Konflik Ideologi di Era Post-Ideologi

Konflik Ideologi di Era Post-Ideologi
©Medcom

Konfrontasi yang tiada henti terhadap Marxisme-Leninisme/Komunisme menjadi pertanda masih kentalnya konflik ideologi di Indonesia.

Memori kolektif bangsa Indonesia memang menyimpan suatu catatan yang buruk tentang komunisme. Sejarah mencatat sekaligus memvonis komunisme sebagai ideologi pemberontak, yang harus disingkirkan apabila kelamnya penghianatan 1948 dan 1965 tidak ingin lagi terulang.

Oleh karenanya, pemerintah dengan tanpa keraguan memasukkan larangan penyebaran komunisme, marxisme, dan leninisme di dalam muatan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang tepat pada Selasa, 6 Desember disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang.

Marxisme-Leninisme-Komunisme merupakan hal yang tabu di Indonesia. TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 menjadi keputusan hukum pertama yang melarang berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyebaran ajaran Marxis-Leninis juga Komunis.

Setelah kurang lebih enam dekade berlalu, sikap antipati dan konfrontatif terhadap ideologi yang dicetuskan filsuf Jerman Karl Marx ini masih belum usai. Pasal 188 ayat 1 KUHP yang baru saja disahkan membuktikannya. Ancaman yang menghantui para penyebar Marxisme- Leninisme/Komunisme adalah 4   tahun   penjara.

Marx   pernah   menulis   dalam Communist Manifesto “ada hantu berkeliaran di Eropa, yaitu hantu komunisme” sekarang, “ada hantu berkeliaran di Indonesia, yaitu hantu penjara 4 tahun karena komunisme”.

Ketakutan atau mungkin kebencian yang mendarah daging terhadap komunisme selalu dilegitimasi oleh klaim setia pada Pancasila. Marxisme-Leninisme/Komunisme dianggap sebagai paham yang kontradiktif dengan nilai-nilai luhur Pancasila, sebagaimana pendapat sebagian orang. Pendapat ini menurut saya tidaklah tepat dan menjadi konfirmasi dari ketidakpahaman orang yang berpendapat tersebut.

Secara historis, Marxisme muncul dari perkembangan intelektual sosialisme. Walaupun kita tidak bisa mengidentikkan Marxisme dan sosialisme, tetapi keduanya adalah paham yang memiliki hubungan ide yang tak terpisahkan. Saya berpendapat bahwasannya Marxisme adalah anak kandung dari sosialisme.

Ide sosialisme berpusat pada suatu semangat egalitarianisme (kesetaraan), sebagaimana yang dipaparkan Andrew Heywood dalam bukunya Ideologi Politik: Sebuah Pengantar. Karl Marx menjadi intelektual abad ke 19 yang menyumbangkan pikiran-pikiran tentang ekonomi dan masyarakat yang berdasarkan pada semangat kesetaraan dan keadilan sosial.

Baca juga:

Dalam konteks Pancasila, sila kelima dengan gamblang menegaskan ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ yang sarat akan nilai sosialisme. Para pendiri bangsa tidak segan-segan berpandangan sosialis, seperti Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Tidak berlebihan apabila saya menyimpulkan bahwa salah satu dasar dan sebab dari berdirinya Republik Indonesia adalah semangat sosialisme termasuk Marxisme.

Era Post-Ideologi: Matinya Ideologi

Konfrontasi yang tiada henti terhadap Marxisme-Leninisme/Komunisme sebagai ideologi, menjadi pertanda masih kentalnya konflik ideologi di Indonesia. Padahal, hemat saya, konflik yang bersumber dari perbedaan ideologis sudah tidak lagi relevan pada saat ini.

Saya meyakini bahwa saat ini, tepatnya pasca keruntuhan tembok Berlin dan Uni Soviet, kita sedang memasuki era pasca ideologi (post-ideologi). Pasca-ideologi adalah era dimana diskursus politik tidak lagi diwarnai oleh konfrontasi ideologis. Dengan kata lain, ideologi bukan lagi merupakan hal yang penting dalam wacana politik.

Era post-ideologi ini bisa ditafsirkan dengan beragam ide dan gagasan. Samuel Huntington seorang ilmuwan politik Harvard menafsirkannya sebagai era munculnya konflik atau benturan antar-peradaban (clash of civilization). Sedangkan ilmuwan politik dari Stanford Francis Fukuyama, menafsirkannya sebagai kemenangan bagi ekonomi kapitalisme dan demokrasi liberal barat.

Terlepas dari perbedaan gagasan dan kritik terhadap ide tersebut, kedua tesis ilmuwan politik itu merupakan sebuah pemikiran yang mengkonfirmasi berakhirnya era konflik ideologi dan munculnya era post-ideologis.

Saya tidak sependapat dengan Huntington maupun Fukuyama. Karena pendapat kedua intelektual tersebut tidak berpijak pada suatu realita yang memadai. Benturan peradaban Huntington adalah tesis yang mentah dengan simplifikasi yang membagi dunia menjadi barat dan non barat (islam) yang berkonflik. Sedangkan tesis Fukuyama dibantah oleh realita bahwa akhir sejarah dengan kemenangan demokrasi liberal belumlah terjadi. Bahkan demokrasi liberal di era pasca perang dingin di beberapa negara cenderung mengalami kemunduran (regresif).

Saya lebih meyakini bahwa konflik antar-ideologi diganti oleh suatu konflik kepentingan yang lebih dilatari oleh motivasi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan. Pragmatisme ekonomi lebih dominan daripada mempersoalkan apakah Anda liberal, konservatif, Sosialis atau bahkan komunis.

Dalam konteks ini, muatan materi tentang pelarangan ideologi Marxisme-Leninisme/Komunisme, terlebih apabila dibenturkan dengan Pancasila sebagai ideologi, sudah tidak lagi relevan. Paham-paham ideologi politik baik itu liberalisme, konservatisme, sosialisme bahkan fasisme dan komunisme tidak lagi dijadikan sebagai paham politik yang melatari kebijakan publik, tetapi hanya dijadikan sebagai suatu bahasan akademik terutama dalam diskursus ilmu sosial dan politik.

Kesimpulannya, untuk apa kemudian memasukkan unsur anti Marxisme dalam suatu produk undang-undang di saat ideologi sudah makin jauh ditinggalkan. Era post-ideologi ada era di mana ideologi telah mati dan tak berarti.

Baca juga:
Adrian Aulia Rahman
Latest posts by Adrian Aulia Rahman (see all)