Di tengah gelombang kebangkitan politik dan sosial di Indonesia, Omnibus Law menjadi sorotan utama. Pemerintah, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, mengusung kebijakan ini dengan janji reformasi yang mendasar untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Namun, kebijakan ini juga menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, mengingat implikasinya yang luas terhadap hak buruh dan lingkungan. Di sinilah kalkulus liberal bertemu dengan positivisme, menciptakan ketegangan antara aspirasi kebebasan individu dan kebutuhan untuk mengatur demi kepentingan bersama.
Kalkulus liberal, sebagai salah satu aliran pemikiran politik, mendorong individu untuk mengejar kebebasan dan kemakmuran mereka. Pendukungnya percaya bahwa dengan meminimalisir intervensi pemerintah, masyarakat akan dapat berinovasi dan tumbuh secara alami. Dalam konteks Omnibus Law, gagasan ini seakan diperdalam oleh kebutuhan akan efisiensi. Namun, apa yang sering dilupakan adalah bahwa kebebasan individu tidak selalu berjalan seiring dengan pengabaian terhadap norma sosial dan ekonomi yang lebih luas.
Di sisi lain, positivisme menuntut bukti empiris dan rasionalitas dalam setiap kebijakan. Pendekatan ini berusaha merangkul fakta-fakta objektif tanpa membingungkan dengan nilai-nilai subjektif. Dengan demikian, penerapan Omnibus Law haruslah didasari oleh data dan analisis yang valid. Namun, keadaan ini menciptakan paradoks. Ketika pemerintah mengklaim menggulirkan Omnibus Law untuk kepentingan rakyat, pertanyaannya menjadi: apakah data dan bukti yang digunakan benar-benar mewakili keinginan rakyat?
Pemisahan antara kalkulus liberal dan positivisme dalam konteks Omnibus Law menjadi cermin dari perdebatan yang lebih luas di masyarakat. Masyarakat sipil yang beranggotakan serikat pekerja, aktivis lingkungan, dan berbagai elemen lain berpendapat bahwa kebebasan yang ditawarkan tidak sebanding dengan pengorbanan yang diminta. Mereka berargumen bahwa reformasi yang digembar-gemborkan justru berpotensi menyingkirkan kebebasan dan hak-hak dasar mereka.
Dalam hal ini, penting untuk mempertimbangkan sebuah pertanyaan fundamental: apakah kebijakan ini bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama ataukah hanya mengokohkan kepentingan segelintir elit? Di sinilah kalkulus liberal sepertinya tergelincir. Kebebasan yang seharusnya mendorong pertumbuhan inklusif kadang kali menyisakan celah bagi eksploitasi.
Memasuki ranah filosofi politik, kita harus mengakui adanya ketegangan antara idealisme dan realisme. Idealismenya terletak pada gagasan bahwa semua orang seharusnya memiliki hak untuk mengakses peluang yang sama, sementara realisme menuntut kita untuk menghadapi kondisi sosial dan ekonomi yang tidak selalu sejalan dengan ideal tersebut. Kenyataannya, di balik kebijakan Omnibus Law terdapat motif-motif yang kadang tumpang tindih dengan kepentingan kapitalis, yang berupaya untuk mengendalikan aset-aset bernilai.
Dengan demikian, kesan bahwa Omnibus Law merupakan sebuah upaya untuk menciptakan dampak positif dalam jangka panjang sering kali tereduksi oleh pandangan skeptis dari masyarakat. Mereka mempertanyakan: apakah regulasi baru ini akan melindungi atau justru menghancurkan lingkup pekerjaan yang telah ada? Ini adalah dilema yang rumit, di mana harapan dan ketakutan berdampingan dalam sebuah ruang diskusi yang semakin panas.
Selanjutnya, kita perlu melihat pada konteks global. Proses globalisasi telah memaksa banyak negara, termasuk Indonesia, untuk beradaptasi dengan tren bisnis yang cepat dan dinamis. Dalam situasi ini, Omnibus Law datang sebagai jawaban atas tuntutan pasar global, tetapi dengan mengesampingkan keraguan-keraguan yang muncul dari kebijakan yang terfokus semata pada liberalisme ekonomi. Pertanyaannya, bisakah Indonesia menjaga kedaulatan dalam kebijakan utamanya pada saat bersamaan?
Akhirnya, untuk mencapai suatu konsensus yang konstruktif, masih ada jalan panjang yang perlu ditempuh. Dialog antar berbagai elemen masyarakat menjadi krusial. Secara esensial, pemerintah perlu mendengarkan pandangan-pandangan masyarakat sipil, jangan sampai kebijakan yang diambil justru mengalienasi rakyat yang seharusnya dipangku kepentingannya. Omnibus Law bisa jadi peluang emas, asalkan kebijakan tersebut dihadirkan dengan rasionalitas yang mempertimbangkan aspirasi dan hak asasi manusia.
Dengan memperdebatkan kalkulus liberal dan positivisme di balik Omnibus Law, kita membuka ruang untuk diskusi yang lebih luas. Perdebatan tersebut bisa memberikan panduan bagi pembuat kebijakan untuk menghindari jebakan yang bisa merugikan masyarakat. Sebuah langkah maju yang harus diambil adalah menciptakan sinergi antara kebijakan ekonomi dan sosial, sehingga kebebasan individu dan tatanan masyarakat dapat berjalan beriringan.
Ketika semua pihak berkomitmen untuk mewujudkan visi ini, harapan untuk menghasilkan kebijakan yang tidak hanya produktif tetapi juga adil akan semakin mendekati kenyataan. Sehingga, dalam perjalanan menuju masa depan, Indonesia dapat menemukan keseimbangan yang dibutuhkan antara pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penghormatan terhadap hak-hak individu.






