Kontras Aksi Kekerasan Pada Perempuan Dan Anak Masih Marak

Dwi Septiana Alhinduan

Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan fenomena yang terus melanda masyarakat kita, seakan terdapat bayangan gelap yang membayangi sinar harapan akan masa depan yang lebih baik. Ketika kita berbicara tentang kekerasan ini, kita berbicara tentang luka yang tidak terlihat; seolah-olah setiap suara yang terbatuk menjadi bagian dari orkestra kesedihan yang terus memainkan lagunya tanpa henti. Dalam konteks ini, penting untuk kita memahami bagaimana kekerasan ini berkembang dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Satu sisi dari koin ini adalah kekerasan fisik—serangan yang dapat dengan mudah diamati, dari goresan yang tersisa di kulit hingga tangan yang terkilir. Namun, tidak kalah mengejutkannya, adalah kekerasan psikologis. Ini adalah racun diam yang dapat menghancurkan jiwa seseorang tanpa sehelai pun darah yang tertumpah. Ketika kita mempertimbangkan bahwa banyak perempuan dan anak mengalami bentuk-bentuk kekerasan ini, kita tidak hanya berbicara tentang individu; kita berbicara tentang generasi yang seolah-olah dicuri masa depannya.

Kekerasan di dalam rumah tangga, misalnya, adalah fenomena yang semakin marak. Ironisnya, tempat yang seharusnya menjadi pelindung dan ruang aman, sering kali berubah menjadi arena kekejaman. Perempuan yang seharusnya diperlakukan dengan cinta dan penghormatan, sering kali menjadi sasaran kemarahan yang tidak terarah. Kasus demi kasus muncul dalam catatan berita, namun angka-angka tersebut terkadang terlalu kabur untuk menyentuh hati kita. Dengan setiap laporan, semakin jelas bahwa masyarakat kita tengah berjuang melawan raksasa yang terlihat tak terhentikan.

Di tingkat masyarakat, terdapat keengganan untuk berbicara tentang masalah ini. Keterasingan ini menciptakan kesunyian yang bising. Keberanian untuk bersuara sering kali terdesak oleh rasa takut atau stigma sosial. Namun, sebelum stigma ini berakar lebih dalam, sangat penting bagi kita semua untuk mengangkat suara. Setiap laporan, setiap cerita yang dibagikan memiliki kekuatan untuk menciptakan gelombang perubahan. Seolah-olah, seperti setetes air yang jatuh ke dalam genangan, dapat menciptakan riak yang meluas.

Aksi-aksi seperti kampanye “Stop Kekerasan pada Perempuan dan Anak” dapat dianggap sebagai langkah-langkah ke arah perbaikan. Setiap spanduk yang diangkat, setiap poster yang dipasang, bukan sekadar alat komunikasi visual, namun juga simbol harapan. Namun, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita cukup mendengarkan suara perempuan dan anak-anak tersebut? Apakah kita mengikuti jejak langkah mereka, ataukah kita masih berada dalam bayang-bayang ketidakpedulian?

Kita perlu mengenal pola-pola yang mengarah pada kekerasan ini. Sebagian besar berasal dari ketidakadilan gender yang mendalam, dari norma-norma sosial yang mengakar, yang menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Ketika hak asasi manusia ini terabaikan, kejahatan semakin meningkat. Seolah-olah kita berdiam di tengah hutan belantara, di mana gerombolan serigala berkeliaran, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Dalam hal ini, edukasi memainkan peran penting. Dari usia dini, kita harus mengajarkan nilai-nilai saling menghormati dan empati. Hanya dengan cara ini, kita dapat mulai meruntuhkan tembok-tembok diskriminasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

Di samping itu, perlu adanya regulasi yang lebih ketat dalam bentuk hukum. Ketika perempuan dan anak-anak menjadi korban, mereka harus merasa aman untuk melapor. Sistem hukum kita perlu mengubah wajahnya agar lebih responsif terhadap korban. Hukum harus menjadi tameng, bukan senjata yang bisa digunakan melawan mereka. Mempertimbangkan betapa kompleksnya kemanusiaan, setiap kasus perlu ditangani dengan pendekatan yang lebih manusiawi, tanpa mengabaikan rasa keadilan.

Pada akhirnya, kita semua memiliki tanggung jawab dalam menyuarakan keprihatinan ini. Kehadiran berbagai platform sosial media dapat dimanfaatkan untuk menjangkau lebih banyak orang. Seperti halnya rapat-rapat kecil, tiap tweet atau status dapat memicu diskusi yang lebih luas. Keterlibatan masyarakat umum – tidak hanya mereka yang menjadi korban – sangat penting demi menciptakan kesadaran kolektif. Marilah kita bersatu, mengubah setiap tatapan kosong menjadi cetakan harapan bagi masa depan yang lebih baik.

Dalam perjalanan kita menuju masyarakat yang bebas dari kekerasan, penting untuk selalu mengingat bahwa setiap individu memiliki peran dalam mengubah keadaan. Setiap tindakan, sekecil apapun, dapat menggugah banyak hati untuk bertindak. Kekuatan ada pada kita, dan kita harus saling mendukung. Hanya dengan melangkah bersama, kita bisa menuntaskan kisah kelam ini dan menciptakan harmoni di tengah kebisingan. Kerapuhan manusia layaknya benang yang tersimpul, memerlukan kelembutan dan sentuhan untuk kembali pada bentuknya yang semula—menghadirkan keindahan dan keselamatan bagi setiap perempuan dan anak di negara ini.

Related Post

Leave a Comment