
“Kami bukan monyet!” Demikian seruan Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Diskriminasi dan Rasialisme dalam rangka menyebarkan petisi bertajuk Hentikan dan Usut Kekerasan terhadap Mahasiswa Papua di Malang & Surabaya.
Petisi tersebut ditujukan khusus untuk Kapolrestabes Surabaya, Kapolres Malang, dan Komnas HAM.
“Tuntutan ini didasarkan atas mimpi kami agar siapa pun di Indonesia bebas untuk menyatakan pendapatnya di depan publik tanpa ada rasa takut diperlakukan secara diskriminatif dan potensi ditahan aparat. Sebab siapa pun berhak berpendapat secara damai di Republik Indonesia ini, sesuai dengan Pasal 28E (3) dari UUD 1945,” tulisnya dalam petisi yang kini memiliki 62 ribu lebih pendukung.
Bermula dari Aksi Damai
Dua hari sebelum hari kemerdekaan bangsa Indonesia, sekelompok mahasiswa Papua di Malang dikabarkan harus mengalami kekerasan dan umpatan rasial (monyet). Yang sebenarnya hanya korban, mereka justru mendapat perlakuan represif dari aparat.
“Asrama mereka dibiarkan dikepung oleh sekelompok tak dikenal. Beberapa mahasiswa ditangkap paksa oleh aparat.”
Kasus ini bermula dari aksi damai yang diselenggarakan sekelompok mahasiswa Papua di Malang pada Kamis, 15 Agustus 2019. Kelompok yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua ini menggelorakan pendapat di depan umum sebagai bentuk unjuk rasa menolak Perjanjian New York yang ditandatangani Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat pada 15 Agustus 1962 silam.
Yang terjadi kemudian adalah penghadangan oleh sekelompok orang berpakaian preman. Mereka meneriaki massa aksi yang mayoritas mahasiswa Papua dengan nama-nama binatang (monyet), melempari helm dan batu, serta menendang.
“Beberapa massa aksi terkena lemparan batu dan mengalami luka serius. Tak hanya itu, 13 mahasiswa Papua ditahan aparat secara paksa.”
Esok harinya, 16 Agustus 2019, berlangsung pengepungan Asrama Kamasan Mahasiswa Papua di Surabaya. Mereka terdiri dari aparat tentara, Satpol PP, dan ormas reaksioner.
“Para pengepung melakukan pengrusakan terhadap pagar asrama. Beberapa jendela-jendelanya pecah.”
Mereka pun menutup jalan masuk menuju asrama. Dikhawatirkan mereka akan mendobrak masuk asrama.
“Ini terjadi karena mahasiswa Papua dituduh merusak bendera merah putih yang telah dipasang di luar pagar asrama. Padahal tuduhan ini tidak benar adanya.”
Tuntutan
Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Diskriminasi dan Rasialisme pun menuntut Wakil Wali Kota Malang dan Kepala Kepolisian Resort Malang. Mereka mendesak Kapolrestabes Surabaya segera menghentikan aksi pengepungan Asrama Kamasan Mahasiswa Papua di Surabaya.
“(Ini) ketidakadilan yang mendiskriminasi dan mengekang kebebasan berpendapat mahasiswa Papua.”
Pihaknya juga mendesak agar membebaskan tahanan mahasiswa Papua di Surabaya, membebaskan tahanan mahasiswa Papua di Malang, serta menindak provokator dan pelaku kekerasan maupun diskriminasi saat kericuhan 15 – 16 Agustus 2019.
Mereka juga mendesak Komnas HAM untuk segera menginvestigasi persekusi, rasialisme, dan penggunaaan kekuatan berlebih atas kejadian di Malang dan Surabaya.
Mereka berharap, siapa pun yang melakukan kekerasan dan aksi diskriminatif mendapatkan hukuman yang setimpal agar tidak merusak perdamaian dalam masyarakat. Serta menyelesaikan potensi konflik horizontal antarmasyarakat Indonesia, di Jawa maupun di Papua.
*Untuk Anda yang ingin bergabung dan mendukung gerakan ini, silakan tandatangani petisi di sini.
- Jika Pasangan Amin Maju, Hanya 16,5 Persen Warga Akan Memilih - 22 September 2023
- Figur Presiden Lebih Kuat daripada Partai Politik - 8 September 2023
- Rakyat Indonesia Menolak MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara - 27 Agustus 2023