
Pernah suatu hari di mana aku tahu diri. Mencoba menyiapkan strategi untuk mengatur jarak sejauh mungkin darimu. Yah… Sampai saat ini aku berhasil. Walau sekalipun aku tak pernah bahagia menikmatinya.
Pernah hari di mana aku ingin mengucap bait terima kasih atas doa yang kamu tuliskan untukku. Tapi ada rasa sakit di dalamnya ketika doa yang kau berikan terdengar berbeda dari yang dulu. Saat itu aku sadar aku bukan siapa-siapa lagi. Sampai pada akhirnya aku tak pernah berani lagi menghubungimu.
Pernah hari di mana aku merasa lelah dan sesak. Saat itu aku mencoba berani menagih janjimu dulu. Untuk menemani perjuanganku. Tapi aku merasa terlalu lancang. Lalu aku berusaha menguatkan diri sendiri. Menyadari mungkin kamu telah lupa.
Aku belajar banyak hal. Salah satunya menunggumu untuk menanyakan kabarku. Apa aku baik-baik saja? Tapi aku juga belajar untuk tidak terlalu berharap. Sampai aku mengerti tidak sepantasnya lagi aku berharap lebih darimu. Apa pun itu bentuknya. Siang adalah masa dimana aku menyibukkan diri dari hal yang membuatku ingat padamu. Dan malam adalah masa dimana aku membenci diriku yang teramat merindu padamu.
Pernah di mana aku ingin mengetik pesan untukmu. Untuk bilang “aku rindu”. Berkali-kali aku mengetiknya baik panjang maupun pendek. Tapi berkali-kali pun aku menghapusnya. Aku sama sekali tidak punya keberanian untuk mengusikmu waktumu.
Pernah di mana sampai sekarang aku mencari tahu tentangmu. Baik lewat media social maupun untuk memastikan kamu baik-baik saja. Walau terkadang ada beberapa hal yang membuat air mataku jatuh dengan mudahnya dan diam-diam hati ini perih. Sudahlah tidak penting.
Perasaanku biar menjadi urusanku. Bukankah sakit atau tidaknya bukan menjadi kekhawatiranmu lagi? Tapi untunglah sejauh ini kau sedang berbahagia. Di mana pun kamu. Berbahagialah… Dengan siapa pun kamu. Berbahagialah… Aku akan turut bahagia. Dalam rindu yang berjarak ini aku titip doa pada Tuhan untuk selalu menjagamu. Dalam diam ini rindu tak pernah memahami.
Sabda Kerinduan
Malam merambat pelan dalam kesunyian yang seakan abadi. Dingin menelusup melalui sela-sela dedaunan yang merimbun bergoyang tertiup angin. Dingin memang terasa beku menusuk tulang. Sayup-sayup terdengar nyanyian “Toe cahir daku nai”
Kumasih terduduk termangu di sini di tepi pembaringan di kamarku. Kutengok jam mungil yang tersandar pasrah di depanku. Pukul 23. 58. belum terlalu larut sebetulnya. Tetapi sunyi terasa mencengkeramku dalam dunia asing yang seakan senyap.
Aku tak tahu apa yang salah sebenarnya. Hanya saja aku merasa tak dapat tidur malam ini. Entah kenapa. Ada bayang-bayang rindu yang begitu menggeletar gelisah menampar nuraniku. Ah, rindu. Sebuah kata yang manis sebetulnya. Dan seharusnya menjadikan duniaku penuh warna dengan kerinduan-kerinduan yang romantis.
Rinduku, mengantarkanku pada sosok indah seseorang yang kutemui beberapa waktu lalu. Kau begitu indahnya, hingga aku seakan tak menemukan sesuatu yang salah pada bayangmu. Keramahan, aura keikhlasan dan ketulusan yang terpancar bening dari wajahmu. Ah,… mungkin inilah ketertarikan itu. Yach, ketertarikanku padamu. Entah dalam rasa apa aku tertarik padamu. Sekedar tertarik, mengagumimu, atau bahkan aku mencintaimu?
Aku tak tahu. Aklu terlalu bodoh untuk mengeja setiap ketertarikan ini menjadi uraian perasaan yang bisa dijabarkan. Segalanya terasa sangat abstrak. Tak terlukiskan. Membingungkan. Memusingkan. Tapi di satu sisi indah mendebarkan. Kucoba mengahdirkanmu. Menerawang senyummu.
Melukis raut wajah denagn pancaran aura yang penuh keramahtamahan. Ah, semua itu memang ada padamu. Mungkinkan aku terlalu melankolis. Bahkan mungkin mengada-ada. Berharap kamu menyapa aku. Berharap aku bisa sekedar bicara padamu meski hanya sepatah kata,”Apa kabar.”
Ah, lagi-lagi itu hanya pengharapanku. Tapi jujur kuakui, kau begitu ramah di mataku. Senyummu itu. Memberikan rasa senang ketika aku memandang kamu tersenyum.
