Kebebasan Kebablasan Adalah Narasi Para Diktator

Dwi Septiana Alhinduan

Kebebasan kebablasan. Dua kata ini mungkin terdengar sepele, namun di baliknya tersimpan makna yang dalam, terutama dalam konteks politik. Ada sebuah ironi di sini: saat kita membicarakan kebebasan berpendapat, seringkali kita lupa bahwa kebebasan yang tidak terkontrol dapat menjadi senjata yang mematikan di tangan para diktator. Dalam banyak hal, kebebasan yang tidak teroganisir justru berpotensi untuk melahirkan tirani baru.

Sebuah negara yang seharusnya berdiri di atas pondasi demokrasi dapat berubah wajah menjadi otoritarian, menyusup perlahan oleh narasi yang terdistorsi dan retorika yang menyesatkan. Setiap kali kebebasan berekspresi dimaknai sebagai hak untuk mengucapkan segalanya tanpa batas, kita sebenarnya membuka celah bagi kekuasaan untuk mengatur dan membungkam suara-suara yang kritis. Taktik yang digunakan para pemimpin otoriter ini ibarat ujung pedang; sangat tajam di satu sisi, namun juga sangat berbahaya ketika terjatuh ke tangan yang salah.

Para diktator, dalam setiap tindakan mereka, sering kali menggunakan frasa “kebebasan berpendapat” sebagai topeng. Mereka mengajukan argumen bahwa kebebasan itu adalah hak asasi manusia yang harus dilindungi. Namun, saat narasi ini dijadikan justifikasi untuk mengekang kebebasan yang lebih kritis dan analitis, itu berarti mereka sedang memelihara “kebebasan kebablasan”—kebebasan yang berpotensi menghancurkan. Metafora kebablasan, dalam hal ini, bisa digambarkan sebagai fiesta tanpa batas yang menjelajahi sisi kegelapan dari kebebasan berpendapat.

Konsep ini menjadikan kita merenungkan peran pendidikan dan kesadaran sosial dalam membentengi diri dari manipulasi semacam itu. Sama seperti seorang pelaut yang harus memahami arus laut sebelum berlayar, rakyat juga perlu paham akan tanggung jawab dari kebebasan berpendapat. Tanpa pemahaman yang mendalam atas kompleksitas tersebut, kita berisiko untuk jatuh pada jurang kebablasan yang digulirkan oleh tangan-tangan licik.

Penting untuk dicatat bahwa ketika kebebasan berpendapat dikaitkan dengan kebebasan kebablasan, hal ini membuka ruang bagi polarisasi masyarakat. Diskursus publik berubah menjadi arena pertarungan ide, di mana setiap pendapat dihakimi bukan berdasarkan substansi, melainkan popularitas. Ini mirip dengan pertunjukan sirkus, di mana hanya yang terdengar keras dan dramatis yang menjadi pusat perhatian, sementara suara-suara bijak dan moderat terpinggirkan. Masyarakat yang dibiarkan menikmati teater kebebasan ini, tanpa menyadari bahwa mereka telah terperangkap dalam permainan yang dijalankan oleh para pemimpin diktator.

Dalam konteks Indonesia, fenomena ini sangatlah relevan. Sejarah mencatat bagaimana beberapa rezim pernah mengklaim diri sebagai penjaga kebebasan, tetapi pada saat yang sama melakukan represi. Di setiap sudut ruang publik, kita melihat bagaimana kebebasan berpendapat dimanipulasi untuk menciptakan narrative kemanusiaan, seraya menggadaikan hak-hak sipil. Cita-cita demokrasi justru terancam ketika suara-suara minoritas diabaikan, dan kebebasan kebablasan dijadikan alat untuk memecah belah.

Jangan salahkan budaya kritik jika sering kali kebebasan berpendapat disalahartikan. Kritikan konstruktif sangat penting untuk pencerahan sosial, namun ketika narasi kebebasan melulu merujuk pada ekspresi tanpa batas, kita berisiko kehilangan arah. Rasa tanggung jawab harus dibentuk sejak dini, dalam kurikulum pendidikan serta dalam lingkungan sosial. Keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab harus dijadikan mantra hidup.

Metafor yang lebih kompleks dapat digunakan untuk menggambarkan kebebasan kebablasan ini. Bayangkan sebuah taman indah yang dikelilingi pagar besi. Setiap jalan setapak yang dipilih tanpa petunjuk bisa membuat kita tersesat, terpinggir dari tujuan awal. Taman tersebut, dalam hal ini, adalah simbol masyarakat dan kebebasan, sementara pagar besi melambangkan batasan yang tidak boleh dilanggar. Kebebasan berpendapat, dalam kerangka ini, seharusnya merupakan jalan yang terpetakan, bukan jalur rawan di kawasan berbahaya.

Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memahami bahwa kebebasan berpendapat bukan sekadar hak, tetapi juga sebuah tanggung jawab moral. Hanya ketika kita memiliki kesadaran akan pengaruh dari ucapan kita, dan berusaha menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, kita dapat menghindari terperosok dalam narasi kebablasan yang dimanfaatkan oleh para diktator.

Dengan memupuk kesadaran bersama, membangun refleksi kritis, kita bisa menciptakan masyarakat yang tidak hanya bebas, tetapi juga bijaksana dalam berbicara. Saat kita melepaskan kendali daripada kebebasan secara sembarangan, kita hanya akan melahirkan kebohongan dan menumbuhkan benih-benih tirani. Mari kita ambil langkah cerdas dan bijak dalam membangun narasi baru yang berisi kebebasan yang bermakna, bukan sekadar kebebasan kebablasan yang terus menerus menarik kita ke arah kegelapan.

Related Post

Leave a Comment