
Tuhan atau yang diartikan Hegel sebagai Roh Absolut—kita dapat mengartikanya sebagai “Yang-ada” dan keberadaan serta aktivitasnya tidak bergantung pada sesuatu yang lainnya. Ia bersifat absolut—kata “absolut” berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu, absolutus. Yang merupakan bentuk partizip perfekt dari kata absolvere yang tersusun dari dua buah kata—ab dan solvere: ab yang berarti “dari”. Dan, solvere yang berarti “membebaskan”.
Secara harfiah, kata absolutus dapat diartikan sebagai sesuatu yang “terlepas dari” atau “bebas dari”. Sesuatu yang bersifat absolut—seperti Tuhan—tentu saja tidak membutuhkan atau bergantung pada sesuatu yang lainnya, baik dalam setiap tindakan dan kehadirannya. Ia “sempurna” dan “lengkap”.
Roh Absolut juga digambarkan sebagai dasar dari dunia; realitas yang paling dasar yang merupakan asal-usul dari keseluruhan eksistensi, khususnya peradaban manusia. Jika kita merujuk pada konsep-konsep teologi, Roh Absolut adalah Tuhan, namun Roh Absolut ini tidak hanya berlaku pada konsep-konsep teologi saja. Ia berlaku pada konsep lainnya—tentu saja konsep-konsep yang berbeda ini dicetuskan oleh beberapa filsuf.
Misalnya, Fitche yang menganggap Ego sebagai Yang-Absolut, Bergson menganggap intuisi sebagai Yang-Absolut, Ia (Bergson) membahas hal tersebut di dalam bukunya yang berjudul “Intoduction to Metaphysics”, sedangkan menurut Schopenhauer Yang Absolut adalah kehendak atau keinginan, baginya Wille zum Leben atau keinginan untuk hidup merupakan suatu hal yang dianggap sebagai suatu metafisika yang menentukan dan mengarahkan seluruh tindakan yang mungkin dilakukan oleh seseorang.
Sebelum kita beranjak untuk melihat bagaimana proyeksi Ketuhanan dan penderitaan terjadi di dalam diri seseorang. Terlebih dahulu kita akan membahas secara singkat tentang Ludwig Feuerbach yang merupakan seorang filsuf—ia memberikan dasar bagi kita untuk melihat bahwa Roh Absolut atau Tuhan merupakan diri manusia itu sendiri. Ludwig Andreas von Feuerbach lahir pada tanggal 28 Juli 1804 di wilayah Landshut, Bavaria. Ia merupakan putra dari seorang ahli hukum; Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach.
Ia memiliki pengaruh penting bagi perkembangan filsafat Jerman setelah Hegelian, Ia sendiri termasuk ke dalam Hegelian muda dan menjadi salah satu orang yang tidak menyukai Hegel, walau Hegel merupakan gurunya. Dan, Feuerbach juga tidak menyukai Traditional Christianity. Feuerbach melihat Hegel terlalu dibayangi oleh hal-hal yang bersifat spiritual dan dengan maksud tertentu, Feuerbach mencoba mengubah hal tersebut ke arah yang lebih materialistik. Hegelian muda mencoba untuk mengambil teori Hegel dan mengubahnya menjadi suatu teori politik yang kemudia di dalamnya kita akan menjumpai Karl Marx—Hegel dapat dianggap sebagai suatu permulaan, Karl Marx dapat dianggap sebagai akhir, dan Feuerbach merupakan titik tengah di antara keduanya.
Hegel memberikan kita suatu teori atau metode yang dikenal sebagai “dialektika idealisme”, namun—seperti yang sudah di sebut di awal—Feuerbach ingin mengubah atau menggantikan hal tersebut menjadi “materialisme nominalitsik”, dengan kata lain, bahwa realitas dapat kita jumpai dalam kerangka nama-nama yang sudah kita tentukan melalui pengalaman dan materi—Hegel percaya bahwa ada kebenaran objektif dan manusia merupakan bagian dari kebenaran tersebut, dan Feurbach menolaknya—misalnya, ketika seseorang merasakan sesuatu melalui reseptor tubuh, maka orang tersebut melalui segenap pengalamannya dapat membuat suatu kategori yang bersifat materialistik, sehingga tercipta suatu kategori-kategori yang ditentukan oleh diri manusia itu sendiri.
Proyeksi Ketuhanan
Feurbach menjelaskan bahwa Roh Absolut atau Tuhan merupakan proyeksi manusia. Proyeksi dianggap sebagai suatu hal yang bersifat fundamental. Dan, hal ini sama penting bagi kita untuk memahami bagaimana sifat-sifat Mahakuasa atau Mahabaik diatribusikan kepada sosok Roh Absolut atau Tuhan.
