Kembali ke Kotamu

Kembali ke Kotamu
©Dok. Pribadi

Mengapa setiap orang senang sekali mematahkan hatinya sendiri; meyakini kebahagiaan, membenci masa lalu, lantas mengisahkannya sebagai perayaan terbaik?

Malam sebelum kuputuskan untuk kembali ke kotamu, aku berjalan mengelilingi kampung halamanku. Udara segar kuhirup dengan kerasnya hingga memenuhi rongga dadaku, saling bergantian begitu cepat. Cara lama, yang masih selalu kupakai, pula hal sama sering kau lakukan.

Memang kita hanya zat kecil di antara zat yang lebih besar, katamu. Sebuah sistem teratur dengan begitu sempurnanya dalam hidup kita. Rasa lapar, kenyang, senang, sedih, bangga, kecewa, bergantian sangat selaras. Entah siapa yang begitu lihai mengaturnya.

Pukul 23.47 WITA, suasana di kampungku sudah sangat sepi dan gelap. Orang-orang memilih mematikan lampu saat tidur. Entah untuk menghemat atau memang mereka menyukainya.

Sementara beberapa lampu jalan berdiri tegak tak berguna. Lampu yang hanya dapat hidup dengan cahaya surya itu jelas tidak berguna di cuaca mendung dan hujan begini.

Tetapi ini suasana yang sangat kusenangi selain menonton film di tempat sepi dan sendiri. Di sini aku dapat sepuasnya memandangi langit yang lapang. Menikmati suara jantungku berirama dengan begitu teratur. Sesekali aku bisa merasakan ada bisikan samar-samar terdengar dari kedalaman jiwaku.

Pada momen-momen seperti inilah sebuah puisi hadir di depanku. Bukan dalam bentuk kata-kata, melainkan dalam wujud nyata.

***

Malam itu, dengan sangat beraninya kuputuskan untuk kembali ke kotamu. Melihatnya sekali lagi sebelum dunia hanya akan tampak sebagai kekosongan demi kekosongan yang abadi.

Ya, bukan tidak mungkin, ini adalah keputusan terberat dan sia-sia. Menyusuri kembali masa lalu hanya akan membuatku membenci keadaan.

Aku ingat sekali, dulu ketika menulis sajak tentang kematian, aku hanya ingin melenyapkan ketakutanku pada ketiadaan; sebuah kepergian yang diyakini sebagai kepulangan sejati.

Aku menulis dengan bangga; seolah paham betul bagaimana kematian menyisakan kepedihan begitu luar biasanya. Kalaupun ingin mengubah alurnya, aku hanya perlu menulisnya dengan diksi sedikit menyenangkan.

Tetapi tidakkah sangat aneh jika demikian? Namun bagaimana lagi, manusia memang hanya pandai berkata-kata. Realitas sepenuhnya bukan kuasa manusia.

Seperti di kotamu kini, setiap hari aku berjalan menjelajahinya. Dengan atau tanpa kata-kata, kisah selalu terangkai dengan sangat sempurnanya di kepalaku.

Lagi pula apa pentingnya kata-kata itu? Bukankah kau pernah bilang bahwa bahkan tak ada satu pun kata-kata yang sepenuhnya mampu menggambarkan perasaan manusia? Kata-kata sangat terbatas untuk itu.

Kata-kata hanya saling dipertemukan satu sama lain demi satu kisah sempurna untuk diceritakan. Lalu, orang-orang akan meyakininya sebagai satu kebenaran. Mereka lupa kalau semuanya hanya kata-kata.

***

Kurasa enam tahun cukup lama bagiku bersahabat dengan kota ini. Aku berjalan menyusuri setiap sudutnya. Masih kuingat betul bagaimana tempat-tempat itu menghadirkan kenangan. Tempat para penyair melahirkan sajak-sajaknya, tempat puluhan pasang kekasih saling terikat dan melepaskan.

Enam tahun lebih dari cukup untuk mengubah kota ini. Namun, dari sekian perubahannya, tetap saja ada yang mengabadi. Aroma parfum One Million Paco Rabbana di badanmu yang masih kuingat.

Halaman selanjutnya >>>
Naspadina
Latest posts by Naspadina (see all)