Konferensi Jurnalisme Agama: Reporting Religion in Asia

Konferensi Jurnalisme Agama: Reporting Religion in Asia
Foto: @KabarSEJUK

Ulasan PersPada tanggal 17-19 Oktober 2017, berlangsung konferensi tentang jurnalisme agama bertema Reporting Religion in Asia. Acara ini dihadiri oleh 50 wartawan (dalam dan luar negeri) dan 20 pakar komunikasi.

Seperti dilaporkan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), yang dibahas secara utama adalah bagaimana jurnalis seharusnya meliput agama dan kehidupan beragama di negara/daerahnya masing-masing.

“Kami menyadari sepenuhnya kalau jurnalis/media masih cenderung salah dalam meliput agama karena masalah yang kompleks, pelik, dan sensitif,” ungkap SEJUK dalam keterangan persnya, 20 Oktober 2017.

Acara ini sendiri merupakan kolaborasi antara Internasional Association of Religion Journalist (IARJ), SEJUK, dan Universitas Multimedia Nusantara. Acara dibuka dengan keynote Menteri Luar Negeri Retno L. Marsudi dan Duta Besar Denmark Rasmus Kristensen.

“Ibu Menlu menceritakan panjang lebar mengenai sepak-terjang Indonesia membangun dialog antar-agama di tingkat internasional, sehingga saat ini Indonesia sudah mengadakan 28 dialog dengan mitra luar negeri. Interfaith dialogue menjadi signature diplomacy Indonesia.”

Adapun jurnalis dari luar dan negeri dan Indonesia, mereka juga berbagi cerita bagaimana meliput masalah agama. Mereka ikut memberikan sumbangan dalam diskusi.

Di samping itu, sejumlah tokoh agama juga ikut menyampaikan kekecewaan mereka atas minimnya peliputan mengenai agama. Hanya kecuali kalau ada insiden, padahal masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis.

“Konferensi menjadi ajang untuk menunjukkan kepada dunia luar kerukunan kehidupan beragama di Indonesia. Satu mata acara adalah kunjungan ke Pesantren Darunnajah di Ulujami, Jakarta Selatan. Ia melihat sistem pendidikan pesantren modern dan perannya menanam nilai-nilai toleransi, cinta, dan damai yang hidup di Indonesia.”

Di hari terakhir, diskusi ini menghadirkan tema “Islam dan Demokrasi di Indonesia”. Pembicara oleh Yenny Wahid dari Nahdlatul Ulama, Abdul Mu’ti dari Muhammadiyah, dan Syafiq Hasyim dari Majelis Ulama Indonesia.

“Pembicara optimis, demokrasi akan berlanjut dan Islam memainkan peran penting untuk kelanjutan demokrasi di Indonesia.”

Beberapa kesimpulan dari agenda diskusi ini, di antaranya:

  1. Mengarusutamakan masalah agama dalam peliputan media sehari-hari, bukan hanya saat ada kejadian, agar media memberikan gambaran nilai-nilai dan ajaran agama yang hidup di negara atau daerah masing-masing dan membangun saling kenal dan saling pengertian antar komunitas yang berbeda agama. Kuncinya ada di tangan pengambil keputusan di redaksi.
  2. Media mengalokasikan sumber daya, meningkatkan keterampilan jurnalis meliput agama, mengadakan pelatihan atau pendidikan, sehingga laporan mereka dapat membangun rasa kebersamaan antara umat beragama. Saat ini praktis program pelatihan meliput agama tidak ada, atau sangat terbatas.
  3. Membantu tokoh agama atau lembaga agama berkomunikasi dengan media lebih baik agar pesan-pesan cinta dan perdamaian disampaikan kepada masyarakat luas.
  4. Melibatkan kalangan akademis atau universitas, terutama pakar komunikasi/jurnalisme. Merancang program pelatihan atau pendidikan di genre jurnalisme agama. Pakar komunikasi/jurnalisme dari UMN, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Padjadjaran menanggapi positif gagasan ini.
  5. Menjadikan Indonesia pusat pengembangan jurnalisme agama.

Sebagai tambahan, konferensi dengan tema ini adalah yang pertama kalinya di Asia. Peserta dari Indonesia dan Asia sepakat Indonesia adalah tempat yang ideal mengembangkan genre ini. Hal ini mengingat keragaman agama di Indonesia dan sejarah panjang pengalaman komunitas beragama hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Sumber: Siaran Pers SEJUK

___________________

Artikel Terkait: