Ketika Ideologi Kebencian Jadi Berhala

Ketika Ideologi Kebencian Jadi Berhala
©Reuters/Shannon Stapleton

Mereka gemar mengipasi kemarahan, dendam, kebencian, dan melakukan provokasi. Mereka hanya ingin menularkan ideologi kebencian dan permusuhan atas segala yang berada di luar identitas mereka.

Bakda subuh, terlintas lagi di pikiran tentang kegandrungan sebagian tokoh yang gemar menanamkan gambaran bahwa muslim di negeri ini terzalimi, didiskriminasi, dan lain sebagainya. Mereka menjadikan gambaran bahwa muslim di negeri ini tertindas sebagai propaganda dan bahkan bahan hasutan.

Hal itu tertanam ke benak umat yang memang sebagian besar masih awam urusan politik, intrik, dan hanya sami’na wa atho’na. Mereka juga menanamkan bayangan bahwa tak ada keinginan umat agama lain kecuali menghancurkan agama ini.

Bibit-bibit api sentimen (ideologi kebencian) tepercik lewat media-media sampai dengan media sosial, ceramah keagamaan, dan perbincangan sehari-hari. Hasilnya, umat muslim sebagian terjebak perasaan insecure, terus merasa terancam sampai terjebak perasaan benci, marah, hingga keinginan berperang.

Terbukti, saat ISIS naik daun, tak sedikit umat muslim di negeri ini memilih menceburkan diri ke dalam kancah perang yang mereka yakini akan mengantarkan ke surga. Mereka berangkat dengan segala cara untuk ke negara-negara yang sempat ISIS kuasai dan turut menghancurkan negara itu.

Itu bagian bukti betapa kegandrungan menanamkan pikiran negatif (ideologi kebencian) kepada umat hanya membuat mereka ingin menghancurkan; diri sendiri, orang lain, dan sekeliling.

Jika sekadar menghancurkan, lantas apa baiknya sebuah agama yang kita gadang-gadang sebagai agama terbaik? Padahal akan luar biasa sekali jika tokoh-tokoh agama membantu mengarahkan umat ke hal-hal positif dan membangun pikiran-pikiran eksplosif.

Sayangnya, yang sering sebagian tokoh agama lakukan itu adalah menanamkan perasaan dan sudut pandang yang bikin umat merasa insecure, selalu merasa sebagai korban, pesimistis, merasa kehilangan harapan. Padahal, pikiran-pikiran seperti itu hanya membuat umat terjebak perasaan marah dan energi-energi negatif lainnya. Mereka lalu tak bisa memunculkan sisi positif yang sejatinya Tuhan berikan di dalam diri mereka.

Hasilnya, saat ada umat beragama berbeda tampil dengan kelebihan yang mereka miliki, langsung menjadi sasaran untuk dimusuhi bersama, alih-alih menjadikan mereka sebagai teman belajar.

Baca juga:

Kalau saja pemuka agama sepakat melihat perbedaan agama bukan sebuah masalah yang harus kita takutkan, dan masing-masing umat bisa saling belajar, rasanya akan luar biasa impact yang bisa dihasilkan.

Sayangnya, ketika ada umat agama lain ingin berbagi kebaikan saja, mereka acap dicurigai ingin membawa mereka untuk pindah agama. Umat muslim, oleh tokoh-tokoh tadi, akhirnya hanya digiring menjadi umat gemar curiga, berburuk sangka, menolak belajar kepada yang berbeda. Hasilnya, tertinggal.

Kenapa tertinggal? Tak lain karena rasa takut, terancam, kedengkian, hingga tak bisa melihat lagi jalanan di mana saja yang mengantarkan mereka ke depan menguasai isi pikiran. Hasutan yang tertanam mempertebal iman, sementara kian rabun melihat mana jalan yang mestinya mereka tapaki.

Merujuk istilah Christianto Wibisono di bukunya, inilah gerhana hati nurani—yang juga menjadi judul buku tersebut.

Betapa negara sekelas AS saja juga terancam oleh pikiran-pikiran sejenis. Karena di sana hanya menggiring ke naluri primordial, primitif, SARA, rasial, sampai dengan hanya ingin memperjuangkan keinginan kelompok saja.

Ya, ada istilah “Tranzi”. Ini istilah yang sempat John Fonte yang memimpin Center for American Common Culture di Hudson Institute populerkan. Istilah Tranzi ini awalnya merujuk hanya ke otak intelektual di balik ideologi anti-AS sekaligus memicu terorisme.

Jauh sebelum Fonte, ada David Carr pada 2002 yang lebih dulu memaknai istilah Tranzi tersebut. Menurut pendapat itu, ada kelompok leftist marxist post-liberal yang mencari berhala baru sejak bangkrutnya komunisme.

Berhala itu tercipta untuk menyalurkan pikiran-pikiran mereka yang memang anti-individualisme, anti-demokrasi, dan anti-HAM. Ini yang belakangan makin merajalela saja di Indonesia, dan justru karena lewat pelbagai media dengan bungkus agama.

Halaman selanjutnya >>>
Zulfikar Akbar