Kiblat Lima Menit untuk Lima Tahun

Kiblat Lima Menit untuk Lima Tahun
©Anadolu Agency

Momen inilah yang menentukan kiblat pembangunan lima tahun ke depan.

Legitimasi kekuasaan bagi negara yang menganut sistem demokrasi adalah legitimasi dari mereka yang akan dipimpin yakni oleh rakyat sendiri. Hak penuh ada pada mereka (rakyat). Rakyatlah yang menjadi penentu siapa yang menjadi pemimpin mereka, siapa yang menjadi wakil mereka, siapa yang akan berbicara bagi dan tentang mereka.

Dan spasi bagi rakyat untuk menentukan pemimpin atau wakil mereka itu adalah pemilihan umum (pemilu). Pemilu menjadi organ demokrasi bagi rakyat untuk melegitimasikan kekuasaan mereka kepada para pemimpin atau wakil mereka dengan sistem mayoritas.

Tahun 2024 memiliki dua agenda akbar yakni pemilihan umum (pemilu) presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Dua agenda ini menjadikan suhu politik di akhir tahun 2022 hingga akhir 2024 makin panas. Pelbagai partai secara khusus calon-calon wakil rakyat dan juga calon pemimpin mulai melakukan manuver kepada rakyat.

Pluralitas gaya pendekatan mereka sungguh mempesona. Ada yang begitu tiba-tiba menjadi sangat ramah dan dekat dengan rakyat. Ada yang sungguh-sungguh menyembah rakyat. Ada yang mulai menyampaikan janji-janji yang sebenarnya sudah expire.

Dalam momen mendekat pemilu biasanya rakyat menjadi objek glorifikasi dari para calon wakil atau pemimpin. Rakyat dielu-elukan bagaikan Yesus dielu-elukan oleh orang-orang Israel ketika Ia memasuki kota Yerusalem. Dalam kerangka ini, kita harus hati-hati karena biasanya di balik “dielu-elukan” ada sebuah pengkhianatan.

Oleh karena itu, rakyat pun harus hati-hati dengan gaya “dielu-elukan” oleh para calon pemimpin. Aksi mengelu-elukan rakyat sesungguhnya merupakan aksi tidak tepat pada waktunya. Dalam kaca mata moral, tindakan yang dilakukan dengan semboyan “ada udang di balik batu” sesungguhnya merupakan tindakan yang tidak terpuji, sebuah tindakan infantisme.

Pemilu sebagai Spasi Evaluasi

Pemilihan umum (pemilu) merupakan unsur penting dalam demokrasi untuk menentukan keberlangsungan atau pergantian pemerintah di mana rakyat terlibat langsung untuk memilih wakil mereka di parlemen atau pemimpin nasional atau daerah.

Dalam konteks Indonesia, pemilu ini menjadi rutinitas lima tahunan. Dalam rutinitas ini di sana ada mekanisme atau sirkulasi pergantian pemimpin. Masyarakat dapat mempertahankan pemimpin yang ada apabila dipandang masih layak atau menggantikannya kalau ada alternatif lain yang dinilai lebih baik (Paul Budi Kleden:2013, 28).

Baca juga:

Dalam sirkulasi ini yang menjadi main actor dan main goal adalah rakyat. Oleh karena itu, kualitas dari sirkulasi pergantian pemimpin ini ditentukan rakyat. Dengan kata lain, kualitas pemilu ada di tangan rakyat.

Pemilu sebagai satu organ demokrasi seharusnya dipersiapkan. Melalui organ ini, rakyat memilih para wakil/pemimpinnya yang bertugas memikirkan dan mengakomodasi banyak kepentingan dalam program pembangunan yang bisa dijalankan, dikontrol dan dievaluasi.

Namun, pemilu bukan sekadar momen pemberian suara dan dukungan. Pemilu tidak hanya mewujudkan makna formal dari sebuah demokrasi yang berkenan dengan prosedur atau mekanisme pengambilan keputusan (Paul Budi Kleden:2013, 46 ).

Ketika orang hanya sampai pada tahap makna formal dari pemilu, maka sesungguhnya, pada saat yang sama, ia sedang memiskinkan makna demokrasi dan tidak membawa keuntungan bagi masyarakat. Dalam kerangka yang sama, ketika para politisi memandang pemilu hanya untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat, sesungguhnya ia hanyalah parasit demokrasi.

Momen pemilu sesungguhnya merupakan kairos. Hal ini karena pemilu menjadi spasi rahmat bagi rakyat untuk melakukan governmentevaluation. Rakyat harus melihat kinerja dari para wakil atau pemimpinnya yang telah dipercayakannya sebelumnya.

Dalam evaluasi ini, rakyat akan mempertimbangkan opsi mana yang harus diambil, kira-kira kriteria calon wakil/pemimpin yang mana, yang layak dan pantas menjadi pemimpin. Evaluasi ini harus dilakukan secara mendalam dan integral sehingga pilihan rakyat merupakan pilihan yang tepat dan berkualitas.

Ada sebuah bahaya besar ketika rakyat gagal melakukan evaluasi. Kegagalan ini akan mengerucut pada asal-asalan dalam memilih. Dengan demikian hasil dari pemilu pun akan asal-asalan, menghasilkan pemimpin yang asal-asalan dalam mengabdi kepada rakyat. Rakyat tidak boleh dengan mudah tergiur dengan pesona-pesona dari para kandidat yang hanya mengandalkan “doping politik” (politic money, isu-isu agama, ras, ayat-ayat kitab suci, hoax, gosip, black campaign dan lain-lain).

The Right Man On The Right Place

Romo Mangunwijaya ketika diwawancari oleh seorang wartawan tentang pendidikan di Indonesia, beliau memberikan suatu jawaban yang bernada pesimis tentang kualitas guru di Indonesia. Beliau menegaskan “Kita negara Indonesia memiliki banyak guru tetapi sedikit saja yang sungguh-sungguh menjadi guru”.

Halaman selanjutnya >>>
Paskalis Suba
Latest posts by Paskalis Suba (see all)