Di tengah maraknya dinamika sosial dan politik Indonesia, keberadaan gerakan mahasiswa seperti BEM SI dan Nusantara menawarkan sebuah harapan baru bagi kemajuan demokrasi dan partisipasi publik. Namun, di balik semangat itu tersimpan sebuah fenomena yang mengkhawatirkan: tingkat ketidakaktifan mahasiswa dalam membaca. Ini adalah ironi yang patut dikritik, terutama di kalangan generasi yang diharapkan untuk menjadi motor perubahan. Dalam artikel ini, kita akan mengupas fenomena ini serta menilai dan mendalami alasan di balik kecenderungan mahasiswa malas membaca.
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami konteks sosial dan lingkungan yang melahirkan gerakan mahasiswa saat ini. Mahasiswa merupakan agen perubahan yang diharapkan dapat mengarahkan arah bangsa. Namun, jika mereka tidak mengantongi pengetahuan yang cukup, bagaimana mungkin mereka dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam diskursus publik? Keterlibatan mahasiswa dalam membaca seharusnya menjadi basis utama untuk membangun argumen yang kuat dalam menyuarakan aspirasi masyarakat.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa membaca bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi juga sebuah bentuk investasi mental dan sosial. Ia membuka wawasan, memperdalam pemahaman, dan memperkaya pikiran. Di era digital saat ini, informasi melimpah ruah. Namun, kemudahan akses seringkali menjadikan mahasiswa terjebak dalam konsumsi informasi yang dangkal. Satu klik dapat membawa mereka ke dalam dunia tanpa batas, tetapi tanpa kemampuan untuk memilih dan memilah informasi yang relevan, hal ini justru menambah kebingungan. Akibatnya, mahasiswa terjebak dalam siklus malas membaca.
Kecenderungan malas membaca di kalangan mahasiswa bisa jadi berakar dari sistem pendidikan yang menekankan pada aspek praktis dan efisiensi. Dalam kurikulum yang cenderung mengejar target, mahasiswa dipaksa untuk mengikuti alur cepat yang sering kali mengesampingkan pembelajaran mendalam. Beban tugas yang menumpuk, ditambah dengan tekanan untuk berprestasi, menciptakan kondisi di mana membaca dianggap sebagai aktivitas yang memakan waktu. Ironisnya, mereka sering kali lebih memilih alternatif yang lebih instan, seperti video atau ringkasan, tanpa menyadari bahwa kedalaman pengetahuan hanya bisa dicapai melalui membaca.
Dalam konteks ini, peran organisasi mahasiswa menjadi krusial. BEM SI dan Nusantara, sebagai representasi mahasiswa, harus berfungsi bukan hanya sebagai penggerak keadilan sosial, tetapi juga sebagai pendorong kesadaran literasi. Mereka perlu memanfaatkan platform yang mereka miliki untuk mendorong kebiasaan membaca di kalangan mahasiswa. Kebijakan pembuatan program literasi, seminar, dan diskusi yang mengedepankan bacaan berkualitas bisa menjadi langkah awal yang signifikan. Mengajak mahasiswa untuk berbagi pendapat tentang buku, artikel, atau esai yang mereka baca dapat membentuk budaya diskusi yang konstruktif.
Selanjutnya, perlu dipahami bahwa fenomena malas membaca ini juga terkait erat dengan perkembangan teknologi dan gaya hidup modern. Mahasiswa sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial, terperosok dalam algoritma yang menyajikan informasi secara cepat namun tidak mendalam. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana informasi, seringkali menjebak penggunanya dalam pusaran informasi yang tidak akurat. Ketidakmampuan untuk beradaptasi, dalam hal memilih informasi yang berkualitas, dapat membentuk pola pikir yang sempit dan dangkal. Di sinilah, peran gerakan mahasiswa untuk edukasi dan pembentukan karakter sangat penting.
Melihat kondisi ini, penting untuk menciptakan ekosistem literasi yang mendukung. Sekolah dan universitas perlu berkolaborasi dengan organisasi mahasiswa untuk menyelenggarakan acara-acara berbasis literasi yang melibatkan pembicara dari berbagai latar belakang. Dengan memberikan akses kepada mahasiswa kepada literatur yang kaya dan beragam, diharapkan mereka dapat memperoleh perspektif baru serta memperkaya wawasan. Misalnya, mengundang penulis, akademisi, serta aktivis untuk berbagi pengalaman dan rekomendasi bacaan dapat membangkitkan semangat mahasiswa untuk membaca.
Namun, tantangan terbesar adalah mentransformasikan kebiasaan ini menjadi budaya yang berkelanjutan. Ini memerlukan kerja keras dari semua pihak. Mahasiswa perlu diajak untuk membangun rasa cinta terhadap membaca, bukan hanya sebagai kewajiban akademis, tetapi juga sebagai kebutuhan untuk pengembangan diri. Program-program berbasis membaca yang menyenangkan, misalnya klub book club atau tantangan membaca, bisa menjadi salah satu cara untuk mendorong mahasiswa mengeksplorasi dunia literasi lebih jauh.
Dengan demikian, kritik terhadap gerakan BEM SI dan Nusantara menjadi titik awal bagi mahasiswa untuk merenungkan peran mereka di masyarakat. Malas membaca bukan hanya soal ketidakmampuan untuk mengakses informasi, melainkan juga berkaitan dengan tanggung jawab moral sebagai generasi penerus. Mahasiswa harus menyadari bahwa membaca adalah jendela dunia yang tidak hanya membangun pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan kepemimpinan.
Kesimpulannya, fenomena malas membaca di kalangan mahasiswa harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Melalui kolaborasi, komitmen, serta inovasi dalam program literasi, gerakan mahasiswa seperti BEM SI dan Nusantara dapat menjadi pionir dalam menciptakan generasi yang kritis dan terdidik. Dengan demikian, masa depan bangsa tidak hanya bergantung pada tindakan kolektif, tetapi juga pada seberapa luas kita dapat menjangkau pengetahuan melalui membaca.






