
Kesantunan politik tidak berarti larut dalam ketidakhadiran ujaran dan tulisan bersifat korektif atau mengabaikan suara kritis.
Ingin tampil beken seperti aktivis ‘98? Hadirilah panggilan Presiden Jokowi! Memang, hanya sebagian kecil yang hadir. Mereka menunjukkan keterwakilan aktivis ‘98.
Daripada zona kelinglungan, mending aktivis ‘98 hadiri panggilan Presiden Jokowi. Mereka adalah salah satu bintang aktivis dilahirkan di negeri ini.
Tidak seperti biasanya, aktivis ‘98 menghadiri pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka. Siapa yang tidak riang menerima panggilan presiden? Jadi, undangan ‘istimewa’ itu agak sulit ditolak.
Rupanya panggilan negeri bagi aktivis ‘98 seiring panggilan Presiden Jokowi beberapa hari yang lalu.
Kita mencoba menghindari anggapan miring bahkan cemoohan dari sebagian pihak jika ada seseorang atau lebih menghadiri pertemuan dengan penguasa. Kita tidak hidup lagi di era kuasa “tangan besi,” kita hidup di era media sosial dan internet.
Saling mencurigai dan memusuhi justru menurunkan penilaian dunia terhadap Indonesia, yang dikenal sebagai bangsa peramah.
Buat apa kita sudah hancur-hancuran demi keyakinan akan hari-hari yang telah dilalui bermuara pada kondisi yang kita alami? Kita masing-masing berada dalam kondisi tertentu. Malahan kita tidak ingin ke titik nadir atau ke bayang-bayang masa yang sering diperbandingkan dengan masa kini.
Untuk itu, kita dan bersama aktivis ‘98 berupaya untuk mengejar masa depan. Tetapi, semuanya itu masih potongan gambar, di mana sebuah gambar yang diimpikan belum utuh; ia menjadi residu dari masa lalu. Suatu gambar tidak utuh dan murni tidak menjadi permasalahan.
Baca juga:
Diakui memang, dinamika kehidupan itu penting. Kita tinggal menjalani ingin ke mana kehidupan mengalir. Tidak jauh beda, aktivis ‘98, paling tidak pertemuannya dengan Presiden RI menjadi bagian dari biodata tambahan, akan menjadi jejak dan tanda baru yang akan dikenang oleh generasi berikutnya.
Dalam ruang terbuka, orang-orang menjajaki masa kini dengan wujud ideal, mekanis, dan dialektis menjadi kemungkinan pilihan dalam rentang waktu sekian dekade. Pilihan-pilihan ternyata terkondisikan terutama dalam kemendesakan. Apalagi jika masih ada celah dari sebuah tuntutan yang belum diajukan.
Bagi aktivis ‘98 bisa memilih salah satunya atau bahkan tidak ada sama sekali mimpi lain kecuali untuk sekadar bertahan hidup. Pertemuan lebih dari empat mata membahas proses pengisian ruang kosong dan juga terlalu penuh.
Hal apa saja yang masih kosong? Seperti keadilan dalam konflik agraria. Mafia tanah? Apa yang terlalu penuh? Satu di antaranya, ekonomi sembako di tengah inflasi menjulang, nyaris setiap hari dihadapi.
Disebutkan bahwa tema pembicaraan antara aktivis ‘98 dan Presiden Jokowi selama lebih sejam seputar kondisi terkini, seperti kondisi perekonomian dan ihwal agraria. Yang dibahas berarti nasib rakyat di ujung kuasa Jokowi, 2019-2024. (detik, 15/7/2022)
Atau terlalu penuh untuk ditanggapi di belakang meja atau deretan kursi pertemuan, yang seharusnya makin diisi penuh. Orang tidak mengetahui apa ini yang masih kosong dan apa itu yang terlalu penuh.
Jika tidak dikatakan oleh aktivis ‘98, dalam hal apa yang belum tercapai menjelang akhir pemerintahan Presiden Jokowi. Bahwa orang-orang di luar istana perlu memetakan, memilah, menganalisis, dan membedakan apa itu kondisi terkini dan sebelumnya.
Supaya tidak kosong kembali, aktivis ‘98 menyelesaikan pertanyaan yang belum terjawab. Itu tergantung bagaimana mereka hari ini merumuskan secara berbeda.
Halaman selanjutnya >>>
- Kesantunan Politik, dari Teks ke Panggilan - 8 Agustus 2022
- Si Penggoda, Nafsu, dan Tubuhku - 21 Juli 2022
- Satu Gurauan Politik dan Suguhan Metafora Bakal Terjadi di 2024 - 7 Juli 2022