Kekerasan Petani dan Orientasi Pembangunan Indonesia

Kekerasan Petani dan Orientasi Pembangunan Indonesia
©Kementerian Pertanian

Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan berita dari Bengkulu. Sebanyak 40 petani ditahan oleh aparat dengan tuduhan mencuri tandan buah segar (TDS) kelapa sawit yang dimiliki PT Daria Dharma Pratama (DDP). Tidak hanya itu, dalam proses penangkapan, terdapat dugaan pemukulan.

Bagi pembaca atau pegiat yang berkecimpung dalam dunia agraria, kasus ini tentu tidak terlalu mengejutkan sebab bukan baru-baru ini saja terjadi. Kekerasan oleh aparat, intimidasi oleh “preman”, hingga kekalahan di pengadilan kerap dialami para petani.

Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), terdapat 207 konflik agraria sepanjang 2021. Selanjutnya, 74 dari 207 konflik tersebut terjadi di sektor perkebunan.[1]

Kemungkinan petani untuk menang jika telah berhadapan dengan korporasi peluangnya relatif kecil. Jika dilacak dari hulu ke hilir, kita mesti mengetahui orientasi pembangunan Indonesia untuk mengidentifikasi kasus-kasus semacam ini. Kekerasan petani tidak boleh dibiarkan terus terjadi negeri ini, sehingga dibutuhkan kesadaran paling purna untuk melihat fenomena ini dengan menengok persoalan tersebut secara lebih komprehensif.

Orientasi Pembangunan Indonesia

Bila dicermati secara saksama, orientasi pembangunan negara-negara dunia termasuk Indonesia hari ini berkiblat ke pasar bebas. Hal ini ditandai sejak rezim Orba berkuasa, di mana banyak produk Undang-Undang berorientasi kerakyatan yang dimusnahkan, UUPA dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA).

Produk UUPMA ini adalah konsekuensi logis dari konsensus Washington yang disetujui oleh Indonesia pada 1998 yang menekankan 10 prinsip pembangunan ala bank Indonesia, di antaranya mencakup privatisasi, liberalisasi sektor keuangan, dan pembukaan akses Penanaman Modal Asing (PMA).[2] Inilah strategi pembangunan Indonesia yakni neoliberalisme, sebuah istilah yang kerap disebut oleh para ahli ekonom.

Dengan mengundang sebanyak mungkin modal untuk berinvestasi, dan apakah para pemodal itu memberikan investasi secara cuma-cuma? Tentu tidak sebagaimana sesanti “tidak ada makan siang gratis”.

Corak neoliberalisme ekonomi Indonesia tentu sangat mengancam kesejahteraan dan kedaulatan sebagaimana kita mengenal ciri dari neoliberalisme. Setidaknya 3 ciri utama dari neoliberalisme tersebut adalah: Pertama, memperkecil peran pemerintah dengan membiarkan hukum pasar modal bekerja dalam pengelolaan barang dan modal (melalui penghapusan bantuan dan patokan harga, perdagangan bebas, nilai tukar di bawah kendali pasar dan lain-lain.

Baca juga:

Kedua, meningkatkan peran swasta dengan jalan swastanisasi, deregulasi, dan lain-lain. Ketiga, menarik negara-negara berkembang untuk bergabung dalam pasar bebas dengan iming-iming stabilitas ekonomi, laju inflasi rendah, fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan lain-lain.

Padahal kita tahu semangat perjuangan kemerdekaan adalah melepas diri dari asing dan menghendaki kemandirian dalam segala aspek, baik ekonomi maupun pembangunan. Muhammad Tauchid merekam peristiwa heroik rakyat Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan,[3]:

“…beribu-ribu hektar tanah onderneming dan hutan dijadikan tanah pertanian rakyat untuk menanam bahan makanan dan dijadikan untuk mendirikan gubuk-gubuk rumah yang sebelumnya itu mereka menumpang di pekarangan orang lain…”

Lebih jauh lagi, semangat untuk membebaskan diri dari asing oleh para pejuang kemerdekaan dituangkan dalam Ringkasan ketetapan Madjelis Permusyawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama, 1961-1969, pada Pasal 4 ayat 3 menyebutkan bahwa landreform sebagai bagian mutlak revolusi Indonesia merupakan basis pembangunan semesta berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat pengisapan.[4]

Dari keterangan di atas, makin kuat untuk mengatakan bahwa semangat kemerdekaan adalah mandiri dalam segala aspek termasuk ekonomi dan pembangunan. Dengan demikian, pengelolaan tanah atau landreform menjadi salah satu sub bahasan dalam ekonomi pembangunan sebagai upaya menyejahterakan kehidupan rakyat. Bukan malah menggantungkan nasib pada modal asing, sebagaimana tampak dalam orientasi pembangunan Indonesia saat ini.

Petani dan Investasi: Sebuah Pilihan?

Pertentangan yang kemudian muncul dan menjadi penyebab konflik berkepanjangan adalah: di satu sisi, pemerintah memerlukan tanah untuk mengerjakan kegiatan pembangunan berorientasi pasar dan investasi. Di sisi lain, rakyat atau petani memiliki kepentingan untuk mengelola tanahnya sekedar mencukupi kehidupan sehari-hari.

Pemerintah mengklaim mengakomodasi seluruh kepentingan warganya. Hal ini ditunjukkan dengan program bernama reforma agraria yang kembali didengungkan sejak dua kepemimpinan presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi.

Meski menggunakan istilah reforma agraria, mesti dilihat lebih jauh bagaimana kebijakan dan implementasi lapangan yang dilakukan dalam menerapkan program ini.

Halaman selanjutnya >>>
Rizal Firmansyah Putra Moka
Latest posts by Rizal Firmansyah Putra Moka (see all)