bahwa manusia adalah zoon politicon (makhluk sosial), yang makna harfiahnya adalah manusia sebagai makhluk yang berpolitik dalam menjalani kehidupan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Hanya satu yang membuat saya jenuh (hingga mencapai kejenuhan yang akut) dengan konstelasi perpolitikan kita hari ini, yaitu dua nama, Jokowi dan Prabowo yang digadang-gadang bakal menjadi Capres terkuat di 2019 mendatang. Ah, sungguh dua nama yang membosankan dan membuat dunia perpolitikan kita tidak dinamis dan kaku.

Hal ini berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), bahwa elektabiltas Jokowi dan Prabowo masih berada di urutan teratas di antara nama-nama lain (Agus Harimurti Yudhoyono, Anies Baswedan, dan Gatot Nurmantyo) yang juga disebut-sebut akan meramaikan Pilpres 2019 mendatang. Semoga!

Baca juga:

Dengan majunya dua nama, Jokowi dan Prabowo sebagai Capres di 2019, berarti kita dan bangsa ini sudah mencapai titik kegilaan yang akut. Bagaimana tidak saya katakan gila; jika negara sebesar ini melulu bicara Jokowi dan Prabowo, semacam ada dependensi publik terhadap kedua nama negarawan tersebut.

Seakan negara ini sudah kehabisan stok figur dan tokoh yang layak kita bincangkan dan elu-elukan sebagaimana Jokowi dan Prabowo, termasuk sebagai capres di 2019 mendatang.

Tokoh seperti Mahfud MD, Akbar Tandjung, Said Aqil Siradj, Dahlan Iskan. Mereka (menurut saya) lebih dari layak untuk memimpin negeri ini. Mereka punya gagasan, visioner, dan juga berintegritas. Dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang juga cukup layak untuk memimpin negeri ini.

Sebenarnya kita punya banyak pilihan (stok) tokoh untuk maju di pilpres mendatang. Tapi kenapa mayoritas publik kita hanya menjatuhkan pilihannya pada dua nama, Jokowi dan Prabowo, yang tidak hebat-hebat amat itu?

Dalam analisis saya, karena mayoritas (publik) kita sudah mencapai pada titik kegilaan yang akut. Sebagaimana saya katakan di atas, Jokowi dan Prabowo tidak hanya dipuja dan dipuji oleh masing-masing para pendukungnya, tetapi lebih dari itu.

Masih tetap menurut saya, mereka berdua juga di-Tuhan-kan oleh para pendukungnya dengan fanatisme yang berlebihan. Demi membela dan menjunjungnya, mereka rela melakukan hal-hal gila (dengan aneka ragam bentuknya). Kewarasan dalam bersikap dan bertindak (in action) tidak lagi menjadi barometer bagi mereka. Sungguh naïf, bukan?

Publik kita memang acapkali berlebihan dalam memandang dan menyikapi sesuatu, termasuk mencintai dan membenci seseorang. Buktinya, negeri ini suka riuh-ricuh hanya karena suka menghujat lawannya dan membela junjungannya. Siapa lagi kalau bukan Jokowi dan Prabowo?

Suka tidak suka, pada kenyataannya (das sein), mayoritas masyarakat kita terdikotomi ke dalam dua kelompok. Ada kelompok pendukung Jokowi, ada kelompok pendukung Prabowo.

Halaman selanjutnya >>>
Naufal Madhure
Latest posts by Naufal Madhure (see all)