Laki-Laki dalam Patriarki

Patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial yang bisa muncul karena persepsi produktif dan reproduktif terhadap perempuan dan laki-laki.

Dalam buku “Perempuan, Masyarakat Patriarki & Kesetaraan Gender” oleh Lusia Palulungan dkk, dalam sistem budaya dan sosial sebagian besar masyarakat Indonesia, perempuan dipersepsikan dan ditempatkan semata-mata berfungsi reproduktif.

Dari persepsi tersebut, perempuan dianggap hanya bisa berada di rumah untuk melanjutkan keturunan dan mengasuh anak sekaligus mengerjakan pekerjaan rumah yang dikategorikan sebagai pekerjaan domestik yang hanya bisa dibebankan atau dilakukan oleh perempuan.

Sementara itu, laki-laki dipersepsikan dan ditempatkan berfungsi produktif, sebagai pencari nafkah di ruang publik yang dianggap bertanggung jawab penuh terhadap keberlangsungan rumah tangga.

Sebagai pencari nafkah dan kepala rumah tangga, laki-laki menyandang status sebagai bapak di dalam keluarga, yang tak jarang ditempatkan sebagai penguasa di dalam keluarga. Budaya patriarki seperti ini tidak hanya berhenti di dalam keluarga atau rumah, namun juga menjadi budaya masyarakat dan bernegara.

Budaya ini tersosialisasi dalam masyarakat karena mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan, baik agama maupun bernegara. Tak hanya menutup partisipasi perempuan di ruang publik, tetapi juga menyebabkan lahirnya berbagai tindakan diskriminasi dan dan ketidakadilan gender terhadap perempuan.

Suatu sore, di Kota Manado, saya diajak seorang teman untuk minum kopi dan menghabiskan berbatang-batang rokok sambil menikmati keindahan pantai di akhir pekan. Suasana pun makin membuat kami berpikir dan berdiskusi tentang masa depan. Mulai dari pekerjaan, percintaan, hingga investasi.

Karena teman saya sebentar lagi akan menikah pada satu kesempatan, pembahasan kami terfokus pada investasi. Sempat menyebut beberapa produk investasi dan akhirnya terbitlah ucapan mengenai rumah.

Baca juga:

Teman saya mengatakan bahwa sudah saatnya dia berpikir untuk mulai mengumpulkan uang muka rumah selayaknya seorang lelaki harus memikirkan persiapan rumah jika nanti menikah. Sempat terucap olehnya dalam dialog Manado: “Ngana qwa sedap boleh kase abis doi for kasana kamari mendaki ato ba pontar kamana, nda perlu ba pikir for beli rumah,karna  ngana kan belum ada pasangan.

Itu merupakan kalimat menyinggung sekaligus motivasi buat saya, agar secepatnya memiliki pasangan dan menjalani hubungan yang lebih serius.

Saya pun tidak langsung merespons dengan marah layaknya seorang radikal. Saya mencoba memancingnya untuk berpikir: “Sadarkah kita bahwa hal tersebut merupakan tuntutan sosial yang diciptakan oleh masyarakat sendiri padahal laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja?”

Kemudian dia juga mengungkapkan hal yang sama. Mengapa laki-laki seolah-olah mendapatkan tekanan lebih secara ekonomi dan posisi kekuasaan?

Saya kemudian memperkenalkan istilah “patriarki” yang menghasilkan tekanan aneh tersebut. Dan lihatlah bahwa patriarki tak melulu merugikan perempuan sebagai pihak yang diklaim inferior. Nyatanya kaum superior pun merasakan hal yang sama.

Mengenai rumah, siapa pun berhak untuk mempunyai rumah selaku bagian dari kebutuhan primer manusia bukan karena jenis kelaminnya. Setiap manusia tentunya ingin memiliki tempat tinggal. Dan sampai hari ini saya belum pernah menemukan brosur kredit rumah yang menuliskan syarat “Pemilik harus laki-laki”.

Sesungguhnya patriarki menjadi alat penekan bagi para laki-laki lajang yang juga masih berjuang untuk membayar sewa kamar, tagihan kartu kredit, cicilan motor, makan, dan nongkrong akhir pekan, ditambah pula dengan tekanan mempunyai rumah sebelum menikah. Jika memang niat memiliki rumah datang dari kesadaran pribadi, tentunya sangat baik. Akan tetapi betapa malangnya jika keinginan itu muncul dari tekanan sosial keluarga ataupun pacar.

Di lain pihak, di media sosial banyak sekali meme yang kurang lebih menyatakan bahwa laki-laki harus mampu secara finansial supaya perempuan dapat menikmatinya untuk berbelanja. Para perempuan pun dengan semangat menyebarkan meme tersebut.

Baca juga:

Mungkin memotivasi para lelaki untuk bekerja lebih keras karena katanya gaji perempuan sendiri tidak akan pernah cukup bila hasrat berbelanja itu muncul. Perempuan dianalogikan sebagai makhluk penyedot uang dan penagih jalan-jalan padahal para perempuan juga mampu membeli barang impiannya dengan uang sendiri dan jalan-jalan dengan biaya pribadi.

Lihatlah bahwa patriarki memunculkan banyak tekanan dan standar sehingga sebagai manusia tidak perlu kita tambahi dengan tuntutan ini-itu. Segala sesuatu bisa dinegosiasikan dan disepakati, silakan berbagi peran dan tak perlu saling menekan atau menyalahkan.

Jika ingin setara, maka perlakukanlah laki-laki dan perempuan sama baiknya seperti halnya ketika berbagi peran untuk membayar tiket bioskop dan makan malam di akhir pekan. Bayarlah karena Anda memang mempunyai uang dan niat untuk mentraktir pasangan atau teman bukan karena tekanan patriarki.

Ini bukan lagi tentang kesetaraan gender, tapi ini tentang bagaimana kita memosisikan diri kita tergantung pada situasi sosial dan ekonomi.

Ketahuilah bahwa harmonisasi suatu hubungan itu bukan tentang siapa yang bertugas dan bertanggung jawab, tetapi siapa yang bisa memenuhi kebutuhan masing-masing dan saling mengisi kekosongan.

Kalvin Karanda
Latest posts by Kalvin Karanda (see all)