Aku tak tahu. Dari mana rasa ini berawal. Dan memang sepertinya aku tak mau tahu. Yang aku tahu aku menjadi begitu ingin setiap hari melihat senyum itu. Senyumanmu. Senyum yang penuh pesona. Senyum yang membuat hati ini terasa berada pada sebuah tempat.
Mungkin bukan di dunia ini. Ataukah mungkin di surga? Sebuah tempat yang penuh damai. Penuh cinta. Dan penuh kasih. Ah, memang senyuman mampu menghantarkan perasaan melambung entah ke belahan dunia mana. Dan itu adalah senyumanmu.
Kerinduan ini menjadi semakin menebal. Seiring malam mengantar kesunyian menjemput dini hari. Perlahan namun pasti berarak menepi. Toe cahir daku nai lagunya Nan Ranu mengalun perlahan mengisi sunyi malam. Dari siaran salah satu radio yang menyajikan musik-musik lembut penghantar istirahat.
Kerinduan ini. Kutujukan padamu, wahai sesosok raga yang mengguncang mimpi-mimpi tidur malamku. Kuterbangkan bersama suara-suara serangga malam, agar sampai kepadamu. Kepada sososk yang menghadirkan debar rasa asing namun indah dalam denyut hariku.
Kerinduan ini, mengisi langit malamku dengan sejuta keresahanku. Juga dengan sejumput do’a agar esok aku masih bisa menatap mentari. Mengarungi hari dan bersua denganmu. Pemilik senyuman indah. Seindah fajar pagi hari yang merekah jingga di timur cakrawala.
Aku merindukan itu. Merindukan mentari pagi menyapa bumi. Merindukan embun pagi yang menggantung laksana kristal pada pucuk-pucuk daun. Merindukan hawa sejuk segar udara pagi. Ah, aku merindukan semuanya. Dan pastinya aku merindukanmu. Senyumanmu.
Beranjak menepi, jarum jam berputar membawa waktu semakin merapat ke ujung hari. Purnama di atas cakrawala terang bersinar menyiram bumi dengan cahaya lembut keperakan. Aku bias pastikan. Kamu telah lelap memeluk mimpi. Mimpi-mimpi indahmu. Tentang aku kah salah satu episode mimpimu? Ah, aku ingin tertawa membayangkan itu.
Aku rasa tak mungkin kamu bermimpi tentang aku. Tetapi bagiku tak mengapa. Biarlah aku saja yang bermimpi tentang kamu. Tentang sosokmu. Dan yang pasti tentang senyummu. Karena di situlah daya tarikmu. Di situlah aku terperangkap. Dalam senyum di wajahmu.
Yah, aku terperangkap.
Terperangkap dalam angan dan khayal tentang kamu lewat senyumanmu itu. Tahukah kamu? Please, release me. Bebaskan aku. Bebaskan aku dari perasaan tak tenang ini. Karena kamu. Seperti juga lagu yang mengalun sendu dalam kamarku malam ini. Entah suara siapa yang mengantarkan lagu itu sampai ke telingaku. Merdu mendayu, sekaligus sendu.
Pukul 00.30 tepat. Masih sempat mataku menatap jam dinding mungil yang tersandar sunyi di kamarku. Ah, tidak lelahkah engkau wahai jarum jam yang berputar tanpa henti. Seandainya kamu bisa cerita, aku ingin tahu cerita apa yang akan kamu sampaikan. Apakah kamu akan bercerita bahwa kamu menyesal karena tercipta menjadi sebuah jarum jam. Yang selama hidup kamu harus terus bergerak dalam irama yang tetap.
Ah, mungkin kamu tidak menyesal. Bahkan mungkin kamu akan bercerita dengan bangganya, karena kamulah maka dunia tahu tentang waktu. Bukankah waktu amat sangat berharga. Bahkan dalam sebuah kitab suci Tuhan bersumpah dengan menggunakan demi waktu. Ah, waktu. Kamu memang tak terlihat. Tapi kamu bisa terbaca. Bahkan kamu bisa menjawab semua pertanyaan yang tak bisa terjawab.
Bukankah banyak orang yang putus asa menunggu jawaban, akhirnya hanya mampu mengatakan biarlah waktu yang menjawabnya.Seperti juga pertanyaanku saat ini. Aku tak ingin jawaban. Aku hanya ingin tahu, apakah waktu akan terus menumbuhkan segenap perasaan ini. Perasaan rindu yang tertuju padamu. Pada sosok yang menghisap segenap kerinduanku yang masih ada. Ah, lagi-lagi waktu yang akan berperan atas rasa ini.
- Ketika Para Seniman Masuk dalam Panggung Politik - 28 Juni 2023
- Tentang si Enu dari Kutub Utara - 2 Februari 2023
- Kata Hati - 22 Januari 2023