
Jejak Rumah Banjar
Rapuhnya papan itu
Tidak menggambarkan semenanjung, tuanya dirimu
Dan putih kusut masai rambutmu
Jalan kita bagai anjungan dua
Menengadah antara harapan dan doa
Menghamba pada Tuhan pemberi rencana
Sang penguat peradaban
Sang Al-jabbar pada kerapuhan
Tiang-tiang ganjil pertanda
Bahwa budaya semakin terkucilkan
Anak cucu kita tak nampak lagi berlarian
Dari landainya penampik dan palidangan
Serambi itu terbilang kokoh
Ada sejarah dalam hikayat induk batang,
Mengapa dia tak rubuh
Karena tempat ini saksi engkau, Luh!
Yang dulu lahir dari kasih Uma
Yang dulu tumbuh dari peluh Abah
Dan rumah kita pun sunyi
Menyisakan kicauan deret ayunan tapi bahalai
Saat kau dipukung dan pulas bermimpi
Diantarkan nyanyian sholawat dari nenekmu
Nak, jikalau kau sudah memasang pakaian kerajaan dari tubuhmu
Jangan lupakan rumah kita,
Tempat yang menopang keluh kesah
Sampai tiang-tiang itu tak retak dimakan usia
Yulan yalain, yulan yalain
Entah lagu itu masih didendangkan
Dari suara parau Uma,
Dari geriaknya sungai kuning belakang rumah kita
Senja Kuning
Berikan anakmu sepucuk nasihat
Kala azan berkumandang melengking tinggi
Di peraduan setumpuk tangan manusiawi
Ada bisikan rayuan yang membayangi
Kampungmu menjelma rinai gulita
Harum setanggi daun rumbia
Atau sisa matahari mendekam riak gulma
Menyisakan pemandangan anak-anak kecil di sana
Melemparkan sauh dangkal ail ke tengah keruhnya air mata
Tuh! Jangan memandang senja kuning!!
Umak memekik menarik telapak kecil
Ringkih tubuhmu, berbalut helaan risau
Mana? dia tak melihat burung gagak bernyanyi
Di senja hari, di malam hari
Selimut yang membalut tubuh luka
Menggigil mendekap nasib angkara
Di rumah lantingmu yang bergoyang
Hilir-mudik perahu mesin menikam yang ada
Lenguhnya di kemudian hari
Tiada sesuap nasi yang mengiringi
Ke mulut pucat anakmu, harta berhargamu
Ketiadaanmu di kemudian hari
Kepadamu, Ritus Meratus
Kita tidak dapat menciptakan bukit-bukit yang tinggi
Namun setidaknya kita masih bisa menjaga agar nama Meratus itu tetap ada
Kita tidak dapat membentangkan sungai amandit menjadi lautan dalam
Namun kita masih bisa menjaga kejernihannya agar ia tetap mengalir damai
Kita tidak bisa menjadi balian yang katanya bisa bercakap dengan Tuhan
Namun sudi kiranya kita menjaga tradisi leluhur agar tak tergerus zaman
Burung Haruai bersauh
Ritus hutan yang melepuh
Padang batung mawangi
Kita mendaki menuju hutan tertinggi
Kepadamu Meratus,
Ada akar pohon jangang menggantung wasiat para pendahulu kami
Jatuhnya air di haratai dan riam hanai kerap menjadi saksi
Lemahnya tubuh-tubuh ini, yang semestinya mencekam hulu api
Dan suara musik kurung-kurung terdengar pecah membumi
Teruslah berkaca; Nang! Luh!
Bukalah semua tabir lentera
Kau akan menjadi pelita penjaga jiwa
Tak kenal henti menganyam ombak sinapur karang
Menyelami hulu banyu lingkaran gelang simpai
Suatu hari kita hapus dogma bersama
Dan cukuplah tawa menjadi penengahnya
*Arief Rahman Heriansyah, Mahasiswa Studi Disabilitas dan Pendidikan Inklusi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
___________________
*Klik di sini untuk membaca sajak-sajak lainnya.
- Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi - 28 Februari 2023
- Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar - 23 Februari 2023
- Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal - 22 Februari 2023