Legitimasi untuk Pemimpin

Legitimasi untuk Pemimpin
©UBM

Kepemimpinannya hanya diakui oleh ijazahnya, tidak atas dasar legalisasi sistem dan legitimasi rakyat.

Senin (09/08/2021) malam, saya bertamu ke kediaman seorang anggota DPRD Sumenep, Akis Jasuli, S.IP. di daerah ujung kecamatan Talango, Sumenep, Jawa Timur. Kunjungan itu saya maksudkan untuk mempererat relasi silaturahmi di tengah jeratan pandemi, berharap mereguk trilogi kemanfaatannya sekaligus—dipanjangkan umur, dimurahkan rezeki, dan diperoleh akan perlindungan-Nya.

Terlepas dari bagaimana saya mengharap keberkahan itu, Akis yang merupakan politisi berlatar Partai Politik Nasional Pembangunan (Nasdem) dan sudah duduk di parlemen pemerintahan DPRD Sumenep mendorong saya yang berstatus mahasiswa dengan konsentrasi kajian hukum tata negara belajar banyak kepada dia.

Sisi kepedulian beliau terhadap pemuda dan pendidikannya sangatlah besar. Beliau paham, di samping konsep idealis-empiris bagaimana pendidikan membentuk dinamika dalam hidup, lingkungan beliau tinggal (Talango) adalah salah satu daerah dengan musiman “urban jakartaan” berpersentase sangat tinggi yang menjadikan pendidikan di pulau itu terkucilkan.

Tidak terlepas pula keprihatinan dia kepada pendidikan dalam kontekstualisasinya terhadap pemimpin dan pemerintahannya dalam memegang penuh hak monopoli rakyat dengan kebijakan yang mengikat. Pendidikan seorang pemimpin dalam suatu rezim haruslah kualitas pendidikannya mumpuni dalam tata kelola kenegaraan. Kualitas ini menjadi tumpuan arah kebijakan menuai kesejahteraan. Pemimpin dengan pendidikan berkualitas mengarah pada pemerintahan yang cerdas. Begitu pun sebaliknya.

Perbincangan seputar kualitas pemimpin ini mereview ingatan akan ide seorang filsuf asal Athena yang pernah menginisiasi terbentuknya rezim dan bangsa (natie) dalam bentuk “aristokrasi kepiawaian”. Plato melihat seorang pemimpin sebagai wali rakyat, representatif dari suara dan tindakan mereka semua. Tidak ada yang salah dengan suatu rezim.

Namun Plato menjadi muak dengan rezim di masanya. Karena sistem “birokrat-demokratis” yang dianut rezim pada waktu itu, dia harus menyaksikan gurunya, Socrates, dieksekusi mati di daerahnya. Plato menilai eksekusi itu sebagai tindakan immoral karena adanya sistem perpolitikan rezim yang tidak ideal telah melahirkan seorang pemimpin yang tidak berkualitas.

Kemudian Plato menulis buku Republic yang memuat konsep negara ideal sebagai bentuk koreksi kritis terhadap sistem rezim waktu itu. Menurutnya, suatu negara harus dipegang oleh seorang aristokrat yang piawai dalam tatanan kenegaraan. Aristokrasi dalam pandang yang tidak monarki dan turun-temurun, melainkan piawai pengetahuan dan moralitasnya.

Proses legalisasinya tentu berkepanjangan dan melalui serangkaian seleksi yang ketat. Seorang calon wali rakyat harus mampu menguasai secara keseluruhan teori dan konsep negara dalam usia 35 tahun. Kemudian mendapat waktu tambahan selama 15 tahun untuk melihat kepiawaian dalam mengaktualisasi nilai teoritis dan konsep negara dengan relasinya dalam suatu rezim pemerintahan yang nyata.

Di samping itu pula, pemimpin yang akan berkuasa menyatakan kesanggupan tidak kaya. Ada standar minimum berapa harta yang harus dimiliki seorang pemimpin.

Ada banyak sekali negarawan yang memahami konsep negara idealnya Plato, namun tidak satu pun dari mereka yang mengadopsinya untuk diterapkan pada suata negara. Bukan karena tafsir teoritisya mengarah pada kesimpulan “ide buruk”. Tapi lebih kepada anggapan konsep yang terlalu idealis dan kaku.

Baca juga:

Plato dengan idenya itu menginginkan jiwa pemimpin secara nyata hadir dalam kepiawaian mereka. Berbeda dengan hasil mutilasi demokrasi di mana kekuasaan cenderung diperjualbelikan dan dilegal-sahkan dengan dokumen.

Kabar memilukan datang Juni lalu tentang pemalsuan ijazah oleh kades Bilis-Bilis, Arjasa, Sumenep, Jawa Timur, untuk maju kembali pada kontestasi politik elektoral yang digelar secara serentak. Ijazah itu digunakan untuk memperoleh poin pendidikan dalam tahap seleksi calon yang sudah melebihi 5 orang calon. Kasus ini sampai di bawa ke ranah hukum mengingat pelanggaran Pasal 263 KUHP dan UU No. 20 Tahun 2003.

Dengan ijazah palsu itu, dia memperoleh legitimasi rakyat atas kekuasaannya sebagai Kepala Desa. Ini ibarat “pemimpin ijazah” daripada harus menyandang “pemimpin rakyat”. Kepemimpinannya hanya diakui oleh ijazahnya, tidak atas dasar legalisasi sistem dan legitimasi rakyat.

Sertifikasi ijazah dalam melegalisasi suatu kepemimpinan di atas bukan karena keburukan tatanan negara yang dianut suatu rezim sebagaimana pandangan Plato di atas. Ini lebih parah dan mengarah kepada subjektivitas pemimpin yang “ngarus” dengan politik yang sudah bermutilasi pada berbagai penyimpangan.

Padahal sistem rezim dan perpolitikan dalam suksesi kepemimpinan sudah baik. Alur recruitment calon pemimpin jelas, dan pendidikan menjadi salah satu pertimbangan sentral di dalamnya. Klasifikasi poin per jenjang pendidikan pun tegas. Dengan ini dia cerdas secara kelola tatanan, tapi tidak piawai secara moralitas, sehingga mempolitisasi sistem yang berlaku dengan  ijazah palsu.

Pemerintahan yang baik (good governance) dan tata kelola yang baik (good arrangement) dari kualitas pemimpin (quality leaders) yang berkesadaran layak sudah direkonstruksi kembali. Menyadari akan eksistensi pemimpin memegang alih kebijakan rakyat demi kesejahteraannya dapat dibangun di atas landasan pengetahuan dan moral kerakyatan.

Konsep idealis “pemimpin yang baik awal mula terbentuknya pemerintahan yang baik”. Bukan dimonopoli secara praktis dengan asal comot “ijazah” sana-sini dalam melegalisasi keilmuan hanya karena “ngekor” dengan dinamika politik yang kerap diwarnai dengan uang dan kekerabatan. Peran pemimpin akan teralienasi, lalu mau mengambil apa dalam pemerintahannya?

A. Fahrur Rozi
Latest posts by A. Fahrur Rozi (see all)