Baca juga:
- Tesis Feuerbach, Marx, dan Tan Malaka tentang Agama
- Husain Thabathabai dan Sepuluh Pengetahuan Tuhan
Manusia berupaya untuk memproyeksikan nilai-nilai lebih di dalam dirinya—misalnya kebaikan, kebijaksanaa, kemurahan hati, dll—kepada suatu entitas yang bersifat eksternal dengan tujuan yang pada dasarnya untuk meningkatkan suatu pengetahuan. Dan, hal ini terjadi di dalam konsep Ketuhanan, di mana manusia mencoba untuk menghindari ketidaksempurnaan dirinya dengan hal-hal yang bersifat eksternal.
Roh Absolut muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, dari-Nya seseorang mengharapkan apa yang baik dan layak untuk dijalani. Ketika ketidakadilan atau penderitaan menghampiri diri seseorang, atribut yang sudah kita proyeksikan kepada Roh Absolut akan menjadi penting untuk menghilangkan rasa sakit dari penderitaan duniawi. “God was purely a human projection stemming from man’s need for denotation and an object independent of himself.” (Feuerbach, 2008).
Feurbach pada dasarnya mencoba membawa kita pada suatu konsep antropologis, bahwa setiap aspek atau sifat-sifat yang kita atribusikan kepada Roh Absolut atau Tuhan merupakan aspek-aspek yang pada dasarnya manusia miliki. Sebagai makhluk sosial, seseorang tidak akan pernah bisa melepaskan dirinya dari perilaku baik atau buruk—pada dasarnya manusia pasti melakukan keburukan dan tentu saja ia lebih mengutamakan kebaikan—pergerakan kolektif manusia baik dari segi konsep-konsep yang disetujui secara umum. Sudah tentu disesuaikan dengan nilai-nilai humanism dan hal ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dalam berinteraksi dan memitigasi segala hal yang dapat merugikan manusia.
Apa yang kita pahami tentang segala aspek yang diatribusikan kepada Roh Absolut atau Tuhan adalah sesuatu yang pada dasarnya berasal dari apsek humanisme. Misalnya, dalam sudut pandang nominalistik bahwa ketika kita memahami suatu hal di dalam interaksi sosial—misalnya, kejahatan—yang sudah kita setujui sebagai sesuatu yang dibenci oleh setiap orang. Kata “kejahatan” merupakan salah satu bagian yang dari kategori yang kita buat dan kata “kejahatan” tersebut dapat kita kaitkan pada suatu hal yang kita rasakan.
Setelahnya, proses klasifikasi berlangsung, sehingga bagi para nominalis, hal-hal tersebut merupakan term yang dapat mendeskripsikan perilaku tertentu yang termasuk ke dalam kategori hal yang tidak kita sukai. Dan hal ini juga berlaku untuk kata-kata atau sesuatu yang lainnya. Manusia membentuk suatu pengetahuan yang bersifat mendasar dan terjadi secara historis. Perkembangan-perkembangan dari konsepsi Ketuhanan ini terjadi sepanjang sejarah manusia mulai dari peradaban kuno hingga posmodernisme.
Akan tetapi, meski kita menemukan motif-motif yang berbeda-beda dari masing-masing Agama—merujuk pada Feuerbach—bahwa konsep-konsep tentang segala atribut yang melekat pada entitas eksternal merupakan upaya manusia untuk membuat sosok yang dianggap Mahabijaksana dan mencerminkan kuasa penuh untuk menolong manusia dari dinamika kehidupan yang terjadi. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa unsur antropologis sangat erat kita jumpai pada atribut-atribut yang melekat pada sifat-sifat—kebijaksanaan, keadilan, kepedulian, murah hati, dll—Roh Absolut.
Penderitaan dan Harapan
Mungkin, ketika kita membahas tentang eksistensi Roh Absolut atau Tuhan, tidak jarang kita akan menemukan pertanyaan yang menyatakan “Jika Tuhan itu ada, kenapa kejahatan di dunia ini masih terjadi?”. Suatu pertanyaan yang tidak sedang diupayakan untuk dijawab melalui tulisan ini. Akan tetapi, kita lebih menitikberatkan pada penderitaan yang dirasakan oleh manusia dan sifat-sifat yang diatribusikan kepada sesuatu di luar diri manusia dianggap sebagai panasea.
Kualitas-kualitas primer yang terkadung benda pada dirinya-sendiri, sedangkan kualitas sekunder adalah sifat benda-bagiku. Jika kita korelasikan pada dinamika sosial, maka kita akan menemukan bahwa benda atau suatu tindakan tertentu adalah baik bagi dirinya sendiri, namun sebagai subjek yang memahami atau mengalaminya, hal tersebut belum tentu baik dan hal ini sejalan dengan apa yang dirasakan oleh diri kita atas benda atau suatu tindakan.
Halaman selanjutnya >>>
- Ludwig Feuerbach: Proyeksi Ketuhanan dan Penderitaan - 13 Maret 2023
- Beberapa Perspektif Utopia Marxisme - 12 Februari 2023
- Kriminalitas dan Determinisme Ekonomi - 21 Januari 2023