Malu karena Goblok, Malu karena Gengsi

Malu karena Goblok, Malu karena Gengsi
©Dok. Pribadi

MALU mengalahkan ILMU!

Beberapa minggu yang lalu, aku menyuruh mahasiswaku untuk mengikuti Focus Group Discussion (FGD) yang bertema Pasca Kemenangan Taliban dan Relevansinya dengan Indeks Radikalisme di Sulawesi Barat. FGD ini dihelat secara offline oleh Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sulawesi Barat dan Resensi Institute sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang berpusat di Mamuju, Sulawesi Barat.

Hartono Tasir Irwanto yang akrab disapa Tonton merupakan founder Resensi Institute menjadi moderator di acara tersebut. Tonton adalah temanku yang sering kuajak menjadi dosen tamu untuk membantuku mengajar. Ia mengundangku dan teman-teman mahasiswaku agar mengikuti acara ini. Katanya, ia siap mengajar mahasiswaku dan nanti setelah mengajar, mereka akan diajak ikut FGD apalagi pematerinya keren-keren. Aku tentu menyambut baik undangan FGD ini.

Hari itu, aku yang berencana daring (online) dalam mengajar karena sedang berada di luar Mamuju, namun kuputuskan untuk tidak mengajar saja mata kuliah kebijakan pendidikan agar mahasiswa bisa bergabung dengan FGD tadi. Tentu saja materi radikalisme juga berhubungan dengan materi kebijakan pendidikan. Relevansinya, tentu dengan kebijakan-kebijakan apa yang akan dibuat, baik pemerintah maupun kampus ketika mahasiswa mengalami peningkatan radikalisme.

Aku pun mengirimkan e-flayernya ke grup Manajamen kebijakan pendidikan yang sebelumnya dikirimkan oleh Tonton ke WhatsApp pribadi (Wapri). Aku bilang ke mahasiswa, “Teman-teman kuliahnya di sini, ya. Materinya keren sekali. Tolong nanti Ketua Tingkat (Keti) absen dan kontrol teman-temannya.”

Si Keti menjawab, “Iye, kak.” Mahasiswa memang kadang memanggilku kakak atau ibu. Jika sudah akrab, mereka lebih suka memanggil kakak dan aku pun lebih suka dipanggil demikian biar lebih akrab.

Kemudian, dikomentari lagi si Keti di grup itu, “Tabe, kak, sampai jam 18.00.” Acaranya memang akan berlangsung dari jam 15.30-18.00. Kujawab, “Jika materinya bagus, kenapa tidak.” Dijawab lagi si keti dengan mengiyakannya.

Chat WA itu berlangsung di pagi hari, di mana jadwal kelasnya nanti jam 14.00 sampai dengan 15.30. Pagi itu aku bilang di grup, sesanggupnya saja mengikuti FGD karena setelah mata kuliahku, mereka “free” tidak ada jadwal kuliah lagi karena jadwal di jam terakhir pindah ke Senin. Sehingga otomotis dari jam 14.00 sampai 18.00 mereka bebas.

Di Grup, adik-adik mahasiswa menyatakan siap datang. Chatnya diwakili Keti siap hadir dan mengontrol teman-temannya di FGD. Walaupun mereka sempat mengatakan malu jika aku tidak beserta mereka. Tentu saja aku jawab “santuy” dan aku senang sekali mendengarnya jika mereka datang di FGD radikalisme itu.

Aku katakan di grup jika kak Tonton telah menunggu teman-teman. Beberapa mahasiswa tampak mengomentari tidak sempat hadir karena sedang berada di luar kota.

Siang yang Panas

Siangnya, si Keti mengirim chat di grup, katanya banyak teman-temannya tidak bisa ke Resensi karena tidak punya motor termasuk dirinya sendiri. Kemudian dia menulis lagi, bisakah ini daring. Lalu diikuti oleh teman-temannya yang lain, mereka meminta maaf karena tidak ada kendaraan. Dan parahnya lagi ada yang bilang sebagian teman-temannya sudah pulang karena sudah dijemput.

Aku yang sejam kemudian membacanya langsung mengirimkan pesan suara. Aku katakan pada mereka, “Hari gini tidak ada Grab-kah? Nanti saya transferkan uang untuk Grab agar kalian belajar. Masa untuk belajar saja kalian tidak punya uang? Ini alternatif kalian dalam belajar di Resensi.”

Si keti kemudian menjawab jika mereka memiliki uang. Sejam kemudian, si keti mengirim chat jika mereka ketinggalan dan ruangan sudah penuh. Kemudian, ia memposting foto baliho Resensi Institute yang di depannya tampak ramai penuh dengan kendaraan motor.

Asisten dosenku (asdos) menimpali chat itu. Ia katakan jika teman-teman memang sudah terlambat ke sana ini sudah mau jam lima (5) sore. Lalu dijawab lagi oleh si Keti jika hujan deras, “Kami basah semua.”

Lalu si keti mengirimkan lagi foto-foto selfie, welfie, di depan Resensi. Tampak ada empat mahasiswa yang semuanya berkelamin perempuan. Setengah jam kemudian, aku baru membalasnya karena baru mengaktifkan data seluler. Aku bertanya, menegaskan, jadi ini tidak masuk?

