
Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi, itu bukan tujuan akhir. ̴ Ir. Soekarno
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjadi satu sejarah penting bagi Indonesia. Saat dan sejak itu bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka lagi berdaulat. Setidaknya, lepas dari cengkeraman kekuasaan para penjajah, yang lalu menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara dunia lainnya yang merdeka mengatur sendiri segala aspek ketatanegaraannya.
Sehari setelah peristiwa bersejarah itu, disahkanlah UUD 1945 sebagai napas, cita-cita, dasar bernegara (konstitusi) bangsa Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan alinea ke-4, negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Semua kewajiban mulia tersebut juga teramanatkan secara tersurat dalam Pancasila sebagai landasan filosofisnya.
Tetapi kini, melihat kecamuk realitas yang begitu akut, kita tentu masih patut bertanya: apakah cita-cita konstitusi (UUD 1945) saat ini secara utuh telah tercapai? Sebuah tanya yang masih belum bisa kita tuangkan jawabannya se-riil mungkin.
Mengembalikan Peran Kepemudaan
Kemerdekaan Indonesia bukanlah sebuah peristiwa yang serta-merta turun dari langit. Tetapi, ia mengalami sebuah perjalanan panjang yang akhirnya mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1945. Baik ide, gagasan, dan penolakan terhadap kejinya para penjajah, semuanya tak lepas dari peran pemuda, khususnya kaum terpelajar.
Dengan semangat perlawanan untuk meruntuhkan kolonialisme, lahir di awal apa yang kemudian kita kenal sebagai Sumpah Pemuda—dideklarasikan pada 28 Oktober 1928. Sumpah ini adalah ikrar persatuan pemuda Indonesia dari berbagai daerah untuk bersatu dalam perbedaan. Dan hingga saat ini, ia terus kita peringati di setiap tahunnya.
“Sejarah Indonesia adalah sejarah angkatan muda,” demikian ungkapan Pramoedya Ananta Toer. Sebab baginya, pemuda belum memiliki “kepentingan” sehingga ia bebas untuk melakukan apa saja. Tak ada yang berani mengelak perihal ini sebab begitulah fakta sejarah yang terjadi.
Pemuda, dalam hal ini mahasiswa, selalu mendapat tempat yang istimewa di hati publik. Istilah “kaum intelektual” selalu melekat pada dirinya.
Baca juga:
Sebagai kaum intelektual yang terimplementasikan dalam bentuk tindakan, meliputi pembawa perubahan dan pengontrol sosial, mereka senantiasa berpihak kepada masyarakat luas guna mencapai cita-cita konstitusi. Hal ini sebagaimana hakikat dari demokrasi sendiri, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Peran Kepemudaan Mahasiswa secara Yuridis
Negara pun menyadari hal demikian dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Setidaknya, ada tiga poin penting mengenai peran, tanggung jawab, dan hak pemuda dalam undang-undang tersebut.
Dalam Pasal 17 BAB V, ada tiga peran pemuda yang meliputi: pertama, sebagai kekuatan moral (moral force), diwujudkan dengan menumbuh-kembangkan aspek etik dan moralitas dalam bertindak di setiap dimensi kehidupan kepemudaan; memperkuat iman dan takwa, serta ketahanan mental-spiritual; dan meningkatkan kesadaran hukum.
Kedua, sebagai kontrol sosial (agent of social control), diwujudkan dengan memperkuat wawasan kebangsaan; membangkitkan kesadaran atas tanggung jawab, hak, dan kewajiban sebagai warga negara; membangkitkan sikap kritis terhadap lingkungan dan penegakan hukum; meningkatkan partisipasi dalam perumusan kebijakan publik; dan memberikan kemudahan akses informasi.
Ketiga, sebagai agen perubahan (agent of change), diwujudkan dengan mengembangkan pendidikan politik dan demokratisasi; sumber daya ekonomi; kepedulian terhadap masyarakat; ilmu pengetahuan dan teknologi; olahraga, seni, dan budaya; kepedulian terhadap lingkungan hidup; pendidikan kewirausahaan; dan kepemimpinan serta kepeloporan pemuda.
Dalam Undang-Undang tersebut, terdapat penjelasan secara panjang lebar bagaimana posisi pemuda dalam bernegara.
Namun, sejauh yang penulis amati, Undang-Undang tersebut hanya ibarat tubuh yang tak berjiwa. Dengan kata lain, keberadaannya kita akui, tetapi implementasinya masih jauh dari yang seharusnya.
Pemuda saat ini seolah sedang mati suri. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan secara sadar, bahkan melampaui kesadarannya, melakukan kesewenang-wenangan secara berlebihan. Bahkan tindak pidana korupsi masih menjadi konsumsi masyarakat luas.
Baca juga:
- Reposisi Gerakan Pemuda: Menyambut Renaisans dan Keistimewaan Yogyakarta
- Pemuda Tak Usah Terburu-buru
Dunia kampus bersinergi kepada pemerintah hanya dalam ranah administrasi. Meski sesekali ada kerja sama, tapi lagi-lagi tidak melibatkan mahasiswa secara luas. Bahkan pemerintah dengan mahasiswa selalu berlawanan, yang tak jarang mengharuskan mahasiswa untuk berdemonstrasi hingga berefek pada perusakan fasilitas umum.
Meskipun ada teori yang mengatakan bahwa dari sebuah konflik akan melahirkan sebuah keteraturan, dalam hal ini kebaikan, sampai kapan hal ini akan terus berulang? Maka, melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan ini, seyogianya dapat menjadi dasar bagi pemuda dalam upaya mencapai cita-cita UUD 1945.
*Ade Mufti Adjie, Mahasiswa Asal Lampung
- Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi - 28 Februari 2023
- Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar - 23 Februari 2023
- Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal - 22 Februari 2023