
Kenapa menjelang 2014 serangan berupa SARA dan hoaks ke Jokowi begitu gencar padahal latar keagamaan Jokowi dan Prabowo kurang lebih sama, atau bahkan keluarga Prabowo lebih pluralis dilihat dari agama?
Nalar Warga – Seingat saya, menjelang Pilpres 2004 dan 2009, tidak banyak mobilisasi kontra-presiden seperti terjadi di CFD kemarin. Juga tidak ada hoaks yang berbau SARA.
Sementara menjelang Pilpres 2014 dan 2019 sekarang, fitnah yang berbau SARA begitu mengemuka. Mengapa beda?
Calon utama yang bersaing 2004 dan 2009 adalah Bu Mega dan Pak SBY. Latar sosial keagamaan keduanya relatif sama. Kubu SBY tidak menyerang kubu Mega dengan SARA, dan juga sebaliknya. Kontestasi berlangsung baik-baik saja.
Tapi kenapa menjelang 2014 serangan berupa SARA dan hoaks ke Jokowi begitu gencar padahal latar keagamaan Jokowi dan Prabowo kurang lebih sama, atau bahkan keluarga Prabowo lebih pluralis dilihat dari agama?
Satu jawaban hipotetis mungkin begini. Pertama, SBY, Mega, Wiranto, Amien Rais, Hamzah Haz di pilpres 2004 adalah elite-elite partai dan negara. Masing-masing ada perasaan sungkan untuk saling memfitnah.
Kedua, banyaknya calon juga lebih mengakomodasi dan mewakili keragaman kepentingan dalam kontestasi secara terbuka dan resmi. Sentimen kepentingan yang tersisih atau terpinggirkan relatif kecil. Kontestasi elite menjadi lebih terbuka, termasuk untuk elite yang bergerbong dan bermuatan SARA seperti partai-partai Islam.
Dengan begitu, mereka tidak membutuhkan SARA dan hoaks di belakang panggung. Itu 2004.
Di Pilpres 2009, persaingan elite terjadi antara SBY, Mega, dan Kalla. Mereka semua elite negara, pemimpin partai besar. Semua partai Islam mendukung SBY, incumbent yang sangat kuat. Kekuatan yang potensial menggunakan SARA sudah terakomodasi pada posisi yang kuat itu. Tidak ada urgensinya mereka bermain SARA dan hoaks.
Pada Pilpres 2014, dan mungkin 2019, kontestasi kurang terbuka, hanya ada 2 calon. Keragaman kepentingan hanya diwakili oleh dua calon. Kurang representatif. Akibatnya, yang kurang terwakili mesti berada dalam satu kubu calon. Mereka mencari berbagai cara untuk mengungkapkan sentimennya, termasuk hoaks dengan sentimen SARA.
Pada Pilpres 2014, jauh hari menjelang hari H, posisi Jokowi lebih kuat, dan kelompok yang lekat dengan sentimen agama berada pada kubu lawannya. Mereka ini yang kemungkinan menjadi agen kampanye SARA dan hoaks di kubu Prabowo yang posisinya terancam waktu itu. Akan lain ceritanya kalau posisi Prabowo lebih kuat.
Kesungkanan atau respect pada Jokowi tidak ada karena track record Jokowi sebelumnya bukan siapa-siapa. Jokowi hanya seorang pengusaha pengolahan kayu atau furniture. Beda dengan Mega, Wiranto, SBY, Prabowo, Amien, maupun Hamzah. Mereka semua sudah jadi elite negara ketika masuk ke arena kontestasi Pilpres.
Kesungkanan pada Jokowi rendah, meskipun ia Presiden sekarang. Karena Jokowi orang biasa, seperti orang Indonesia umumnya. Dia bukan jenderal, bukan ketua partai besar, bukan tokoh agama, bukan pengusaha besar, dan bukan pula anak kandung pendiri republik.
Lawannya bisa semena-mena karena latar belakangnya yang biasa itu. Mereka belum mampu mengubah cara berpikir bahwa orang biasa, bukan ningrat atau bukan pucuk elite, bisa jadi pemimpin nasional.
Dan kenyataan itu, mestinya, dilihat sebagai satu kemajuan sebuah bangsa di era modern sekarang.
___________________
Artikel Terkait:
- Mungkinkah Agnes Dapat Dipidana? - 28 Februari 2023
- Transformer - 6 Februari 2023
- Jalan Panjang Demokrasi Kita - 2 Februari 2023