Kudeta Merangkak Soeharto Di Balik Kemalangan Soekarno

Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan sejarah dan budaya, menyimpan beragam narasi tentang perjuangan politik dan kekuasaan. Salah satu episode yang paling menarik sekaligus kontroversial ialah kudeta yang dikenal sebagai “Kudeta Merangkak” Soeharto, yang tidak terlepas dari kemalangan Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri bagaimana kudeta ini terjadi, latar belakang timbulnya ketegangan antara Soeharto dan Soekarno, serta dampak yang dihasilkan dari peristiwa bersejarah ini bagi Indonesia.

Untuk memahami Kudeta Merangkak, kita harus melihat lebih dalam ke dalam konteks pada awal tahun 1960-an. Saat itu, situasi politik Indonesia berada di ambang kehancuran. Soekarno, yang dikenal dengan gaya kepemimpinan yang otoriter dan karismatik, mencoba untuk menghadapi tantangan dari berbagai arah, baik internal maupun eksternal. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi ekonomi yang semakin buruk, ditambah dengan ketegangan antara kelompok-kelompok politik, menciptakan suasana yang mendukung bagi kekuatan-kekuatan tertentu untuk melakukan perubahan.

Saat Soekarno mengumumkan kebijakan “Ekonomi Terpimpin”, banyak pihak yang merasa terpinggirkan. Taktik Soekarno untuk memfokuskan kekuasaannya berujung pada marginalisasi kelompok militer, termasuk Soeharto, yang tetap memiliki pengaruh besar di kalangan Angkatan Darat. Konsekuensinya, potensi kudeta semakin meningkat ketika kekhawatiran akan desain politik Soekarno muncul di tengah masyarakat dan militer. Friksi antara idealisme nasionalis dan pragmatisme militer semakin nyata.

Di tengah gelombang ketidakpuasan ini, Soeharto, jenderal yang dikenal cerdas dan pragmatis, mulai merencanakan strateginya. Ia memanfaatkan kekacauan politik dan perpecahan di kalangan partai-partai memperkuat posisinya. Memahami bahwa kekuatan militer adalah kunci untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, Soeharto membangun aliansi dengan pemimpin-pemimpin militer lainnya. Ia yakin, melalui pendekatan yang terencana dan terstruktur, ia bisa menggantikan Soekarno.

Kudeta itu tidak berlangsung dalam satu malam. Sebaliknya, ia merupakan proses yang berlangsung selama beberapa bulan, di mana Soeharto bermain akal dan strategi. Mulai dari menggalang dukungan, membangun narasi bahwa Soekarno telah gagal memimpin dan melemahkan negara, hingga memperkuat posisi Angkatan Darat. Semuanya dipersiapkan dengan sangat hati-hati. Dalam konteks ini, kemampuan Soeharto untuk membaca situasi, memahami kekuatan lawan, dan mempertimbangkan langkah-langkah selanjutnya menjadikannya tokoh yang tak bisa diremehkan.

Namun, kudeta mencapai puncaknya pada tahun 1965. Pada bulan September, Soeharto dan para jenderalnya meluncurkan operasi besar-besaran untuk meruntuhkan rezim Soekarno dan mengambil alih kekuasaan. Penggunaan propaganda menjadi alat utama dalam operasi ini. Narasi bahwa Soekarno telah dikompromikan oleh komunis digencarkan untuk membenarkan tindakan mereka. Dengan asumsi masyarakat mendukung tindakan tersebut sebagai langkah menyelamatkan negara, kampanye anti-komunisme pun menjadi senjata ampuh.

Setelah kudeta, Indonesia berubah drastis. Di balik revolusi yang diobarkan Soeharto, muncul apa yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru. Era baru ini ditandai oleh kestabilan politik dan pembangunan ekonomi, namun sekaligus diwarnai oleh pelanggaran hak asasi manusia yang masif. Ribuan orang yang dicurigai terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) diburu, ditangkap, dan dibunuh. Dalam konteks ini, kudeta Soeharto bukan sekadar pengalihan kekuasaan, melainkan sebuah tragedi yang membawa dampak mendalam bagi masyarakat.

Penting untuk mencermati bagaimana narasi ini terbangun. Dalam hitungan tahun, Soekarno, yang dulunya adalah lambang perjuangan kemerdekaan, berubah menjadi sosok yang disalahkan atas segala kegagalan. Perubahan ini mengisyaratkan bahwa dalam politik, tidak ada yang abadi. Sebuah rezim bisa runtuh di saat masyarakat mulai tidak percaya pada pemimpinnya. Dan bagi Indonesia, pelajaran ini sangat berharga, terutama dalam konteks pengelolaan kepemimpinan dan hubungan antara militer dan sipil.

Hari ini, ketika kita mengenang Kudeta Merangkak Soeharto, kita dihadapkan pada banyak pertanyaan. Apakah sosok Soeharto sebagai Presiden membawa kesejahteraan? Apakah cara yang ditempuhnya sah dan dapat dibenarkan dalam konteks moral? Dan bagaimana kita bisa memetik pelajaran dari masa lalu untuk membina masa depan Indonesia yang lebih baik? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting untuk kita melihat sejarah secara komprehensif—sebagai cermin bagi langkah kita ke depan.

Keberlanjutan konflik, pertarungan ideologi, dan tantangan ekonomi di Indonesia bukanlah sekadar kisah lama. Mereka adalah pengingat akan komitmen untuk memperjuangkan demokrasi yang tulus dan adil. Seiring waktu, kesadaran historis ini akan menjadi landasan bagi generasi mendatang, untuk tidak hanya mengingat, tetapi juga belajar dari setiap kedalaman peristiwa yang telah membentuk negara ini.

Related Post

Leave a Comment