Si keti menjawab; “Basah kuyup, kak. Malu ki masuk, penuh orang di dalam. Padahal, kami mau sekali ikut.”

Aku jawab; “MALU mengalahkan ILMU!” lalu kujawab lagi; “percuma kalian ke sana…”

Lalu sebuah foto berwelfie-ria oleh seorang mahasiswa yang sedang di luar kota jika kalian cuma datang selfie.

Dijawab lagi si keti; “basah semua, kak, hujan deras ki. Seandainya ndak basah masuk ka itu. Biar mi na kasih alpa semua. Sudah diusahakan sekali datang, tanya ki @Lina @Wati @Gus. Kami berempat basah semua. Baru penuh orang di dalam, terlambat juga.”

Si mahasiswa yang lagi diluar kota menimpali jika ia pernah basah kuyup tapi tetap masuk (diizinkan masuk), tergantung dari diri yang penting kita mau masuk (belajar). Ia tambahkan, “Jika kalian melapor, yakin akan diizinkan masuk. Maaf walaupun saya juga tidak bisa hadir (absen).”

Aku kembali memberikan pesan suara, “Tadi alasan ta, tidak ada kendaraan ta. Jadi saya bilang ada Grab, bisa ki ke sana naik mobil karena kalian tahu kondisi Mamuju yang setiap sore hujan. Makanya, saya bilang, ada ji uang ta, nanti saya kasiki. Memang bukan ji persoalan uang. Tapi, saya mau kalian hadir. Iya, akhirnya, kalian semua kompak tidak hadir, alpa semua karena itu ji kalian suka. Lebih suka nongkrong-nongkrong dibanding pergi belajar. Kenapa kalau basah ka? Bukan cuma buat Keti ini, tapi buat semuanya yang tidak mau belajar tidak usah mi belajar. Kita tidak usah belajar manajemen kebijakan pendidikan. Terus terang, saya kecewa sama kalian. Terima kasih banyak.”

Dan aku pun keluar dari grup.

Walaupun melalui wapri si Keti mewakili teman-temannya semester 5 meminta maaf dengan mengatakan jika mereka mencerminkan akhlak yang kurang bagus. Tapi, ia katanya sudah berusaha hadir tapi kondisinya sampai sana basah kuyup sehingga memohon untuk dimaklumi.

Aku balas, “Kenapa tidak naik mobil ki? Saya tawari ji ki Grab. Kita sudah tahu hujan, telat juga ke sana. Kalau kalian sakit, pergi jauh-jauh belajar, saya ji lagi ditegur ibu (ketua yayasan). Jadi, saya bilang tadi, percuma ji ki ke sana. Niatnya cari ilmu ternyata cari penyakit.”

Aku katakan begitu karena aku pernah mengajak adik tingkat mereka juga belajar di luar kampus, dan ibu ketuaku tampaknya kurang setuju jika mahasiswa harus bolak-balik dari kampus lalu keluar kampus kemudian ke kampus lagi. Padahal, mahasiswa sendiri yang mau datang ke kampus untuk latihan paduan suara.

Lalu si Keti membalas. Katanya, teman-temannya tidak mau naik mobil karena muntah. Jadi mereka sudah berusaha meminjam motor teman-teman senior. Aku jawab jika semua teman-temannya pintar, pintar cari alasan.

Kemudian si Keti menjawab lagi, ia pusing dan tadi juga sudah setengah mati. Aku katakan padanya, terima kasih sudah berjuang setengah mati. Dan balasan si Keti, “saya harap kakak masih mau mengajar di kelas kembali.”

Aku kaget, kenapa langsung perkataannya begini. Aku berpikir, seolah-olah ia kemudian menentukan bagaimana aku sebagai dosen ke depannya harus tetap mengajarnya. Ia tidak berpikir, bagaimana dosennya berpikir keras ketika tidak hadir mengajar. Ketika kelasnya diselenggarakan secara online melalui Google Meet (GM) yang tidak maksimal karena terganggu jaringan seluler yang eror. Atau terkadang mereka yang tidak punya aplikasi GM harus berbagi dengan dua sampai tiga temannya.

Ketika aku dosennya yang tinggal di luar kota, aku harus datang mengajar offline atau luring dari Polewali Mandar ke Mamuju berjarak sekitar 252 km dengan jarak tempuh 5 – 6 jam apalagi jika terkena macet karena pelebaran jalan di Majene yang rawan longsor, lumpur, dan hujan. Lalu cuma “dibayar” tidak sampai 100k per jamnya.

Mereka sudah aku tawarkan ruang belajar yang bagus, dosen tamu yang keren, aku tawarkan uang naik Grab untuk belajar, dan … ternyata tidak ada artinya. Mereka mempunyai banyak alasan. Malu pergi jika tidak bersama dosen, malu jika tidak punya kendaraan, lebih malu ketika gengsi, bukan malu karena bodoh.

Makna dari proses pendidikan itu menjadi lepas karena mereka memang (tidak mau) melakukan proses pemberdayaan. Berdaya menghadapi situasi dalam hal apa pun, tanggap pada segala kondisi, namun mungkin memang mereka terlalu dimanja oleh sistem yang mereka ciptakan sendiri.

Zuhriah
Latest posts by Zuhriah (see all)