
Nalar Politik – Fadli Zon menyebut kunjungan Wantimpres Yahya Staquf ke Israel kontrapoduktif. Dalam Catatan Fadli Zon, ia menegaskan, kunjungan tersebut berlawanan dengan agenda Indonesia yang berkomitmen mendukung kemerdekaan Palestina.
“Kunjungan Wantimpres Yahya Staquf ke Israel, selain mencederai reputasi politik luar negeri Indonesia di mata internasional, juga melukai rakyat Palestina. Selain itu, bisa melanggar konstitusi dan UU No.37/1999 tentang hubungan Luar Negeri,” tulis Fadli Zon dalam Catatan-nya, Kamis (14/6/2018).
Di samping itu, kunjungan tersebut juga dinilai Fadli Zon punya kecatatan moral. Kunjungannya tidak menunjukkan sikap sensitivitas.
“Selain bermasalah secara prosedural, saya melihat kunjungan Wantimpres Yahya Staquf ke Israel juga mengandung cacat moral. Di tengah agresivitas serangan Israel ke Palestina belakangan ini, ironis jika ada pejabat negara Indonesia berkunjung ke Israel. Kunjungan tersebut jelas menunjukkan sikap yang sangat tak sensitif.”
Lihat: Yahya Cholil Staquf: Saya ke Israel atas nama Kegelisahan dan Kesedihan
Berikut ini Catatan Fadli Zon bertajuk Kunjungan Wantimpres Yahya Staquf Kontrapoduktif dengan Agenda Indonesia Mendukung Kemerdekaan Palestina; dipublikasikan di akun Twitter-nya @fadlizon.
______________
Kehadiran Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang baru saja dilantik, Yahya Cholil Staquf, dalam konferensi tahunan Forum Global AJC (Komite Yahudi Amerika) yang digelar di Yerusalem selama 10-13 Juni 2018, melukai Palestina.
Kunjungan Wantimpres Yahya Staquf ke Israel kontrapoduktif dengan sikap politik luar negeri Indonesia yang sejak 1947 konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. Kunjungan anggota Wantimpres ini juga bisa melanggar konstitusi dan UU No.37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Dalam konstitusi kita, tertulis tegas penentangan segala bentuk penjajahan. Dan Israel, berdasarkan serangkaian Resolusi yang dikeluarkan PBB, merupakan negara yang telah melakukan banyak pelanggaran kemanusiaan terhadap Palestina.
Mulai dari Resolusi 181 tahun 1947 tentang pembagian wilayah Palestina dan Israel, Resolusi 2253 tahun 1967 tentang upaya Israel mengubah status Yerusalem, Resolusi 3379 tentang Zionisme tahun 1975, Resolusi 4321 tahun 1988 tentang pendudukan Israel dalam peristiwa intifada, dan sejumlah resolusi lainnya baru-baru ini.
Berdasarkan catatan statistik otoritas Palestina, sejak tahun 2000 hingga Februari 2017, sebanyak 2069 anak Palestina tewas akibat serangan Israel. Bahkan pada serangan Israel ke Yerusalem Timur dan Tepi Barat pada 2014, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Office for the Coordination of Humanitarian Affairs/OCHA) menyatakan serangan tersebut mengakibatkan kematian warga sipil tertinggi sejak 1967.
Lihat juga: Gus Yahya, Israel, dan Palestina
Dari laporan OCHA tahun 2014 yang berjudul Fragmented Lives, menyebutkan bahwa akibat okupasi Israel di Jalur Gaza, terdapat 1,8 juta warga Palestina menghadapi peningkatan permusuhan paling buruk sejak 1967 dengan lebih dari 1.500 warga sipil terbunuh, lebih dari 11.000 orang terluka, dan 100.000 orang terlantar.
Laporan tahun 2017 pun menunjukkan situasi tak berubah. Akibat agresivitas Israel, terdapat 2,8 juta warga Palestina yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan kemanusiaan.
Inilah yang mendasari sikap konstitusi kita, di mana secara de facto dan de jure, Indonesia tidak mengakui keberadaan Israel. Sehingga kunjungan Wantimpres Yahya Staquf ke Israel, selain bertentangan dengan konstitusi, rentan ditafsirkan sebagai simbol pengakuan pejabat negara Indonesia secara de facto atas keberadaan Israel.
Ini sangat berbahaya dan memprihatinkan. Lebih jauh, kunjungan Staquf juga kontraproduktif bagi agenda diplomasi Indonesia yang selama ini konsisten membela Palestina.
Pembelaan Staquf yang mengklaim kunjungannya dalam kapasitas pribadi, jelas tak dapat diterima. Staquf adalah penasihat Presiden, anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Posisinya setingkat menteri yang berarti juga pejabat negara. Dan jabatan tersebut selalu melekat, tak bisa dipisahkan.
Artinya, sebagai pejabat negara, sikap politik luar negerinya harus tunduk pada konstitusi dan UU No.37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Tak boleh keluar dari koridor tersebut.
Selain bermasalah secara prosedural, saya melihat kunjungan Wantimpres Yahya Staquf ke Israel juga mengandung cacat moral. Di tengah agresivitas serangan Israel ke Palestina belakangan ini, ironis jika ada pejabat negara Indonesia berkunjung ke Israel. Kunjungan tersebut jelas menunjukkan sikap yang sangat tak sensitif.
Lihat juga: I am Standing for KH Yahya Staquf
Selain itu, ironisnya lagi, kunjungan Staquf juga bisa dinilai oleh dunia internasional sebagai justifikasi simbolis dukungan pejabat negara Indonesia terhadap tindakan Israel selama ini.
Mengingat sikap politik luar negeri Indonesia yang konsisten mendukung kemerdekaan Palestina, kehadiran Staquf di Israel sangat tidak konstruktif, bahkan kontraproduktif. Apalagi jika kita perhatikan pembicaraan Yahya Staquf di Forum Global ACC, tak da pernyataan Staquf yang menyiratkan dukungan terhadap Palestina.
Bahkan dari video yang beredar, tak ada kata Palestina dalam pernyataan Staquf. Apakah ini menandai sikap polugri Indonesia yang sudah meninggalkan prinsip bebas aktifnya? Atau telah mengubah kebijakan terhadap Israel?
Karena itu, sangat penting bagi pihak pemerintah untuk memberikan klarifikasi sekaligus teguran terhadap kunjungan Wantimpres Yahya Staquf, yang menyandang status sebagai pejabat negara.
Dr. Fadli Zon, S.S., M.Sc.
Wakil Ketua DPR RI Bidang Korpolkam
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
- Ravindra Airlangga Ajak Petani dan Pelaku UMKM Bogor Berorientasi Ekspor - 1 Oktober 2023
- 42 Persen Pendukung Gerakan 212 Memilih Anies - 30 September 2023
- Jika Pasangan Amin Maju, Hanya 16,5 Persen Warga Akan Memilih - 22 September 2023